dugaan jual beli Jabatan di Pemprov Riau mencuat

Makin ‘Basah’, Tarifnya Makin Tinggi

Makin ‘Basah’, Tarifnya Makin Tinggi

PEKANBARU(RIAUMANDIRI.co) - Setelah dilantik belum lama ini, keberadaan para pejabat eselon III dan IV di lingkungan Pemprov Riau, tiba-tiba mendapat sorotan tajam. Hal itu setelah 'merebaknya kabar yang menyebutkan pelantikan tersebut diduga disertai dengan adanya uang suap untuk mendapatkan jabatan atau diduga terjadi praktik jual beli jabatan.

 

 



Berdasarkan aduan yang diterima Komisi A DPRD Riau, tarif penempatan jabatan pada Eselon II, III, dan IV di lingkup Pemprov Riau tersebut, disebut-sebut memiliki tarif yang bervariasi. Untuk penempatan di institusi yang dianggap 'basah' memiliki harga yang lebih tinggi dibandingkan institusi yang 'kering'.Namun sejauh ini, Komisi A DPRD Riau belum menerima aduan secara resmi dan tertulis."Terkait adanya jual beli jabatan, laporan tertulisnya tidak ada. Tidak ada yang berani (melaporkan). Saya tantang, tidak ada yang berani," kata Sekretaris Komisi A DPRD Riau, Suhardiman Amby, Rabu (18/1).

 

 


"Tapi dari bisik-bisik tetangga, itu luar biasa banyak. Bisik-bisik menyampaikan ini (jual beli jabatan, red). Ini tidak ada data. Cuma ini macam kentut. Bunyinya ada, tapi tidak tampak wujudnya. Ini yang kita susah. Tidak ada yang mau mengaku," sambungnya.Dari 'bisik-bisik' yang diterimanya, Suhardiman mengatakan kalau harga untuk membeli suatu jabatan itu memiliki harga yang bervariatif. Tergantung 'basah' atau tidaknya posisi jabatan tersebut di suatu institusi."Berdasarkan rumor yang berkembang, ada pasarnya.

 

 

 

Semakin basah tempatnya, makin tinggi pasarnya. Itu katanya (informasi yang diterima, red). Kalau tempat-tempat basah, seperti di Dinas PU (Pekerjaan Umum), Dinas Pendidikan, Inspektorat, Dispenda (Dinas Pendapatan Daerah), ini agak beda, dibandingkan yang lain, misalnya di Balitbang (Badan Penelitian dan Pengembangan). Ini agak beda pasarnya," terang Suhardiman."Ini yang berkembang. Kita berharap ini bisik-bisiknya tidak benar," sambung Suhardiman.Seperti itu juga dengan informasi terkait penempatan pejabat yang tidak sesuai mekanisme dan hasil assessment.Suhardiman juga mengakui tidak ada laporan resmi yang tertulis.

 

 

 

Namun dirinya mendapat informasi dari pihak-pihak tertentu yang menghubungi melalui sambungan telepon."Via telepon yang banyak," pungkas Suhardiman Amby.Berdasarkan informasi yang diperoleh di lapangan, saat ini tim sapu bersih yang ada di Provinsi Riau tengah melakukan penyelidikan terhadap dugaan juga beli jabatan pada pelantikan sejumlah pejabat Pemerintah Provinsi Riau.Penyelidikan didasarkan adanya dugaan pengangkatan pejabat yang dinilai tidak sesuai dengan Undang undang dan ketentuan pada ASN.  Di antaranya adanya ASN pejabat eselon III yang dilantik, padahal sebelumnya ia baru saja dilantik sebagai pejabat eselon IV.

 

 


Berdasarkan UU ASN menurut mereka harusnya yang bersangkutan baru dapat dilantik ke eselon berikutnya setelah menjabat minimal dua tahun.Cara yang SmoothDari Jakarta, Komisioner Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Ida Nurida juga mengaku banyak mendapat laporan soal kasus jual beli jabatan. Namun, mereka kesulitan untuk membuktikan praktik kotor itu."Modusnya enggak selalu nyetor duit. Itu cara tradisional. Mereka kebanyakan memakai cara yang smooth," ujarnya, Senin lalu.Dikatakan, banyak modus yang dilakukan mereka, tidak lagi menggunakan uang. Misalnya, seseorang "nitip" si A kepada kepala daerah tertentu untuk diberi jabatan.

 

 

 

Akan tetapi pada saat lelang, si A harus memenangkan lelang kepada perusahaan B."Itu cara-cara lain yang sulit dibuktikan. Tapi saya tahu orang-orang itu cerita," ujar dia.Sementara untuk tarif, kata Ida, untuk mendapat jabatan struktural mereka mematok harga yang tinggi. Misalnya agar diangkat menjadi eselon II harus menyetor ratusan hingga miliaran rupiah."Kalau kepala biro yang kecil-kecil itu sekitar Rp250 juta," ujar dia.
Selain jabatan, kata Ida, penempatan dinas juga menentukan tarif. Misalnya, di Dinas Pendidikan tarif lumayan mahal karena dinas itu mendapat banyak dana dari APBD dan APBN. "Di (Dinas) Perhubungan juga besar," tandas Ida.

 

 


35 AduanSementara itu, Komisioner KASN lainnya, Waluyo mengatakan, sepanjang tahun 2016 lalu, pihaknya menerima 35 aduan yang menyangkut dugaan pelanggaran norma dasar dan kode etik perilaku ASN. Aduan tersebut mencakup dugaan jual beli jabatan oleh kepala daerah."Modusnya beragam, ada yang melalui staf ahli. Misalnya untuk bertahan dalam jabatan tertentu harus membayar Rp150 juta. Jadi banyak yang menggunakan perantara," ujarnya.Menyikapi hal itu, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Ade Irawan menilai, salah satu solusi untuk mencegah kepala daerah melakukan jual beli jabatan adalah dengan memperkuat institusi semacam KASN.

 

 


Keberadaan lembaga independen semacam KASN diharapkan dapat membuat proses manajemen pemda seperti rekrutmen dan mutasi pejabat tidak didasari kepentingan politik atau pragmatis.Sementara Waluyo menambahkan, proses rekrutmen harus dilakukan secara terbuka. Misalnya, syarat administrasi, uji kelayakan dan proses wawancara dilakukan secara terbuka dan diketahui masyarakat.Dalam proses rekrutmen, pemerintah daerah juga dapat melibatkan pihak ketiga atau lembaga eksternal yang berkompetensi dalam bidang rekrutmen.