Dana Desa dan Solusi Urbanisasi

Dana Desa dan Solusi Urbanisasi


Hingga pertengahan Juni 2015, pemerintah telah menyalurkan Rp7,3 triliun Dana Desa (DD) kepada 385 kabupaten/kota yang telah memenuhi kualifikasi. Realisasi penyaluran tersebut didasarkan kepada hasil kesepakatan Pemerintah dan DPR dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015 sebesar Rp20,7 triliun untuk 434 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Alokasi DD tersebut masuk dalam postur APBN bersama dengan alokasi Transfer ke Daerah (TkD) sebesar Rp643,8 triliun yang terdiri dari komponen Dana Perimbangan (Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus) sebesar Rp521,8 triliun, Dana Otonomi Khusus (Papua, Papua Barat dan NAD) sebesar Rp17,1 triliun, Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar Rp547 miliar serta Dana Transfer Lainnya sebesar Rp104.4 triliun sehingga total keseluruhan mencapai Rp664,6 triliun atau sekitar 33,5% total Belanja Negara.
Secara umum, terwujudnya mekanisme pendanaan tersebut merupakan implementasi dari Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Dalam pasal Pasal 71 ayat (1), yang dimaksud dengan keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban desa. Hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut menimbulkan pendapatan, belanja, pembiayaan, dan pengelolaan desa.
Sementara dalam pasal 72 ayat (1) disebutkan bahwa pendapatan desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (2) bersumber dari 1) Pendapatan Asli Desa terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan lain-lain Pendapatan Asli Desa; 2) alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; 3) bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota; 4) alokasi dana Desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota; 5) ban tuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah  provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota; 6) hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; dan 7) lain-lain pendapatan Desa yang sah.
Di dalam penjelasan pasal 72 ayat (2), besaran alokasi anggaran yg peruntukannya langsung ke desa, ditentukan 10% dari dan di luar dana TkD (on top) secara bertahap. Dalam penyusunannya, anggaran yg bersumber dari APBN untuk desa dihitung berdasarkan jumlah desa dan dialokasikan dengan memperhatikan jumlah penduduk (JP), angka kemiskinan, luas wilayah (LW), dan tingkat kesulitan geografis dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan desa.
Pesan inilah yang seharusnya tersampaikan secara sempurna kepada seluruh aparat desa yang nantinya akan mengelola bahwa dana desa wajib ditujukan bagi upaya peningkatan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan desa, bukan untuk kepentingan pribadi, keluarga maupun kelompok. Pernyataan ini sekaligus menjawab kekhawatiran banyak pihak yang menyebutkan dana desa berpotensi menimbulkan moral hazard baru bagi para penyelenggara pemerintahan di level desa.
Berdasarkan UU Desa, kegiatan pembangunan dan pemerataan antardesa, akan dilakukan melalui skema penataan desa. Penataan desa ini nantinya akan ditujukan untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat, kualitas pelayanan publik, tata kelola pemerintahan (good governance) sekaligus meningkatkan daya saing desa. Upaya tersebut akan difasilitasi melalui berbagai kemungkinan melakukan penghapusan desa, pembentukan desa, penggabungan desa, perubahan status desa dan penyesuaian kelurahan.
Solusi Urbanisasi
Dengan menggunakan asumsi data jumlah desa tahun 2014 sebanyak 72.944 desa, maka nantinya tiap-tiap desa diperkirakan akan mengelola dana sebesar Rp1,4 miliar. Dibandingkan kondisi yang ada saat ini, penambahan alokasi dana tersebut tentu sangat menggembirakan. Berbagai persoalan yang melingkupi desa selama ini diharapkan dapat diatasi secepatnya, khususnya terkait dengan permasalahan kesenjangan yang terjadi baik antardesa maupun antara desa dengan kota. Bahkan bukan hal yang mustahil jika dana desa dapat dijadikan salah satu solusi bagi upaya mengatasi persoalan urbanisasi di beberapa kota besar, khususnya di DKI Jakarta.
Menilik urbanisasi paskalebaran tahun 2014 lalu sebagai contoh. Perputaran uang ke desa sepanjang ramadhan hingga lebaran 2014, mampu menembus angka Rp115 triliun. Menurut keterangan dari Bank Indonesia (BI), perputaran uang tersebut meningkat hampir 14,9% dibandingkan tahun lalu yang menyentuh kisaran Rp103,2 triliun. Hingga April 2014, tercatat Jumlah Uang Beredar (JUB) di masyarakat sebesar Rp886,6 triliun dan terus meningkat hingga Rp906,7 triliun di medio bulan Mei 2014. Masih berdasarkan data BI, distribusi uang Lebaran tersebut mayoritas berada di wilayah Jakarta, Bogor, Depok dan Bekasi (Jabodetabek) sementara sisanya mengalir ke daerah tujuan pemudik.
