Menumpas Kejahatan Begal

Menumpas Kejahatan Begal

DEWASA ini kejahatan perampasan dengan kekerasan atau begal akrab di telinga kita. Pasalnya, kejahatan ini bukan hanya terjadi sekali atau tiga kali, melainkan berulang kali. Menurut data Kepolisian Daerah Metro Jaya sepanjang Januari 2015, sudah terjadi 260 pencurian sepeda motor di ibu kota dan sekitarnya, yang sebagian besar dibegal. Ada 54 titik yang kerap dijadikan lokasi pembegalan. Dari 25 di antaranya di Jakarta, dan 29 lainnya tersebar di Depok, Tangerang, dan Bekasi.

Ternyata, tidak hanya DKI Jakarta yang menjadi tempat sasaran. Beberapa kota lainnya juga turut menjadi sasaran empuk kejahatan ini. Senjata yang biasa digunakan untuk melancarkan aksi begal ini seperti kayu tajam, kayu balok, senjata tajam dan sejenisnya. Senjata ini digunakannya untuk menakut-nakuti warga agar merelakan barang yang dimilikinya diserahkan kepada pelaku. Begal kembali membawa korban meninggal dunia. Di DIY misalnya, Ibu Suyanti (40) menghembuskan nafas terakhir di RSUP dr Sardjito Yogya pada Rabu (4/3/2015: SKH Kedaulatan Rakyat, 5/3/2015). Sebelumnya, dia dijambret dan ditendang oleh dua pelaku begal sehingga tubuhnya terlempar ke aspal saat mengendarai motor di depan SMAN 1 Sedayu Bantul pada Selasa (24/2/2015). Nahasnya, setelah jatuh ke aspal korban tertabrak motor yang melintas di belakangnya.

Mengacu pendapat Ruth Shonle Gavan sebagaimana dikutip Ismail Rumadan, kejahatan begal ini masuk dalam kategori organized crime. Para pelaku mengadakan organisasi yang rapi untuk operasi kejahatannya. Mereka melakukan aksi kejahatannya dengan berkelompok, ada yang berada di posisi eksekutor, pengawas, dan lain-lain. Artinya, kejahatan ini telah terencana (terorganisir) dengan matang. Akibatnya, masyarakat panik dan takut ke mana-mana, terutama saat malam hari. Satu sisi ada baiknya, karena dengan ini masyarakat jadi lebih hati-hati. Namun disisi lain, masyarakat menjadi semakin ketakutan dan ketenangan seolah sangat sulit didapat. Padahal Abraham Maslow menjelaskan bahwa ketenangan atau ketentraman merupakan kebutuhan yang sangat mendasar (basic need) bagi umat manusia.

Sanksi Hukuman
Sudah banyak yang menjadi korban dari kejahatan begal ini. Sebenarnya, begal tidak hanya terjadi belakang ini, namun jauh sebelum ini sudah ada. Hanya saat ini kembali hangat diperbincangkan karena korbannya semakin banyak. Meminjam teori broken window George Kelling, kejahatan ini kembali terjadi karena sanksi atau hukumannya belum membuat jera pelaku. Mereka ingin sesuatu dengan cara instan walaupun itu harus ditempuh dengan cara keji dan tidak bermartabat.

Dengan demikian, akibat dari kejahatan begal tidak hanya kerugian yang besar terhadap korban baik secara materiil maupun nonmateriil. Tetapi, kejahatan ini juga membebankan tanggung jawab yang cukup berat yang harus dipikul negara, termasuk dalam hal menanggulanginya agar tidak terulang. Karenanya, kejahatan begal harus ditanggulangi, dicegah, dan diberantas karena begal adalah masalah sosial yang harus diselesaikan. Dalam upaya memberantas kejahatan begal, kita perlu ingat pendapat para ahli kriminologi dan sosiologi, bahwa masalah kejahatan dan orang-orang yang melakukan kejahatan bukanlah merupakan masalah polisi saja. Semua elemen harus terlibat dalam upaya memberantas kejahatan ini.

Pertama, pelaku begal harus dihukum setimpal dan berefek jera. Person dalam buku kriminologi karangan Noach mengemukakan bahwa kejahatan adalah suatu aksi yang melanggar hukum dan dapat dihukum atas perbuatannya dengan hukuman penjara, denda, dan lain-lain. Bagi Person, kejahatan itu adalah pelanggaran daripada kenyataan atau terhadap hukum kebiasaan public opinion di dalam waktu tertentu.

Begal adalah kejahatan yang tentu telah melanggar hukum, sehingga pelakunya harus dihukum agar memberikan efek jera terhadap dirinya maupun orang lain agar tidak mengulangi kejahatan ini.

Kedua, mengintensifkan patroli kepolisian. Pengintensifan patroli kepolisian diharapkan mampu mempersempit ruang gerak terjadinya kejahatan (begal). Patroli bisa lebih diintensifkan di daerah yang rawan tindak kejahatan, minimal di tempat yang biasa muncul aksi kejahatan itu. Ketiga, masyarakat harus menghadirkan lingkungan yang mendukung terciptanya perdamaian. Sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Pramono dari kepolisian bahwa lingkungan keluarga yang buruk (broken home) dan lingkungan-lingkungan buruk lainnya di masyarakat adalah faktor utama timbulnya kenakalan remaja dan kejahatan lainnya. (kro)
Pegiat di Forum Penulis Muda Jogja.