Media Sosial dan Kekerasan Pendidikan

Media Sosial dan Kekerasan Pendidikan

Oleh Fatkhul Anas

 

KASUS kekerasan dalam pendidikan sampai saat ini belum mampu diatasi secara maksimal. Bahkan mengalami peningkatan drastis. Laporan Komnas HAM, tahun 2014 terjadi 7.500 pengaduan dari masyarakat. Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya 6.000 pengaduan.
Adapun data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan, sebanyak 21 juta lebih anak mengalami kekerasan. Dari jumlah itu, 58% mengalami kekerasan seksual. Artinya kurang lebih 10 hingga 20 anak mengalami kekerasan seksual setiap hari. Kekerasan yang terjadi tersebut menurut Erinda, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sebagian besar bermula dari media sosial. Dari jejaring ini berbuntut kekerasan berupa tawuran pelajar, bullying, kekerasan seksual dan lainnya. Data di atas memberi gambaran jelas, kekerasan di dalam pendidikan bisa bermula dari media sosial. Maraknya media sosial atau yang sering disingkat dengan medsos, memberi jalan lebar bagi terciptanya kekerasan di ruang publik.



Efek Media
Kemunculan medsos memang diharapkan bisa memberi efek positif, terutama untuk membangun relasi. Namun, seiring berjalannya waktu, medsos justru menjadi ajang terciptanya kekerasan. Mengapa demikian? Sebagaimana ditulis Gregorius Septian Christianto (2012), merebaknya medsos secara masif telah menggeser dunia yang nyata ke dunia maya. Manusia dan manusia bukan lagi bertemu di ruang
publik, melainkan di dunia maya. Wadah pertemuan bukan lagi di jalanan, taman, alun-alun dan tempat-tempat bebas lainnya, namun menjadi lebih sempit lagi yakni layar monitor. Obrolan-obrolan yang dulu dilakukan secara lisan berubah menjadi barisan kata-kata dengan tulisan. Obrolan-obrolan yang bersifat pelecehan akhirnya juga tercipta di medsos.
Obrolan ini merupakan reproduksi kekerasan yang dilakukan di dunia nyata, kemudian diubah ke dalam dunia maya. Obrolan-obrolan berupa pelecehan inilah yang bisa berwujud menjadi kekerasan fisik. Pihak yang merasa dilecehkan bisa tersulut amarahnya, sehingga bermain fisik untuk melampiaskan dendam. Inilah efek medsos yang banyak menimbulkan kekerasan. Tidak hanya kekerasan di lingkungan luar, tetapi juga di dalam pendidikan.


Sadar Media
Kekerasan di dalam pendidikan yang bermula dari medsos ini, sungguh telah menimbulkan keprihatinan. Tak ada jalan lain kecuali mencari solusinya. Membangun masyarakat pendidikan yang sadar media bisa dijadikan alternatif. Masyarakat pendidikan yang terdiri dari kepala sekolah, guru, siswa dan karyawan kependidikan, sedini mungkin bisa mengenal media sosial dan mampu mempergunakan untuk hal-hal yang positif. Terutama bagi guru, diharapkan mampu mengenal dan menggunakan medsos. Guru sebagai pihak yang dekat dengan siswa, dituntut untuk bisa mengimbangi siswa yang saat ini telah canggih menggunakan medsos.
Apalagi sebagian besar siswa lebih canggih dari pada gurunya. Inilah tuntutan guru yang memang harus dipenuhi. Kalau guru mampu menggunakan medsos, seperti facebook, twitter, dan lainnya, guru akan mudah mengawasi siswanya. Ajaklah siswa berteman di jejaring sosial, sehingga aktivitas mereka mudah terpantau. Ketika siswa mengeluarkan celotehan kasar terhadap teman atau pihak lain di medsos, guru bisa langsung menegur dan mengarahkannya. Memang hal ini agak berat, terutama bagi guru yang sudah berusia lanjut. Sebagian besar mereka sudah tidak punya waktu untuk mengurus medsos. Usia mereka juga sudah tidak produktif untuk mengoperasikan teknologi berbasis IT. Namun, inilah tantangan yang mau tak mau harus dihadapi bersama.
Adapun bagi siswa, mereka perlu dibekali pemahaman yang baik mengenai media. Pelatihan-pelatihan intensif mengenai media sosial dengan segala sisi positif dan negatifnya bisa diberikan. Tujuannya agar siswa bisa memanfaatkan medsos dengan positif. Selama ini siswa cenderung dibiarkan menggunakan medsos, tanpa ada pembinaan. Sebagai manusia yang masih mencari jati diri, para siswa kemudian mengekspresikan diri mereka melalui medsos. Mereka belum paham efek dari ekspresi tersebut. Ketika ekspresi itu berwujud pelecehan, tentu bisa berujung pada kekerasan fisik dari pihak yang dilecehkan. Disinilah pembinaan intensif perlu dilakukan guna meminimalisir penggunaan medsos yang berujung kekerasan. (kro)


Mahasiswa magister di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.