Banyak pihak menilai fenomena urbanisasi sebetulnya terjadi akibat besarnya tingkat kesenjangan antarpenduduk serta kesenjangan antara desa dan kota. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), porsi 20% penduduk dengan pendapatan tertinggi di Indonesia terus meningkat, sementara 40% penduduk pendapatan menengah dan rendah cenderung fluktuatif. Dilihat dari nilai Indeks Gini, terlihat peningkatan signifikan dari 0,33 tahun 2002, menjadi 0,37 tahun 2009. Berbagai fakta tersebut tentu mendukung premis kesenjangan yang terjadi.
Menurut data BPS, jumlah penduduk miskin di desa hingga tahun 2002 sudah mencapai 25,1 juta jiwa, sedangkan penduduk miskin di kota mencapai 13,3 juta penduduk. Tahun 2006, jumlah penduduk miskin desa mencapai 24,81 juta jiwa, sementara di kota mencapai 14,49 juta jiwa. Data terakhir BPS tahun 2011, jumlah penduduk miskin di desa mencapai 18,94 juta jiwa, sedangkan di kota mencapai 10,95 juta jiwa. Dengan kondisi kemiskinan penduduk desa mencapai hampir dua kali lipat penduduk kota, tak heran jika penduduk desa akan terus melihat kota sebagai harapan perubahan. Untungnya sejak lebaran tahun 2013 lalu, kebijakan Pemerintah Daerah DKI Jakarta dalam mengelola urbanisasi membuahkan hasil. Jumlah pendatang baru yang masuk di tahun 2013 tercatat hanya sebesar 31 ribu jiwa, dimana 20 ribu di antaranya tersebar di berbagai daerah penyangga Jakarta.
Fakta tersebut tentu wajib mendapatkan apresiasi, mengingat begitu masifnya tindakan pencegahan yang dilakukan, baik melalui himbauan kepada masyarakat untuk tidak mengajak sanak saudaranya datang ke Jakarta, maupun berbagai sosialisasi, pemasangan spanduk dan pamflet kerasnya kehidupan di ibu kota. Pesatnya pertumbuhan daerah-daerah di pinggiran Jakarta seperti Depok, Bogor dan Bekasi juga turut andil, karena di mata kaum pendatang pilihan sasaran perbaikan hidup menjadi lebih bervariasi. Tingginya tingkat pertumbuhan penduduk Depok dan Bekasi yang mencapai 3% dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan penduduk Jakarta yang hanya 1,3%, semakin memperkuat argumentasi  di atas.
Oleh karena itu, bagaimana mengelola urbanisasi secara lebih bijak sebetulnya dapat dilakukan melalui pendekatan kependudukan atau kewilayahan. Pendekatan kependudukan tentu terkait dengan subyek dari urbanisasi itu sendiri, yaitu penduduk atau masyarakatnya. Urbanisasi hanya akan dianggap negatif ketika penduduk yang datang adalah penduduk yang unskill dan uneducated. Dilihat dari sisi positif, penduduk sebetulnya memiliki faktor strategis dalam pembangunan karena penduduk adalah subyek dan obyek pembangunan. Sebagai subyek, penduduk harus dibina dan ditingkatkan kualitasnya sehingga mampu menjadi mesin penggerak pembangunan. Keadaan dan kondisi kependudukan yang ada akan sangat mempengaruhi dinamika pembangunan. Jumlah penduduk yang besar jika diikuti dengan kualitas penduduk yang memadai akan menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya jumlah penduduk yang besar namun kualitasnya kurang memadai justru akan menjadi beban pembangunan.
Dari sudut pandang pendekatan kewilayahan, upaya pengurangan tingkat ketimpangan antardaerah dilakukan melalui penyebaran arus investasi di seluruh daerah secara lebih merata. Sebagai contoh, ketika tingkat pertumbuhan ekonomi Depok, Bogor dan Bekasi tidak menarik di mata kaum pendatang, berbagai bentuk pelarangan masuk kota Jakarta tidak akan membuahkan hasil yang efektif. Sebaliknya, tanpa dilarang sekalipun, jika pertumbuhan ekonomi Depok, Bekasi dan Bogor bersaing dengan pertumbuhan ekonomi Jakarta, maka kaum pendatang akan berpikir ulang untuk masuk ke Jakarta.
Baik pendekatan kependudukan maupun kewilayahan, semuanya akan optimal jika didukung alokasi DD yang bertanggung jawab. Dengan anggaran yang meningkat, desa memiliki potensi mengembangkan kualitas dan kesejahteraan masyarakat desa sekaligus memajukan pembangunan desanya. Masyarakat desa yang berkualitas tentu menjadi input yang bermanfaat baik bagi desa itu sendiri maupun bagi daerah lainnya ketika terjadi pola urbanisasi. Sementara, desa yang maju akan memberikan banyak lapangan pekerjaan bagi masyarakatnya tanpa perlu berpindah ke kota.
Ke depannya, proses inilah yang wajib kita ciptakan bersama. Jangan sampai pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan pengalokasian dana desa, namun pada gilirannya tujuan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa justru masih jalan di tempat. Jika ini yang terjadi, pola urbanisasi yang berdampak negatif pun akan terus terpelihara.(kkg)

(Oleh: Joko Tri Haryanto) Pegawai Kementerian Keuangan RI.