Presidium Forhati Minta Perempuan Muslimah Tak Sebarkan Hoax

Presidium Forhati Minta Perempuan Muslimah Tak Sebarkan Hoax

RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA - Presidium Majelis Nasional Forum Alumni HMI-wati (FORHATI) Hanifah Husein mengingatkan perempuan muslimah harus cerdas dan smart menggunakan media dan menerima informasi dengan melakukan fact checker sehingga tidak menyebarkan hoax.

"Saya meminta perempuan dan mahasiswi muslimah yang tergabung dalam organisasi wanita islam hendaknya menjadi pelopor untuk tidak penyebar hoax dan melakukan fact checker apabila menerima berita atau informasi," kata Hanifah, di Jakarta, Selasa (2/4/2019).

Dia menjelaskan terkait pelaksanaan seminar dan kajian tentang Fact Checker bagi Perempuan SOLID (Sadar Olah Literasi Digital) yang diselenggarakan Forhati, Jumat (29/3/2019) pekan lalu.


Dijelaskan, perkembangan teknologi informasi yang menggerakkan industri digital, mempengaruhi perilaku masyarakat Indonesia, terutama berkaitan dengan perilaku politik menjelang pemilihan presiden, seperti saat ini. 

Oleh karena itu, Forhati mengundang organisasi mahasiswi Islam, organisasi wanita Islam dalam seminar sadar olah literasi digital tersebut. Dengan demikian Forhati, mahasiswi-mahasiswi Islam, dan organisasi-organisasi perempuan Islam tidak merupakan bagian dari kalangan yang sering menyebar hoax. 

Berdasarkan data dari MAFINDO menunjukkan, bahwa ibu-ibu merupakan penyebar hoax utama, karena mereka malas melakukan cross check, atau tabayyun atau melakukan verifikasi dan konfirmasi informasi.

"Forhati dan perempuan muslimah yang tergabung dalam organisasi Islam lainnya tetap semakin cerdas (smart) dan kritis dalam menerima dan menyebarkan informasi sehingga bermanfaat bagi penerimanya," harap Hanifah.

RUU PKS

Hanifa Husein juga menyinggung mengenai RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Dia sepakat, kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak dihapuskan. Namun tidak semua kalangan sepakat terhadap kebebasan seksual dan perilaku seksual menyimpang yang dapat ditimbulkan.

"Secara akademis, RUU PKS bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar dari segala hukum atau sumber hukum yang ada di Indonesia. Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa mengisyaratkan, semua Undang-Undang yang berlaku di negara ini harus sesuai dengan ajaran agama di Indonesia," jelasnya.

Dalam RUU PKS itu dinilainya, masih terdapat pasal-pasal yang secara implisit membuka celah terjadinya hubungan sejenis, dan hanya dihukum bila melakukan kekerasan dan pelecehan seksual. Padahal dalam Islam, hubungan sesama jenis adalah perbuatan yang dilarang. 

"Di sisi lain terdapat celah, perbuatan zina tidak dapat dihukum. Berbagai hal terkait kekerasan seksual yang terdapat dalam RUU PKS. Sebenarnya bisa diusulkan dalam penyempurnaan UU yang sudah ada, seperti KDRT dan UU Perdagangan Manusia, UU Perlindungan Anak, atau RUU KUHP.  Atau bisa diakomodir dengan diusulkannya RUU Kejahatan Seksual. Mudah-mudahan DPR yang akan datang bisa lebih smart mencermati kepentingan masyarakat tentang kekerasan seksual ini," harapnya. 

Reporter: Syafril Amir