Ketua LSM Riau Bersatu: Tangkap Provokator Biang Keributan di Pelalawan

Ketua LSM Riau Bersatu: Tangkap Provokator Biang Keributan di Pelalawan

RIAUMANDIRI.ID, PEKANBARU - Ketua Forum LSM Riau Bersatu, Robert Hendriko meminta aparat penegak hukum agar menyelidiki pihak-pihak yang ikut memprovokasi hingga memicu terjadinya bentrokan di Desa Pangkalan Gondai Pelalawan.

Apalagi kerusuhan itu mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit. Dua unit alat berat milik perusahaan dibakar dan satu unit mobil double cabin dirusak. Selain itu sejumlah aparat yang melakukan pengamanan juga mengalami luka-luka akibat dilempar oleh massa.

"Sekarang dua alat berat dibakar, mobil dirusak, ada aparat yang luka, begitu juga kabarnya dari pihak massa. Selain itu juga ada wartawan yang menjadi korban kekerasan. Kalau tidak ada yang memprovokasi, saya yakin situasinya tidak akan begini," kata Ketua Umum LSM Riau Bersatu Robert Hendriko dalam rilisnya, Rabu (5/2/2020) sore.
 
Robert mengaku prihatin dengan kerusuhan yang terjadi pasca pelaksanaan putusan Mahmakah Agung nomor 1087/Pid.Sus.LH/2018 tanggal 17 Desember 2018 tentang perintah eksekusi 3.323 hektar lahan di Desa Pangkalan Gondai Kabupaten Pelalawan Propinsi Riau.


"Kita minta aparat bersikap tegas, dan menangkap pihak yang ikut memprovokasi. Jika semua pihak taat pada putusan hukum, tidak seharusnya ada keributan. Putusan MA itu sudah jelas. Lahan 3.323 hektar itu masuk dalam kawasan PT NWR berdasarkan izin yang diterbitkan Menhut," tegas Robert.

Menyangkut adanya kebun plasma PT Peputra Supra Jaya (PSJ) yang dikelola masyarakat kelompok tani maupun koperasi di atas lahan yang masuk dalam putusan eksekusi, Robert Hendriko secara tegas menyebutkan itu menjadi tanggung jawab PSJ sebagai 'bapak angkat'.

Pasalnya, perusahaan itu yang menjadikan kawasan hutan sebagai kebun plasma mereka.

"Jadi jangan malah dibalik, seolah-olah perusahaan pemilik izin yang salah. Ini murni keteledoran PT PSJ, sekaligus kelalaian dari kelompok tani maupun koperasi yang tidak mempelajari status lahan yang mereka tanami. Kalau sekarang timbul persoalan, semestinya PT PSJ yang mereka kejar," jelas Robert Hendriko.

Lebih lanjut disampaikan Robert Hendriko, sebagai warga negara yang baik tentunya harus tunduk dan taat dengan peraturan yang berlaku di negeri ini. Dalam aturan secara tegas menyebutkan bahwa kawasan hutan tidak boleh diperjualbelikan dan  dijadikan lahan perkebunan.

"Kalau keputusan mengembalikan fungsi kawasan hutan justru mereka tantang, dimana semangat penyelamatan hutan di Riau. Kita juga mengingatkan pihak perusahaan agar tidak menjadikan masyarakat sebagai tameng dari penguasaan lahan secara ilegal," imbuh Robert.

Menurut informasi yang dihimpun, dari 3.323 hektar lahan yang dieksekusi melalui putusan Mahkamah Agung itu, kabarnya kurang lebih 1.300 hektar dijadikan PT Peputra Supra Jaya sebagai kebun plasma yang diserahkan kepada masyarakat melalui koperasi.

Sementara mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 26/2007 Pasal 11 ayat (1) menyebutkan, perusahaan perkebunan memiliki IUP atau IUP-B, wajib membangun kebun untuk masyarakat sekitar paling rendah seluas 20 persen dari total luas areal kebun perusahaan dan tidak dibenarkan membangunnya dalam kawasan hutan, baik kebun inti maupun kebun plasma.

Setakad ini belum diketahui secara jelas tentang Perjanjian Kepesertaan Masyarakat dalam KKPA dengan PT PSJ. Namun yang pasti, setelah melalui proses hukum dan peradilan, akhirnya Mahkamah Agung menerbitkan surat perintah eksekusi.

Masyarakat yang sudah belasan tahun menjadi anak angkat PT PSJ dan menanam sawit di kebun plasma akhirnya ikut menjadi korbannya. Tidak hanya itu, Putusan MA tersebut juga berdampak ke pihak Perbankan yang memberikan kredit KKPA.

Berdasarkan kajian Pansus DPRD Riau tahun 2017, terdapat 1,8 juta hektare kebun sawit Ilegal. Sedangkan menurut kajian KPK sebanyak 1,2 Juta hektare kebun sawit itu berada di dalam kawasan hutan yang dalam aturannya tidak dapat diperuntukkan bagi kebun sawit. Salah satu perusahaan yang masuk dalam daftar kajian Tim Pansus termasuk PT PSJ.

Mantan Ketua Panitia Khusus Monitoring dan Evaluasi Perizinan Lahan DPRD Riau, Suhardiman Amby kepada Antara di Pekanbaru menyebutkan PT Peputra Supra Jaya (PSJ) merupakan salah satu perusahaan yang menjadi temuan Pansus pada 2016 lalu.

Dia mendukung langkah Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang tengah melaksanakan penertiban perkebunan sawit yang berdiri tanpa izin usaha perkebunan berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor: 1087 K/Pid.Sus.LH/2018 dengan objek lahan perkebunan kelapa sawit pada kawasan hutan negara itu.

“Lahan yang sudah putus kemarin (PT PSJ) bagian dari Pansus Monitoring 1,4 juta hektare itu. Bagian dari beberapa grup yang kita lakukan monitoring dulu 2016, itu yang kita minta eksekusi. Sudah taat hukum saja, kalau mau berusaha ya lakukan secara legal,” tegasnya.

Selain berdiri di atas lahan tanpa izin, Suhardiman turut menyinggung bahwa PSJ diduga telah melakukan pengemplangan pajak. Hal itu didasari temuan Pansus saat itu bahwa perusahaan tersebut hanya mengantongi izin 1.500 hektare. Sementara areal yang digarap ternyata jauh dari izin, dengan 3.323 hektare diantaranya dinyatakan ilegal oleh pengadilan tertinggi.

Suhardiman berharap proses eksekusi lahan sawit tanpa izin PSJ menjadi langkah awal yang baik dalam menertibkan perkebunan ilegal di Riau.

Menurut Suhardiman, Pemerintah Provinsi Riau disebut kehilangan potensi pendapatan hingga Rp107 triliun per tahun akibat hamparan perkebunan sawit tanpa izin yang mencapai 1,4 juta hektare di Bumi Lancang Kuning tersebut.

“Potensi penerimaan pajak yang hilang itu Rp107 triliun setiap tahunnya dari 1,4 juta hektare perkebunan sawit ilegal,” papar Suhardiman.