JGMR Komentari Tudingan Wiranto yang Menyebut Peladang Penyebab Karhutla

JGMR Komentari Tudingan Wiranto yang Menyebut Peladang Penyebab Karhutla

RIAUMANDIRI.CO, Pekanbaru – Mengomentari pernyataan Menteri Kordinator Politik, hukum dan Keamanan, Wiranto yang mengatakan Karhutla sering terjadi karena aktivitas peladang, Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR) menilai itu melukai hati masyarakat gambut dan memperdalam derita fisikis akibat bencana kabut asap yang tak kunjung berhasil ditangani oleh pemerintah.

“Dalam situasi sensitif seperti saat ini di mana masyarakat sedang menghadapi ancaman dari kabut asap seharusnya pejabat negara sebagaimana Pak Wiranto ini harus bisa menjaga pernyataanya. Hal ini penting untuk menjaga situasi tetap kondusif,” kata Sekretaris Jenderal JMGR, Isnadi Esman, dalam rilis yang diterima Riaumandiri.co, Senin (16/9/2019) .

Masyarakat, kata Isnadi, sudah cukup menderita baik fisik maupun pisikis menghadapi dampak dari kabut asap.


“Hari ini masyarakat jangankan untuk mencari nafkah keluarga, untuk bernafas saja sudah susah. Untuk itu jangan lagi di perparah dengan tudingan masyarakat peladanglah yang menjadi punca Karhutla,” ucapnya.

Menurut Isnadi, Pemerintah harus tahu bahwa Karhutla yang setiap tahun terjadi ini bukan karena aktivitas perladangan masyarakat. Masyarakat berladang hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan hidup, namun cukong dan pemodal seperti perusahaan yang lebih menuai kekayaan dari aktivitas pembakaran lahan.

Di sisi lain, sebutnya, kelemahan pemerintah yang tunduk pada korporasi, tidak berani mengintervensi secara maksimal kepada perusahaan untuk melakukan upaya restorasi, tidak mampu memberikan sanksi atas kerusakan gambut yang disebabkan perusahaan itu yang menjadi masalah kenapa Karhutla tidak kunjung terselesaikan

“Kita temukan di lapangan perusahaan menutup pintu air yang mengarah ke areal masyarakat secara permanen ketika musim kemarau seperti sekarang, sehingga dampaknya areal konsesi tetap basah sementara areal permukiman dan wilayah kelola masyarakat kering, sehingga mudah terbakar. Sebaliknya, jika musim penghujan pintu-pintu air di perusahaan dibuka sehingga areal masyarakat kebanjiran. Solusi ini yang harus kongkrit diselesaikan oleh pemerintah agar Karhutla tidak lagi terjadi, bukan hanya dengan menjadikan masyarakat sebagai pemadam kebakaran ketika terjadi Karhutla namun lebih dari itu harus dengan solusi jangka panjang,” terang Isnadi.

“Perubahan alam yang terjadi di ekosistem gambut yang disebabkan oleh kanalisasi dan penebangan hutan alam oleh perusahaan itu berdampak pada mata pencarian masyarakat, termasuk peladang. Ketika gambut masih dalam bentuk alaminya yang basah, maka ketika ada sumber api tidak akan terjadi Karhutla. Namun jika kondisinya seperti saat ini, hanya dengan ketidak sengajaan seperti puntung rokok saja maka sudah memicu Karhutla yang sangat luas,” pungkas Isnadi.

Hingga saat ini di Riau sudah lebih dari 27.633 Hektare lahan gambut mengalami kebakaran, dan 281.622 jiwa terpapar Inspeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) akibat Karhutla, bahkan sudah hampir sepekan sekolah dan kampus-kampus meliburkan aktivitas belajar mengajar.**