OJK: Pendanaan Infrastruktur tak Bisa Andalkan Bank

OJK: Pendanaan Infrastruktur tak Bisa Andalkan Bank

JAKARTA (HR)- Pendanaan infrastruktur di Indonesia dipastikan tak bisa mengandalkan perbankan. Otoritas Jasa Keuangan memproyeksi pasar modal akan menjadi sumber pendanaan jangka panjang untuk membiayai pembangunan di Tanah Air.

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman D. Hadad mengatakan meski industri perbankan tahun ini cukup optimistis dengan membidik target kredit di posisi 16,46 persen, namun ruang untuk pembiayaan jangka panjang, sempit.

“Pasar modal akan menjadi sektor unggulan untuk kebutuhan sumber dana pembangunan jangka panjang,” ujar Muliaman dalam Mandiri Investment Forum di Jakarta.
Untuk menggenjot pasar modal, Muliaman mengungkapkan pihaknya bakal menggenjot peningkatan jumlah perusahaan besar untuk melantai di bursa. Selain itu, lanjut Muliaman, pihaknya juga akan mengembangkan pasar surat hutang yang diharapkan akan lebih efisien.

Senada, Direktur Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Budi Gunadi Sadikin juga menuturkan selisih kredit dan dana pihak ketiga (DPK) di industri perbankan saat ini hanya bersisa Rp300 triliun. Padahal, setidaknya negara berkembang membutuhkan dana sekitar Rp1.000 triliun per tahun untuk memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur.

Belum lagi, dengan selisih kredit dan simpanan tersebut, dipastikan tak seluruhnya dana tak akan disalurkan hanya ke satu sektor tertentu. Selain itu, lanjut Budi,  mengingat loan to deposit ratio(LDR) yang telah mendekati 88,65 persen, kecil kemungkinan pelaku industri perbankan di Indonesia untuk memaksa rasio inter-mediasinya pada batas atas yang ditetapkan Bank Indonesia.

Begitu pun jika relaksasi perhitungan LDR terealisasi,  tetap tak akan menggenjot secara signifikan besaran porsi kredit infrastruktur di Indonesia. Sebab, relaksasi tersebut hanya secara hitungan padahal yang diperlukan yaitu sumber likuiditas yang memadai.

“Jadi perlu instrumen pembiayaan lain. Tapi perlu dilihat, dana dari pasar modal tidak semuanya dari dalam negeri. Ada dari luar negeri juga. Ini harus hati-hati mengingat jika pinjaman naik lagi, akan berdampak pada current account deficit,” jelas Budi.(okz/ara)