Sidang Karhutla PT JJP

JPU Hadirkan Saksi Ahli

JPU Hadirkan Saksi Ahli

UJUNG TANJUNG (RIAUMANDIRI.co) - Sidang dugaan kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh pihak coorperasi PT Jatim Jaya Perkasa (JJP) kembali digelar di Pengadilan Negeri Ujung Tanjung, Senin (21/11). Agenda sidang ini merupakan mendengarkan keterangan saksi ahli yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Dalam hal ini, JPU menghadirkan Prof Dr Alfi Syahrin SH Msi selaku ahli hukum pidana lingkungan coorperasi dari Universitas Sumatra Utara (USU) Medan. Ini merupakan sidang lanjutan dari pekan sebelumnya yang sempat tertunda dimana, JPU merencanakan akan menghadirkan saksi ahli dari IPB Bogor.

Terdakwa PT. JJP dalam hal ini diwakili oleh Direksinya Halim Gozali didalam dakwaan JPU diduga telah melakukan tindak pidana perbuatan pasal 98, 99, dan pasal 108  jo pasal 116 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Kerusakan  Lingkungan Hidup. Bahwa  PT.JJP diduga melakukan pembakaran diatas HGU lahan milik perusahan pada tahun 2013 lalu seluas lebih kurang 120 hektare.


Sidang yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Lukman Nulhakim SH MH dengan dua anggotanya Crimson Situmorang SH dan Rina Yose SH dengan Panitera Pengganti Richa Rionita Meilani Simbolon SH , sedangkan dari pihak JPU diwakili oleh Endra Andre SH dan Terdakwa PT. JJP didampingi oleh Tim Kuasa Hukumnya  M Sitepu SH dan Toni Hutapea SH.

Dalam keterangannya saat ditanyai majlis hakim, saksi ahli mengatakan apabila coorperasi tidak melakukan upaya perlindungan terhadap lingkungan hidup maka, yang menjadi tersangka adalah orang atau pengurus yang dapat memberikan perintah dalam suatu coorperasi seperti jabatan mulai dari tingkat direksi, manager dan supervisi adalah orang yang paling bertanggung jawab. “Ke tiga pengurus ini dapat dimintai pertanggung jawabannya secara individual apabila ada pidana kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh karyawannya,’ jelasnya.

Namun demikian lanjutnya, pihak coorperasi bisa tidak terpidana jika bisa memberikan argumentasi dan membuktikan bahwa adanya dugaan kerusakan lingkungan pada saat terjadinya peristiwa bisa dibuktikan dengan adanya upaya perusahaan dengan maksimal melakukan upaya pencegahan dan memberikan sanksi terhadap karyawannya yang membiarkan terjadinya kerusakan lingkungan.

“Jika hal itu tidak dilakukan oleh perusahaan, maka hal itu dapat dikatakan ada unsur pembiaran atau kesengajaan yang dilakukan oleh perusahaan. Maka budaya coorperasi adalah budaya yang melanggar aturan,’ sebutnya.

Terkait dengan Karlahut tambahnya, untuk bidang sektoral bisa mengacu UU perkebunan dan UU kehutanan. Namun, perlu diingat jika terkait dengan UU sektoral harus dikaitkan dengan ketentuan sektoral itu sendiri. Misalnya dalam hal pembakaran lahan, dia tidak hanya membakar terhadap perkebunannya, dapat mengakibatkan efek lingkungan ke yang lain.

“Misalnya menyebabkan timbulnya asap dan kerusakan tanah maka, ketentuan UU sektoral tadisudah masuk kedalam UU 32 tahun 2009 tentang lingkungan hidup,’ ujarnya. (mg2)