Bono: Potensi Ekowisata yang Mulai Terkuak

Bono: Potensi Ekowisata yang Mulai Terkuak

 

Oleh Dr Apriyan D Rakhmat

 


Dahulu gelombang Bono dikenal sebagai fenomena alam yang penuh misteri, khususnya masyarakat yang tinggal di sekitar Teluk Meranti, Kabupaten   Pelalawan. Cerita-cerita yang penuh dengan kekuatan magis dan menakutkan kerap menjadi bumbu pembicaraan. Fakta juga membuktikan bahwa sudah banyak korban jiwa yang tersapu oleh gelombang Bono, baik masyarakat lokal ataupun pendatang.
Walaupun bagi masyarakat lokal fenomena bono bukanlah  suatu momok, karena memang sudah tercipta sejak berzaman dan dikenal ketika mereka lahir ke  dunia. Masyarakat juga sudah faham kapan terjadinya bono, ciri-cirinya dan bagaimana cara untuk menghindar dari gelombang bono. Justru gelombang Bono  adalah arena untuk menguji nyali dan ketangkasan berperahu. Ini seperti orang Suku Laut yang sudah terbiasa hidup dengan gelombang tinggi dan angin   kencang. Bagi Orang Suku Laut gelombang tinggi dan angin kencang bukan halangan berarti bagi mereka untuk melaut. Jikapun ada yang meninggal atau hilang akibat terjangan gelombang, itu memang sudah ajal datang menjemput dan saatnya hilang demikian kata-kata membujuk dari Orang Suku Laut. Sebab,   sedari kecil mereka sudah diajari berenang, mengenali ombak dan gelombang, menyiasati gelombang, petunjuk berlayar di lautan lepas dan tetek bengek lainnya mengenai laut.
Namun begitu, sebagian masyarakat masih meyakini adanya kekuatan magis dan perkara-perkara gaib lain yang menyertai gelombang Bono, seperti ungkapan  bahwa gelombang Bono adalah jelmaan tujuh hantu, atau di lokasi bono terdapat Istana Bunian nan megah dan cantik yang tidak kelihatan. Kepercayaan lainnya, bahwa seorang pendekar Melayu baru bisa dianggap sebagai pendekar sejati jika telah dapat melalui gelombang Bono. Dan bagi orang luar, yang tidak kuat nyali akan mundur teratur untuk menghadapinya. Sebab, memang risikonya besar, jika tersilap dan lengah bermain dengan alunan gelombang bono yang  bisa mencapai  ketinggian 6 meter, perahu atau kapal motor (pompong) akan ditelan oleh gulungan gelombang Bono yang bercampur pasir. Yang membuat   bulu kuduk merinding,  jika sudah tersapu gulungan gelombang Bono, risikonya  sangat besar; kematian.    
Fenomena Bono
Bono sebenarnya adalah fenomena alam yang terjadi akibat pertemuan air laut ketika pasang dengan air sungai. Dorongan dan kekuatan arus pasang laut yang  berbenturan dengan arus air sungai dari hulu ke muara yang kemudian menimbulkan gelombang panjang ke arah daratan sepanjang anak sungai. Boleh dikatakan Bono hampir mirip dengan gelombang tsunami, dengan penyebab kejadian yang berbeda. Gelombang bono adalah fenomena hidrodinamika,   yaitu berkenaan dengan pergerakan massa air.
Fenomena Bono akan dapat terjadi pada suatu tempat dengan bentuk muara suangai yang lebar dan dangkal kemudian menyempit ke arah hulu, seperti   bentuk  huruf  V.  Selain itu,  ketinggian  dan arus pasang laut dan arus sungai dari hulu juga faktor yang menentukan terjadinya fenomena ini.  
Gelombang bono biasanya terjadi  pada  tanggal 10 hingga 20 bulan Hijriah. Jika bulan besar (tanggal 13 – 16 bulan Hiriah) yang disertai dengan pasang   besar dan diikuti hujan deras di  hulu sungai, gelombang bono akan mengalami puncaknya. Selain itu, Bono juga terjadi pada “bulan mati”,  yaitu pada akhir dan awal bulan Hijriah. Menariknya, fenomena Bono hanya terdapat sekitar tujuh tempat  di dunia dengan nama yang  berbeda-beda, seperti ada yang  menyebutnya benak, pororoca, la barre, un mascaret, le mascarin, the mascaret dan aegir. Dalam  bahasa Inggris dikenal dengan istilah tidal bore. Kata Bono sendiri,  sebenarnya berasal dari bahasa Pelalawan yang berarti benar.
Di antara peristiwa Bono yang terbesar yaitu di Teluk Meranti, Pelalawan, dan yang lainnya di Brazil dan China. Kini, dengan kemajuan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, fenomena Bono tidak lagi dianggap sebagai fenomena yang penuh misteri dan menakutkan. Bahkan dengan   datangnya para peselancar dunia untuk berselancar di alunan gelombang Bono dalam beberapa tahun terakhir,  telah ikut memperkenalkan Bono Teluk  Meranti ke seluruh penjuru dunia.
