Kejagung Nilai PTUN Langgar UU soal Putusan Tragedi Semanggi

Kejagung Nilai PTUN Langgar UU soal Putusan Tragedi Semanggi

RIAUMANDIRI.ID, JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) menilai Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta telah melanggar Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan terkait keputusan yang menyatakan Jaksa Agung ST Burhanuddin melakukan perbuatan melawan hukum melalui pernyataan Tragedi Semanggi I dan Semanggi II.

Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejagung Feri Wibisono menyatakan, hakim PTUN Jakarta telah mencampuradukkan sejumlah poin.

Salah satunya mengkualifikasikan surat terbuka yang dibuat penggugat ke presiden sebagai banding administrasi sebagaimana diatur di dalam Pasal 78 ayat 2 UU Administrasi Pemerintahan.


"Kami lihat hakim telah mencampuradukkan dan melanggar ketentuan yang berlaku dalam pasal 78 ayat 2 UU 30 Tahun 2014," kata Feri dalam konferensi pers di Kejagung, Jakarta Selatan, Kamis (5/11/2020).

Pasal 78 ayat 2 UU tersebut menjelaskan bahwa banding dapat diajukan secara tertulis kepada atasan pejabat yang menetapkan keputusan.

Selain itu, menurut Feri, PTUN Jakarta telah mengabaikan alat bukti dari seorang ahli yang dengan jelas mengatakan bahwa surat terbuka penggugat ke presiden tidak dapat dikategorikan banding administrasi.

Hakim PTUN Jakarta juga dinilai telah mencampuradukkan pengertian kepentingan yang menjadi syarat dalam proses pemeriksaan suatu perkara, sebagaimana diatur dalam Pasal 75 UU Administrasi Pemerintahan.

Menurutnya, para penggugat yang merupakan dua orang tua korban Tragedi Semanggi I dan II memiliki kepentingan terhadap penanganan perkara, bukan terkait informasi atau jawaban Burhanuddin dalam Raker Komisi III DPR RI.

"Di sini bahwa para penggugat, orang tua korban itu memiliki kepentingan terkait penanganan perkaranya, tetapi terkait jawaban di DPR tadi yang bersangkutan tidak memiliki kepentingan," ucap Feri.

Feri juga menerangkan, pernyataan Burhanuddin terkait Tragedi Semanggi I dan II di Raker Komisi III DPR RI pada Januari 2020 silam tidak bisa dikategorikan sebagai objek gugatan TUN.

Menurutnya, pernyataan Burhanuddin itu tidak bisa dikategorikan sebagai tindakan konkret dalam penyelenggaraan pemerintahan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Mahkamah Agung Tahun 2019 tentang Adminstrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik.

Feri menyatakan, objek sengketa TUN menjadi sangat banyak bila hakim PTUN bisa mengkategorikan pernyataan atau jawaban pejabat di dalam sebuah rapat dengan DPR sebagai tindakan penyelenggaraan pemerintahan.

"Jika pernyataan dan jawaban dalam suatu raker dengan DPR dikategorikan sebagai tindakan penyelenggaraan pemerintahan, maka akan banyak sekali pernyataan jawaban yang merupakan objek sengketa [TUN]," tuturnya.

Berangkat dari itu, Feri menyampaikan bakal melakukan upaya hukum banding atas putusan PTUN Jakarta yang menyatakan Buhanuddin melakukan perbuatan melawan hukum.

"Karena banyaknya kesalahan PTUN, maka kami mempersiapkan diri bahwa putusan ini adalah putusan tidak benar, dan kami harus melakukan banding atas putusan tidak benar ini," ucap dia.

Sebelumnya, pernyataan Burhanuddin di Raker dengan Komisi III DPR RI terkait kasus Tragedi Semanggi I dan II pada medio Januari lalu dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum oleh PTUN Jakarta, Rabu (4/11).

Burhanuddin menyatakan peristiwa Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat dengan mengacu kepada hasil Rapat Paripurna DPR.

Adapun, majelis hakim juga mewajibkan Jaksa Agung memberi pernyataan yang sebenarnya dalam rapat dengan Komisi III DPR RI. Majelis hakim juga menghukum Jaksa Agung untuk membayar biaya perkara sebesar Rp285 ribu.

'Mewajibkan tergugat untuk membuat pernyataan terkait penanganan dugaan pelanggaran HAM berat Semanggi I dan Semanggi II sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI berikutnya, sepanjang belum ada putusan yang menyatakan sebaliknya,' kata majelis hakim.



Tags Hukum