Reformasi Defisit dan Kebijakan Belanja 2015

Reformasi Defisit dan Kebijakan Belanja 2015

Di dalam dokumen APBN Perubahan (APBNP) 2015, Pemerintah dan DPR menyepakati adanya penambahan alokasi belanja pemerintah sebesar Rp29,5 triliun untuk mendukung pencapaian target percepatan akselerasi pertumbuhan ekonomi di berbagai sektor. Dari besaran tersebut, Rp9,5 triliunnya sudah disetujui sementara sisanya masih membutuhkan pembahasan lebih lanjut. Rencananya, tambahan anggaran tersebut akan dialokasikan melalui anggaran belanja Kementerian/Lembaga (K/L), transfer ke daerah serta untuk mengurangi defisit. Adapun pemenuhan kebutuhan akan penambahan, sedianya dipenuhi dari pengurangan belanja perlindungan sosial.

Untuk belanja K/L, sektor yang mendapatkan prioritas tambahan diantaranya Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Narkotika Nasional (BNN) serta Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Sementara komponen transfer ke daerah yang akan mengalami peningkatan adalah Dana Alokasi Khusus (DAK) serta Dana Desa. Transfer ke daerah menjadi Rp640,8 triliun dari Rp637,97 triliun sementara Dana Desa melejit menjadi Rp20,8 triliun dari sebelumnya Rp9,06 triliun. Sisa tambahan sekitar Rp2 triliun hingga Rp4 triliun akan digunakan untuk upaya penurunan defisit anggaran menjadi 1,9% PDB via pengurangan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN).

Terkait dengan adanya tambahan aloaksi anggaran untuk penurunan defisit, ada beberapa hal yang cukup menarik untuk dikaji lebih mendalam. Terlebih, tambahan tersebut ditujukan untuk menurunkan penerbitan SBN, yang sempat menjadi beban pemerintah di APBN-P 2014 karena seretnya realisasi belanja serta depresiasi nilai tukar Rupiah. Karenanya, koreksi kebijakan tersebut sekiranya perlu mendapatkan apresiasi.  
 
kemampuan dalam mengelola defisit anggaran, selama ini sering dijadikan salah satu indikator kinerja pemerintah. Karenanya, kesuksesan pemerintah dalam mengendalikan besaran defisit APBN 2015 di tengah dampak krisis ekonomi global yang masih terjadi serta menimbulkan in-stabilitas sektor-sektor ekonomi kiranya cukup membanggakan. Dengan batas maksimal defisit kumulatif 3% PDB, maka ruang gerak fiskal pemerintah menjadi lebar sekitar 1,1% demi mendukung platform yang telah digariskan oleh pemerintahan yang baru. Namun demikian, hal lain yang masih menjadi sorotan utama adalah proporsionalitas alokasi belanja yang masih didominasi belanja konsumsi dibandingkan alokasi belanja investasi pembangunan dan infrastruktur dasar. Padahal oleh banyak lembaga internasional, minimnya kualitas belanja infrastruktur pemerintah sering dianggap sebagai barrier terbesar pembangunan yang belum optimal, bersama dengan birokrasi dan penegakan hukum.   

 Reformasi Kebijakan Defisit
Secara definisi, defisit anggaran muncul dari sisi pengelolaan pendapatan negara dikurangi belanja negara dalam APBN. Jika alokasi belanja negara melebihi pendapatan negara, maka status defisit anggaran tersebut akan muncul, begitupula sebaliknya. Kebijakan defisit juga berkorelasi dengan strategi pengelolaan pembangunan dengan memperhatikan kondisi perekonomian yang ada. Berdasarkan data pemerintah, dalam beberapa kurun waktu terakhir, kemampuan mengendalikan defisit anggaran relatif mengesankan. Tahun 2007 misalnya, defisit APBN dijaga di level 1,3% PDB atau senilai Rp50,1 triliun, sementara tahun 2009 stabil di level 1,6% PDB atau Rp88,6 triliun. APBN-P 2011 pun mencatat realisasi defisit anggaran 2,1% PDB, tahun 2013 sebesar 2,38% dan 2014 sebesar 1,69% PDB.

