Ketua Dewan Pers Pertanyakan Independensi Media di Pemilu
RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA - Ketua Dewan Pers Yoseph Adi Prasetyo mempertanyakan independensi media massa dalam penyelenggaraan Pemilu 2019 karena di antara pemilik media tersebut merupakan petinggi partai.
"Kita tahu, media selalu tergoda untuk masuk wilayah politik, pemilik media menjadi pimpinan partai bahkan ketua umum partai. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana independensi media?" tanya Yoseph dalam diskusi 'Menjaga Independensi Media Jelang Pilpres 2019’ di Media Center DPR, Kamis (8/11/2018).
Dia mencontohkan, ada wartawan yang masuk dalam tim sukses pasangan calon presiden dan wakil presiden masih menulis editorial, masih muncul di televisi membawakan editorial.
"Kalau dia membawakan editorial, membawa satu opini di acara televisi dan dia mengomentari pasangan yang lain, maka orang akan mengatakan media ini tidak benar dan media ini bayes," kata Yoseph.
Dia mengungkapkan, Dewan Pers telah menyampaikan semacam teguran kepada kepada pemimpin redaksi medianya untuk mengganti orang yang ditampilkan di acara tersebut.
"Tolong diganti orang, masak orang tidak ada. Media-media cukup ternama terkemuka, media besar itu harusnya bisa menunjuk orang lain. Cutikan saja orang-orang ini dari kegiatan redaksi," kata Yoseph.
Selain telah diatur dalam UU Pokok Pers Tahun 40 Tahun 1999 dan kode etik jurnalistik, terang Yoseph, pada peringatan hari Pers Nasional Tahun 2014 di Bengkulu, komunitas pers menyatakan pers Indonesia harus bisa menjadi wasit dan pemberitaan yang adil, menjadi pengawas yang teliti dan seksama terhadap pelaksanaan pemilu.
"Tidak justru sebaliknya menjadi pemain yang menyalahgunakan ketergantungan masyarakat terhadap media. Karena itu Dewan Pers menjelang pilkada maupun pemilu selalu mengeluarkan surat edaran yang meminta media bekerja untuk kepentingan publik," jelasnya.
"Salah satu pasal dalam kode etik jurnalistik mengatakan kewajiban setiap wartawan agar selalu bersikap independen dengan memberitakan peristiwa dan fakta sesuai dengan hati nurani dan menghasilkan berita yang akurat yang dapat dipercaya benar sesuai dengan keadaan objektif ketika peristiwa terjadi," kata Yoseph.
Dia juga mempertanyakan adanya beberapa stasiun televisi menjadi sasaran publik dan wartawannya dilecehkan. "Yang jadi pertanyaan juga apakah perilaku publik yang kemudian menghakimi media ini, karena memang ketidaknetralan media di dalam memberitakan?" tanya Yoseph.
Diungkapkan, Dewan Pers pernah memberikan teguran kepada sebuah stasiun televisi karena memelintir pernyataan dari seorang narasumber, dan ini menunjukkan bahwa massa kemudian menghukum.
Agar wartawan, khususnya televisi terhindari dari penghakiman massa, jelas Yoseph, dia pernah mengusulkan agar tidak menggunakan atribut stasiun televisi, tapi menggunakan pakai seragam IJTI (ikatan jurnalis televisi Indonesia). Bila perlu meliput bersama.
"Tapi rupanya kebanggaan atribut pada tempat bekerja itu begitu tinggi. Ya sudah, yang penting saya ketua Dewan Pers sudah menyarankan, sudah memberikan masukan tapi rupanya tidak didengar," ungkap Yoseph.
"Situasi ini betul-betul memprihatinkan karena harusnya media terutama televisi yang menggunakan frekuensi publik itu memang tidak boleh ada partisanship," ulas Yoseph dalam diskusi nara sumber lainnya anggota Komisi I DPR Effendi Simbolon (Fraksi PDIP) dan pengamat politik Boni Hargens.
Effendi Simbolan mengatakan, keberadaan entitas komunitas media sebenarnya tidak lagi menjadi momok. Misalnya ada kelompok tertentu ingin memboikot salah satu stasiun televisi. "Ya sepanjang anda gak suka ya gak usah lihat aja. Itu memang beritanya hanya pak Jokowi aja. Gak ada lagi Prabowo di situ," ujar Effendi.
Sebenarnya menurut Effendi Simbolon, ketika memperpanjang izin stasiun televisi sebenarnya ada persyaratannya. Dia harus lepas dari kepentingan politik dan lepas dari kepentingan kepemilikan. "Tapi nyatanya hanya di bibir saja. Semua dijadikan barter," ujar Simbolon.
Reporter: Syafril Amir