Gonjang-ganjing Kasus Komjen BG

Kalau KPK Salah, Kenapa Bisa Dilimpahkan

Kalau KPK Salah, Kenapa Bisa Dilimpahkan

Pelimpahan kasus dugaan rekening gendut milik Komjen Budi Gunawan, yang akhirnya berbuntut dengan dilimpahkannya kasus itu ke Kejaksaan Agung, masih hangat disorot.

Seperti dilontarkan pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Ganjar Laksamana. Ia meyakini putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Sarpin Rizaldi, yang memutuskan penetapan tersangka  oleh KPK tidah sah, adalah kebijakan yang salah.
 
“Kalau hakim Sarpin memutuskan penatapan tersangka Komjen BG tidak sah, itu tidak masuk akal karena masih dalam sprindik (surat perintah penyelidikan)," ujarnya, diskusi ‘Bagaimana Nasib Kasus Komjen Budi Gunawan (BG) di Kejagung?” di Gedung DPR RI Jakarta, Kamis (5/3).

Ikut tampil sebagai narasumber anggota Komisi III DPR RI Ruhut Sitompul, Ketua Badan Pekerja ICW Emerson Jhunto dan kuasa hukum BG, Razman Arif

Menurut Ganjar, kalau status penyelidikan itu tidak sah, berarti penyidikannya mengangkangi penyelidikan. Sama artinya, hal itu tidak konsisten. Dengan demikian, hasil penyidikan yang telah dilakukan KPK, seharusnya tak bisa dilimpahkan ke Kejagung.

"Kalau penetapan tersangka KPK itu diputus salah, berarti penyidikan yang dilakukan KPK juga tidak sah. Nah, kalau sekarang kasusnya dilimpahkan ke Kejagung, itu statusnya apa?," kata Ganjar mempertanyakan.

Seharusnya, kata Ganjar, KPK tetap harus memegang dan melanjutkan penyelidikan, dan kalau memang tidak ada bukti yang kuat, maka proses penyelidikannya bisa dihentikan. Sebab, KPK tidak memiliki wewenang untuk menerbitkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan).

“Jadi, kalau proses penyelidikan KPK dihentikan di Kejagung, itu sama saja dengan mengakali UU. Untuk itu seharusnya, KPK di bawah Plt Taufiqurrachman Ruki melanjutkan proses penyelidikan, dan kalau tak cukup bukti langsung bisa dihentikan,” ujarnya.

Kalau pelimpahan kasus BG itu sudah ada di Kejagung, kata Ganjar, maka Kejagung harus melakukan dua hal; yaitu menetapkan status pelimpahannya an mengkaji secara mendalam kasus rekening gendut yang disangkakan kepada Komjen BG tersebut.

“Rekening gendut itu berasal dari temuan PPATK, maka dalam dokumen itu terkait TPPU atau ke korupsi? Kalau korupsi di mana korupsinya? Data dari PPATK hanya menyatakan indikasi (intellegent limit). PPATK pun tak bisa masuk bank sendirian, kecuali mengetahui transaksi itu dari bank soal keuangan yang mencurigakan itu, sehingga muncullah Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP)  dan Laporan Hasil Analisis (LHA),” ujarnya.

Pendapat berbeda dilontarkan kuasa hukum Komjen BG, Razman Arif. Ia mengatakan, pelimpahan kasus Komjen BG ke Kejagung setelah tidak ada aturan hukum untuk menghentikan kasus Komjen BG setelah dijadikan tersangka oleh KPK dan diputus salah oleh PN Jakarta Selatan.

“Justru pelimpahan kasus BG itu setelah ketiga penegak hukum itu membangun komunikasi dan berhasil untuk melimpahkan kasus itu ke Kejagung,” katanya.
 
Ragukan Ruki
Sedangkan Emerson Juntho menyatakan keraguannya akan komitemen Plt Ketua KPK Ruki, karena selama puluhan sudah mengabdi di Kepolisian. Apalagi pelimpahan kasus itu tak ada dasar hukumnya. Menurutnya, kasus itu seharusnya tetap dilanjutkan KPK, bukan malah melimpahkannya ke Kejagung. “Mana komitmen Plt KPK itu. Harusnye melanjutkan dan melawan Kepolisian, tapi malah menyerah,” tuturnya.

Ia menilai, Ruki tidak pantas memimpin lembaga antirasuah itu. Apalagi ditambah Jaksa Agung yang berasal dari partai politik NasDem, sehingga rakyat wajar meragukan objektifitas penanganan hukum kasus tersebut.

“Keputusannya nanti, pasti tak murni hukum tapi akibat tekanan politik dan potensi untuk menghentikan kasus BG itu sangat besar. Selama ini koruptor bagi Kejagung dan kepolisian itu justru menjadi orang istimewa,” tambahnya.

Karena itu kata Emerson,  selama Jokowi tidak tegas maka konflik cicak vs buaya itu akan terjadi terus-menerus. “Ibarat dua anak yang berantem dan dibiarkan, maka anak itu bisa terbunuh dan matilah KPK. Apalagi dari spirit dari pelimpahan kasus itu adalah untuk melanjutkan dan bukan menghentikan atau SP3. Sebab, kalau SP3 sewaktu-waktu SP3 itu bisa dibuka lagi,” pungkasnya.

Sedangkan Ruhut menyatakan bahwa Partai Demokrat tidak terlibat sejak awal pencalonan BG dan malah Fraksi Demokrat meminta menunda uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III sampai pengambilan keputusan di paripurna. “Kami malah tidak ikut mengunjungi rumah Komjen BG. Tapi, apa pun yang terjadi saat ini, baik KPK, Polri dan Kejagung harus diselamatkan dan diperkuat,” ujarnya. ***