Secara teori, kemampuan pengelolaan defisit anggaran ini dijadikan tolok ukur kinerja pemerintah. Defisit anggaran yang terkendali jelas akan mendukung penciptaan investasi pemerintah dalam memacu pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional. Sebaliknya defisit anggaran yang tinggi, selain membahayakan kondisi stabilitas fiskal juga mempersempit ruang fiskal pemerintah sekaligus menimbulkan potensi penarikan pembiayaan hutang luar negeri.

Meskipun pengelolaannya sudah cukup memuaskan, proses penetapan defisit anggaran masih menyimpan persoalan khususnya dalam hal kualitas penggunaan dari besaran defisit anggaran tersebut. Kebijakan penetapan defisit anggaran selama ini hanya mendasarkan kepada perhitungan akuntansi semata. Ketika pemerintah menetapkan belanja negara yang lebih besar dibandingkan target penerimaan serta pembiayaan, disitulah kemudian muncul kebijakan defisit, meskipun dalam sistem politik anggaran APBN dikenal adanya istilah belanja mengikat.

Belanja mengikat adalah jenis belanja yang alokasinya tetap, tidak flexibel serta sudah ditentukan baik dari sisi besaran alokasinya maupun peruntukannya. Dalam APBN sendiri, profil belanja mengikat ini terdiri dari belanja pegawai, barang, subsidi, pembayaran bunga utang, belanja lain-lain, serta belanja transfer ke daerah. Dilihat dari trennya, persentase belanja mengikat ini selalu naik setiap tahunnya. Menurut data pemerintah besaran belanja mengikat dalam APBN 2009 saja misalnya mencapai 76,9% dari total APBN, meningkat menjadi 78,4% dalam tahun 2010. APBN 2015 pun menyimpan potensi belanja mengikat diatas 75,0% jika kenaikan harga BBM urung dijalankan.

 Untuk mengendalikan defisit di level yang aman, pemerintah biasanya menempuh opsi optimalisasi penerimaan negara khususnya sektor perpajakan atau mengefisiensikan alokasi belanja negara. Kedua pilihan tersebut memiliki strategi dan implikasi kebijakan yang berbeda. Opsi optimalisasi penerimaan negara jelas membutuhkan ekstra effort dari para aparat dengan jangka waktu yang lebih bersifat moderat. Sebaliknya, pemerintah lebih memiliki kewenangan dalam opsi efisiensi belanja negara dengan periodisasi yang lebih cepat.

 Ke depan, hal-hal inilah yang seharusnya direformasi. Dasar kebijakan penetapan defisit anggaran harus betul-betul diselaraskan dengan kondisi ekonomi serta target pembangunan yang hendak dicapai. Artinya penganggaran yang bersifat baseline budget harus terus diimplementasikan setiap tahunnya. Kemudian sisa kebutuhan penganggaran untuk mencapai target pembangunanlah yang menjadi dasar penetapan defisit anggaran. Dengan demikian, besaran defisit anggaran sudah dapat diprediksikan sejak awal dengan tetap memperhatikan perilaku ekonomi seperti inflasi, nilai tukar dan pertumbuhan ekonomi.  

Reformasi lainnya terkait dengan kualitas penggunaan defisit itu sendiri. Harapannya defisit yang ditimbulkan betul-betul dialokasikan untuk kegiatan yang bersifat produktif bukan sekadar konsumtif belaka. Langkah awal yang dapat ditempuh tentu saja mengurangi porsi belanja mengikat. Dengan sisi ruang fiskal tidak lebih dari 25% setiap tahunnya, akselerasi pembangunan infrastruktur di banyak daerah tentu menjadi hal yang mustahil dilakukan.

Dan segala prasyarat tersebut 100% wajib pimpin oleh Presiden selaku pemegang kuasa tertinggi atas amanat rakyat. Leadership dan keteladanan Presiden niscaya akan menggerakkan semua simpul-simpul dan elemen di berbagai lapisan masyarakat menuju arah perubahan Indonesia baru yang lebih baik. (kgi)
Pegawai Kementerian Keuangan RI.