Indonesia Sulit Maju

Indonesia Sulit Maju

Kita tahu tujuan utama bernegara adalah untuk kesejahteraan rakyat. Dalam bahasa agama disebut Baldhotun Thoyyibatun Warobbun Ghofur. Konidisi ini bisa tercapai jika pelaku pelaku politik, penegak hukum dan pendidikan eksis dengan baik.

Namun malang nian negeri kita, ketiga hal tersebut sedang sakit, malah sangat kritis atau sudah gawat darurat. Perpolitikan betul betul gonjang ganjing, kotor dan memuakkan. Parlemen bukan lagi lembaga wakil rakyat, tapi sudah menjadi lembaga wakil partai.

 Yang diperjuangkan hanyalah kepentingan pribadi dan partai. Partai hanya alat untuk mendapatkan kekuasaan.

Kalimat “untuk kepentingan raykat” hanya klise belaka, semua politisi mengatakan demikian. Namun perkataan dan perbuatan selalu pecah kongsi. Etika politik sudah jauh dan sudah lama meninggalkan kita. Bicara seenaknya, mengaku politisi politisi Islam, tapi moral bermasalah.

Apalagi rasa malu sudah begitu lama berpisah dengan kita. Betul kata orang kedai kopi, rupanya politisi kita hanyalah politisi-politisi ikan lele (suka di air keruh) dan terbiasa dengan pola lomba panjat pinang, tidak boleh ada orang yang sukses.

Penegak hukum tak mau kalah, hukum tajam ke bawah tumpul ke atas. Keadilan diperjualbelikan. Kebanyakan hakim tak punya hati nurani, termasuk pengacara, hampir selalu menegakkan benang basah, hampir selalu kalah tapi juga tak ada rasa malu. Kita lihat pula pendidikan, amburadul dan tidak dipercaya.

 Belum mampu melahirkan manusia berkualitas dan berakhlak mulia. Kualitas alumni pendidikan tinggi diragukan, tak mampu bersaing. Budaya nyontek, gampang lulus serta guru dan dosen yang tidak berkualitas. Kebanyakan guru dan dosen hanya sekedar mengajar, belum mendidik.

Pendidik saat ini betul-betul langka. Lembaga pendidikan tak ubahnya hanya sebagai tempat pencetak ijazah. Pengawasan dan proses administrasi rekayasa belaka. Banyak pakar mengatakan sudah saatnya revolusi di bidang pendidikan dilakukan. Ketika negeri ini sedang dilanda krisis, sedang kusut masai justru top eksekutif gamang pula menghadapinya.

 Terlalu banyak pertimbangan, lamban, barangkali banyak tekanan atau intimidasi. Itulah beberapa hal yang dominan penghambat Indonesia bisa maju, walaupun masih ada hal hal lain seperti mental birokrat dan sebagainya.
 
Bagaimana dengan dakwah? Banyak pakar dan pengamat mengatakan bahwa dakwah gagal, karena belum mampu menggiring umat ke arah manusia manusia yang bermoral dan berakhlak mulia. Majelis majelis ta’lim semakin banyak, wirid wirid pengajian aktif tapi belum ada dampak kualitas keagamaan dalam keseharian kita. Pengajian-pengajian berlangsung secara monoton, tak pernah dievaluasi sekedar wirid lepas, tidak terprogram dengan baik dan hanya dengan metoda ceramah. Para dai tidak mampu menulis, padahal banyak media menyebutkan bahwa melalui tulisan dakwah dan pemikiran ulama akan bertahan lama.

Bagi dai dan ulama menulis merupakan kewajiban (Republika, 20 Februari 2015). Selanjutnya di halaman yang sama menyebutkan: pada zaman dahulu seseorang ulama punya ilmu atau tidak, dilihat dari tulisan-tulisannya, bukan dari ceramahnya (Prof. Nazaruddin Umar, Republika 20 Februari 2015).

Justru yang sering didengar atau undangan undangan terhadap tabligh akbar dengan ceramah-ceramah yang dibawakan oleh ustaz ustaz kondang, di mana kita pun belum memahami apa yang dimaksud ustaz kondang. Materi cenderung mengejar akhirat sedangkan masalah keduniaan terabaikan.

Akhirnya dunia ini dikuasai oleh non-Muslim. Begitu pula kita jarang malah tak pernah ada ajakan untuk taubat apalagi mensponsorinya belum pernah ada. Padahal solusi dari pelanggaran-pelanggaran keagamaan adalah taubat dan jika taubat diyakini timbul kesadaran untuk berubah.
 
Intinya adalah: selama politik (praktis) masih menjadi panglima, selama politisi ikan lele masih berkeliaran, penegak hukum nakal masih gentayangan, selama top eksekutif belum berani dan belum piawai mengelola kekuatan politik.

 Selama kualitas pendidikan belum beranjak dari masalah dan pengawasannya hanya formalitas, serta mental korup masih sulit diatasi, selama metode dakwah tidak pernah dievaluasi, keilmuan dan wawasan dai masih terbatas dan tak mampu menulis (hanya ceramah saja) jangan diharap Indonesia bisa maju dan akan tertinggal terus oleh tetangga kita Malaysia, Thailand maupun Vietnam.

Oleh sebab itu kondisi ini perlu segera diatasi, dengan landasan: kesadaran, mau berubah, jujur dan kerja keras serta kompetensi yang memadai, jika tidak, maka mau tidak mau, suka tidak suka, akan kita nikmati terus kondisi negeri ini yang tak kunjung usai dari masalah.

 Mudah mudahan Allah membukakan hati kita semua untuk sadar dan cepat-cepat berubah. Wallahua’lam.***
Ketua STISIP Persada Bunda dan mubaligh IKMI Riau.