Kondisinya Makin Memprihatinkan

Ribuan Perambah Huni Tesso Nilo

Ribuan Perambah Huni Tesso Nilo

PEKANBARU (riaumandiri.co)-Kondisi kawasan Taman Nasional Tesso Nilo yang berada di Kabupaten Pelalawan dan Indragiri Hulu, hingga kini makin memprihatinkan. Ribuan hektare kawasan hutan, telah berubah menjadi kebun sawit.

Ironisnya, kondisi itu diperkirakan akan terus berlanjut. Pasalnya, saat ini terdapat ribuan kepala keluarga perambah hutan, yang masih mendiami kawasan itu.
Dengan masih adanya ribuan para perambah hutan itu, maka harapan untuk melestarikan hutan lindung di kawasan itu, akan semakin sulit ditangani. Bahkan sebaliknya, ancaman kerusakan hutan semakin tampak di depan mata.

Fakta itu diungkapkan Kepala Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) Darmanto, Ribuan saat menyampaikan pemaparan saat rapat evaluasi Karhutla di Posko Lanud Roesmin Nurjadin, Jumat (19/8).

Ikut hadir dalam kesempatan itu Dansatgas Karhutla Riau yang juga Danrem 031/WB, Brigjen Nurendi. Sekdaprov Riau Ahmad Hijazi, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau Edwar Sanger, serta beberapa perwakilan instansi terkait lainnya seperti dari BMKG Stasiun Pekanbaru dan instansi terkait lainnya.

Dalam kesempatan itu, Darmanto yang baru bertugas selama enam bulan di TNTN menuturkan, hingga saat ini terdapat sekitar 4 ribu kepala keluarga (KK) yang secara ilegal mendiami dan menguasai hutan milik negara tersebut.

Ditambahkannya, keberadaan para perambah hutan tersebut sudah sangat massif dan sudah menjadi penduduk ilegal. Sebagian besar dari mereka bukanlah penduduk asli Riau, melainkan pendatang dari luar daerah, khususnya dari Sumatera Utara dan Jawa.
     
"Jumlahnya cukup banyak. Sekitar 4 ribu KK di Pelalawan," ujarnya.

Darmanto tak menampik, kerusakan di kawasan TNTN saat ini sudah sangat mengkhawatirkan. Dari 81.700 hektare luas kawasan TNTN yang ditetapkan pada 2014 lalu, 60 persennya di antaranya telah berubah fungsi akibat dirambah. Kondisi itu telah berlangsung selama belasan tahun.

Akibatnya, 20 ribu hektare kawasan TNTN saat ini telah berubah menjadi perkebunan sawit.  

"Saat ini hutan yang tersisa sekitar 23 ribu hektare. Yang sudah menjadi perkebunan sawit 20 ribu hektar, 38 ribu hektar lainnya jadi semak belukar dan pohon kecil," sebutnya.

Ke depan, lanjut Darmanto, pihaknya akan melakukan reformasi perencanaan untuk dapat memperbaiki 38 ribu hektare lahan yang rusak dan bekas dirambah untuk ditanami kembali.

Sementara, terkait keberadaan 20 ribu hektare lahan sawit yang berada di kawasan TNTN, Darmanto menyebut masih perlu dilakukan pembahasan dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Sedangkan, untuk menangani keberadaan ribuan perambah, pihaknya segera berkoordinasi dengan pemerintah Pelalawan, TNI dan Polri.
     
Direlokasi Menyikapi pemaparan itu, Dansatgas Karhutla Riau Brigjen Nurendi, mempertimbangkan untuk merelokasi para perambah hutan tersebut. Saat ini, pihaknya bersama Balai TNTN dan Pemkab Pelalawan, tengah berupaya mendata keberadaan masyarakat yang bermukim di lahan milik negara tersebut. Selanjutnya, petugas gabungan segera melakukan operasi Yustisi atau penertiban warga.

"Tentu kita butuh konsep yang matang untuk menangani warga yang berada di TNTN. Namun, saya lebih memilih untuk merelokasi mereka," tegasnya.


Menurutnya, operasi itu merupakan upaya untuk menekan keberadaan perambah yang menduduki lahan itu secara ilegal.
     
Terkait perintah Panglima Komando Daerah Militer I/Bukit Barisan, Mayor Jenderal Lodewyk Pusung agar menindak tegas dengan rumah-rumah yang ditemukan di lokasi perambahan hutan, Nurendi mengatakan itu bisa menjadi pilihan.
   
"Kembali lagi, dari Operasi Yustisi nanti diketahui asal mereka dari mana, apakah mereka memiliki identitas diri. Jika memang tidak ada, kita akan lakukan penindakan. Kita perintahkan agar mereka merubuhkan gubuk. Kalau tidak kita yang akan merubuhkannya," tukasnya.

Seperti dirilis sebelumnya, maraknya aksi perambahan hutan untuk dijadikan kebun sawit, mengakibatkan sekitar 60 persen lahan TNTN telah dikuasai secara ilega. Banyak pihak yang diduga ikut terlibat dalam kepemilikan lahan di areal taman nasional tersebut. Mulai dari oknum pejabat, TNI, Polri hingga wartawan. Dalam aksinya, mereka menggunakan kedok koperasi untuk menguasai lahan di kawasan itu. ***