Masyarakat yang dulunya masih ngeri dan takut, sekarang sudah mulai berubah menjadi berani. Masyarakat lokal pun juga sudah mulai bermain selancar di atas  alunan gelombang Bono, layaknya para peselancar dunia. Mereka seolah tidak takut lagi ditelan pusaran gelombang Bono.  Memang, dengan penguasan ilmu pengetahuan dan teknologi serta latihan secukupnya, cedera dan kecelakaan akan bisa diminimalisir. Alam yang dianggap begitu buas dahulunya, secara   perlahan dapat dijinakkan. Bahkan, bisa bersahabat dan bermain dengannnya. Bukan justru ditakuti dan dijauhi.
Konsep Ekowisata
Kini, Bono sudah mulai dikemas sebagai salah satu objek pariwisata di Riau. Dan dengan dukungan dan perhatian serius dari pemerintah Kabupaten   Pelalawan, Provinsi Riau dan pemerintah pusat melalui Kemeterian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, potensi Bono akan dapat  membantu menggerakkan   industri pariwisata di Pelalawan dan Riau pada umumnya. Sekali lagi, bahwa Bono adalah satu-satunya di Indonesia.
Fenomena Bono ini dapat diklasifikasikan ke dalam ekowisata, yaitu suatu bentuk kegiatan wisata ke lingkungan alamiah untuk mempelajari, mengagumi dan menikmati  keindahan flora, fauna, tempat bersejarah dan etnis budaya yang ada di suatu tempat sambil menyumbang kepada kelestarian lingkungan. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Miller (1978) yang dikaitkan dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Ekowisata adalah  bentuk pariwisata yang berfokus kepada lingkungan alamiah, dan mencoba untuk meminimalkan dampak negatif  terhadap lingkungan. Dan yang lebih ditekankan bukan hanya itu, tetapi ikut menyumbang kesehatan kualitas lingkungan atau tempat yang dikunjungi. Ini merupakan tantangan bagi industri  pariwisata dalam mendukung para pecinta ekowisata dari bersifat pasif kepada sumbangan aktif untuk melestarikan keberkesinambungan daya tarik ekologi (eco-attractions).
Konsep ekowisata (ecotourism) berbeda dengan nature tourism seperti yang dikemukakan oleh Boo (1990). Ekowisata  lebih eklusif, bertujuan dan memfokuskan kepada peningkatan dan pemeliharaan sistem alamiah (natural systems) melalui pariwisata. Oleh karena itu, di dalam konteks ini pendidikan lingkungan (environmental education) adalah satu bahagian penting dalam ekowisata.
Penguatan Ekonomi Lokal dan Pelestarian Lingkungan
Sejalan dengan nafas dan roh  ekowisata, maka potensi Bono ini jika dikelola dengan profesional dan terencana akan dapat menyumbang kepada peningkatan   ekonomi lokal dan sekaligus pelestarian lingkungan. Apalagi dengan kedatangan para wisatawan asing dan para peselancar dunia dalam beberapa tahun belakangan telah menjadikan wisata Bono makin populer.
Beberapa manfaat dan faedah sosial ekonomi aktivitas ekowisata dapat  diuraikan sebagai berikut; 1. Menciptakan peluang pekerjaan di bidang pariwisata terutama bagi penduduk lokal, baik yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung. 2. Meningkatkan dan menggairahkan iklim perekonomian seperti hotel, restoran, dan industri souvenir. 3. Dapat membantu  meningkatkan pendapatan melalui perdagangan mata uang asing (foreign-exchange) melalui wisatawan mancanegara. 4. Dapat meningkatkan dan mengembangkan sistem transportasi dan komunikasi seperti lapangan terbang, pelabuhan.
5. Dapat meningkatkan permintaan produk-produk lokal  (seperti produk pertanian), dimana wisatawan biasanya akan menyukai atau ingin mencoba menu makan tradisional setempat dan produk-produk lokal lainnya yang bersifat khas. 6. Mendorong penggunaan tanah secara produktif, terutama yang tidak produktif dari segi pertanian. 7. Dapat menyediakan mekanisme keuangan mandiri untuk daerah wisata seperti dikenakannya biaya masuk untuk melihat dan menikmati suatu objek wisata. 8. Ekowisata  juga berpotensi sebagai alat untuk mendukung perekonomian dengan melestarikan kebudayaan lokal, sebagai contoh  penjualan cendera mata. 9. Sebagaimana bentuk pariwisata lainnya dapat memperkaya  pemahaman antar budaya dan komunikasi global.
Jika infrsatuktur pendukung dibenahi serius seperti akses jalan ke lokasi wisata Bono, niscaya  perkembangana wisata Bono akan bisa lebih menggeliat.  Persoalannya, mampukah Kabupaten Pelalawan untuk menggarapnya secara profesional, termasuk mempromosikannnya secara lebih intens? Bisakah ini dijadikan prioritas jangka panjang untuk memajukan Pelalawan di masa depan?
Kayu dan hutan sudah punah ranah, maka potensi Bono patut kiranya diperhitungkan untuk dapat memberikan sumbangan ekonomi bagi kesejahteraan  masyarakat dan kemajuan daerah. Wallahu a’lam.***


Penulis adalah dosen Perencanaan Wilayah Kota, Fakultas Teknik Universitas Islam Riau, Pekanbaru.