Epistemologi Islam

Menyibak Tirai Kejahilan

Menyibak Tirai Kejahilan

Oleh: Henny Manginsela

 

Epistemologi adalah cabang ilmu yang secara khusus membahas teori ilmu pengetahuan. Epistemologi menjangkau permasalahan-permasalahan yang membentang  seluas  jangkauan  metafisika, selain itu ia merupakan hal yang sangat abstrak dan jarang dijadikan permasalahan ilmiah di dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu  kajian ini perlu dan sangat penting dalam memahami pesan teks wahyu dalam memahami makna sang pengarangnya.  Ada tiga aspek dalam memahami nalar pemikiran epistemologi.
Pertama, epistemologi bayani (Berpijak kepada teks). Epistemologi bayani berpijak kepada teks (nash), yakni sumber ilmu pengetahauan bayani adalah Alquran dan Hadis. Ini berbeda dengan pengetahuan burhani yang mendasari diri pada rasio dan irfani pada intuisi. Karena itu, epistemologi bayani menaruh  perhatian besar dan teliti pada proses transmisi teks dari generasi ke generasi. Ini penting bagi Bayani, karena sebagai sumber pengetahuan benar tidaknya transmisi teks menentukan benar salahnya ketentuan hukum yang diambil. Jika transmisi teks bisa dipertanggungjawabkan, berarti teks tersebut benar dan bisa dijadikan dasar hukum. Sebaliknya, jika transmisinya diragukan, kebenaran teks tidak bisa dipertanggungjawabkan dan itu berarti ia tidak bisa dijadikan landasan hukum. Karena itu, mengapa pada masa tadwin (kondifikasi), khususnya kondifikasi hadis, para ilmuan begitu ketat dalam menyeleksi sebuah teks yang diterima. Imam Albukhari(810-870M), misalnya, menggariskan syarat yang tegas bagi diterimanya sebuah teks hadis, misalya pertama bahwa periwayat harus memenuhi tingkat kriteria yang paling tinggi dalam hal watak, tingkah laku, keilmuan, dan standar akademisi.
Untuk mendapatkan pengetahuan, epistemologi bayani menempuh dua jalan. Pertama, berpegang pada redaksi lafaz teks dengan menggunakan kaidah bahasa arab. Kedua, menggunakan metode qiyas (analogi) dan inilah prinsip utama epistemologi bayani.  Epistemologi nalar bayani. Sumber pengetahuan bayani, Alquran dan Sunnah, tidak senantiasa bersifat qathi, terkadang juga zhanni, kemudian analogi bayani tidak hanya digunakan untuk menggali pengetahuan dari teks, tetapi juga dipakai untuk memahami realitas realitas metafisik. Pengetahuan dan teori-teori metafisik-teologis Islam klasik didasarkan atas metode qiyas bayani.
Analisis epistemologi Bayani berkembang dari bawah, dari sekadar upaya untuk memisahkan kata-kata Alquran dari pengaruh kata asing, menjelaskan kata katanya yang sulit sampai menjadi sebuah metode berpikir yang sistematis untuk menggali pengetahuan dan menyampaikan kepada audiens, sumber pengetahuan bayani adalah Alquran dan Sunnah, tidak senantiasa bersifat pasti (qathi) tetapi terkadang juga dzani, bahkan sunnah sendiri bersifat qathi dan zhani dari segi materi maupun transmisi teksnya.
Persoalan pokok yang diangkat mencakup dua hal yaitu lafal makna dan ushul furu, segi lafal makna bahwa lafal atau kata muncul lebih dahulu dan menentukan makna yang dimaksud, bahkan juga menentukan sistem berpikir selanjutnya. Sedang segi ushul furu, bahwa ashl bisa berkedudukan sebagai sumber, sandaran atau pangkal dalam proses pembentukan ilmu pengetahuan. Pengetahuan bayani diperoleh lewat dua cara atau tahapan, berdasarkan susunan redaksi teks yang dikaji secara langsung lewat analisis, kemudian berdasarkan metode qiyas atau analogi yang dilihat dari salah satu dari tiga aspek, yaitu hubungan antara asl dan faruk illat yang ada pada ashl dan faruk. Seterusnya analogi bayani tidak hanya digunakan untuk menggali pengetahuan dari teks, tetapi juga dipakai untuk memahami realitas realitas metafisik, pengetahuan dan teori teori metafisik teologis Islam klasik didasarkan atas metodi qiyas bayani.
Kedua, Epistemologi Irfani (Penalaran Berdasarkan Intuisi).
Epistemologi irfani adalah salah satu model penalaran yang dikenal dalam tradisi keilmuan Islam, di samping bayani dan burhani. Epistemologi ini dikembangkan dan digunakan dalam masyarakat sufi, berbeda dengan epistemologi burhani yang dikembangkan oleh para filusuf dan epistemologi bayani yang dikembangkan dan digunakan dalam ilmuan Islam pada umumnya. Istilah irfan sendiri berasal dari kata bahasa arab yakni arafa, semakna dengan makrifat, yang berarti pengetahuan, tetapi berbeda dengan ilmu (ilm’). Irfan atau makrifat berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh secara langsung dari Tuhan (kasyaf) lewat ruhaniyah (riyadhah) yang dilakukan atas dasar hub (cinta) atau iradah (kemauan yang kuat), sedangkan ilmu menunjukkan pada pengetahuan yang diperoleh lewat transformasi (naql) atau transformative (aql). Pengetahuan irfani inilah yang disebut sebagai pengetahuan yang dihadirkan (ilm hudluri) yang berbeda dengan pengetahuan rasional yang disebut sebagai pengetahuan yang dicari (ilm muktasib). Pengetahuan irfan ini diistilahkan sebagai pengetahuan tentang (knowledge of) sebuah pengetahuan intuitif yang diperoleh secara langsung, yang berbeda dengan  pengetahuan  mengenai (knowledge about) sebuah pengetahuan diskursus yang diperoleh lewat perantara baik indra maupun rasio.
Sumber irfani tidak didasarkan atas teks seperti bayani, juga tidak atas kekuatan rasional seperti burhani, tetapi pada kasyf, tersingkapnya rahasia rahasia realitas oleh Tuhan.  
Pengetahuan irfan sesungguhnya juga dapat dikatagorikan dalam kelompok korespondensi meski tidak memiliki objek transitif yang aksiden sehingga tidak ada alasan untuk melakukan transubjektivitas, apalagi mengingkari pengertian objektivitas pengetahuan irfan semata karena tidak memiliki objek luar. Metode yang dilakukan untuk menggapai pengetahuan adalah lewat tahapan tahapan laku spiritual (riyadhah), yang dimulai dari taubat sebagai pensucian diri sampai tawakal, ridha dan seterusnya, pada puncaknya yang bersangkutan akan memperoleh kesadaran diri dan kesadaran akan hal gaib lewat pencerahan atau emanasi. Proses pencerahan dan emanasi inilah yang menuntut shalik untuk menemui dan mampu menjelaskan rahasia rahasia realitas sehingga tidak tepat jika dikatakan bahwa penxgetahuan irfan adalah hasil abstraksi atau kontemplasi.
Ketiga Epistemologi Burhani (Pengetahuan Berdasarkan Prinsip Logika).
Berbeda dengan epistemologi bayani yang mendasarkan diri pada teks dan irfani yang mendasarkan diri pada intuisi atau pengalaman spiritual, burhani menyandarkan diri pada kekuatan rasio atau akal, yang dilakukan lewat dalil dalil logika. Prinsip prinsip logis inilah yang menjadi acuan sehingga dalil dalil agama sekalipun hanya dapat diterima sepanjang sesuai dengan prinsip ini.  Perjalanan al Burhani (demonstratif), secara sederhana, bisa diartikan sebagai suatu aktivitas berpikir untuk menetapkan kebenaran proposisi (qadhiyah) melalui pendekatan deduktif (al istintaj) dengan mengaitkan proposisi yang satu dengan yang lain yang telah terbukti kebenaranya secara aksiomatik.
Ilmuan Islam pertama yang mengenalkan dan menggunakan metode burhani adalah al kindi (806-875 M), dalam buku filsafat pertama (al falsafah al ula), yang dipersembahkan untuk khalifah al Mu’tashim (833-842 M), Al kindi menulis tentang berbagai objek kajian dan kedudukan filsafat. .
Salah satu persoalan yang dikaji dan muncul dalam burhani adalah masalah bahasa dan logika. Masalah ini muncul ketika terjadi perdebatan tentang kata dan makna  dalam tradisi arab bayani apa yang disebut sebagai pemikiran (akal) lebih diarahkan pada tindakan dan penjelasan tentang bagaimana sesuatu itu mesti dilakukan.  Burhani dengan menggunakan prinsip prinsip logika dan mengandalkan kekuatan nalar, telah berjasa mengembangkan pemikiran filsafat Islam. Juga telah membantu perkembangan epistemologi yang lain, seperti bayani yang dilakukan oleh al Ghazali (1058-1111 M) lewat al mustashfa fi ulum al fiqih, dan membantu metode irfani seperti yang terjadi pada Ibnu Arabi (1165-1240 M), lewat uraiannya tentang wahdatul wujud. Ia bahkan telah berjasa sebagai penopang utama bagi epistemologi berikutnya israqiyah dan hikmah al muta’aliyah.
Analisis prinsip burhani lebih mengutamakan sesuatu yang rasional dan kebenaran yang empiris, secara tidak langsung berarti telah menyederhanakan dan bahkan membatasi keberagaman serta keluasan realitas. Kenyataanya realitas tidak hanya pada apa yang konkret, yang tertangkap indra, tetapi ada juga realitas yang di luar itu, seperti jiwa dan konsep mental. Artinya, di sini ada kebenaran kebenaran lain yang tidak bisa didekati dengan silogisme. Wallahu Alam.
 Peminat Kajian Agama dan Sosial.