Mewujudkan Mimpi Besar Indonesia

Mewujudkan Mimpi Besar Indonesia

Sering kita mendengar ungkapan Man Proposes, God Disposes, Manusia hanya berusaha, Tuhan-lah yang menentukan. Pendapat lain mengatakan, We cannot predict the future. But we can create it.” (Jim Collins, 2011).

Pepatah terakhir memberikan dorongan positif bahwa, meskipun hak prerogatif masa depan ada di tangan Tuhan, tapi manusia diberi kesempatan untuk merencanakan dan berusaha mewujudkan mimpi mereka. Berbicara tentang mimpi masa depan, baru-baru ini Presiden Jokowi menulis ”7 impian ‘besar’ bangsa Indonesia” melalui goresan tangannya di secarik kertas saat berada di Merauke di penghujung tahun 2015. Jika kita boleh menarik intisari dari ketujuh impian tersebut, Presiden berharap dalam 70 tahun ke depan (2015-2085), Indonesia diharapkan mampu menjadi bangsa yang unggul dan makmur di antara bangsa-bangsa lain di dunia.

Pertanyaannya, bagaimana bangsa Indonesia bertahan dan meraih keberhasilan mewujudkan mimpi-mimpi besar yang dimiliki (not only survive, but prevail) di tengah tantangan dunia yang semakin kompleks. Untuk mewujudkan impian besar tersebut, jelas Indonesia membutuhkan pemimpin besar pula (great leader) dan bukan pemimpin yang biasa-biasa saja (ordinary leader). Lantas, apa kriteria pemimpin besar (great leader) yang mampu menahkodai bangsa Indonesia menuju negeri impian tersebut?
Jim Collins, seorang pakar bidang kepemimpinan (leadership) dari Harvard University, AS mengungkapkan dalam bukunya Great by Choice, kunci sukses menjadi pemimpin yang luar biasa. Salah satunya adalah sikap disiplin yang tinggi (fanatic disiplin). Disiplin yang dimaksud adalah adanya konsistensi terhadap cita-cita, konsistensi dalam bertindak, serta konsisten untuk bekerja keras. Artinya, pemimpin yang besar memiliki totalitas dan pendirian kuat (independensi) dalam mewujudkan keberhasilan negaranya seberapa pun sulitnya, dan tidak mudah goyah dan terpengaruh atas tekanan-tekanan yang menerpa dirinya.

Tekanan-tekanan bisa datang dari dalam organisasi itu sendiri maupun dari lingkungan eksternalnya.

Dalam konteks kepemimpinan Jokowi, sebagaimana telah menjadi konsumsi publik belakangan ini, dalam satu tahun periode kepemimpinannya, Jokowi telah dihadapkan dan mengalami banyak sekali tekanan baik yang berasal dari intern kabinet, tekanan politik, sampai tekanan pihak asing terhadap kebijakan-kebijakan yang diterapkan Presiden. Kisruh antar Menteri, contohnya, menyusul munculnya sosok Rizal Ramli dengan jurus Rajawali Ngepret yang telah berkali-kali ‘mengepret’ Menteri lain bahkan wakil Presiden, menunjukan bahwa dalam kabinet sendiri belum ada sinergitas dan harmoni antarpembantu Presiden, bahkan dengan wakilnya sekaligus untuk mewujudkan cita-cita bersama yang telah dituangkan dalam program Nawacita.
 

Bahkan dalam beberapa kasus, mereka saling tuding dan curiga bahwa apa yang mereka lakukan bukan didasarkan atas kepentingan bangsa tapi untuk individu dan kelompok mereka sendiri. Belum lagi, tantangan dari para elite politik. Kasus ‘papa minta saham’ yang membuat Setya Novanto turun dari jabatannya sebagai Ketua DPR menunjukkan, wakil rakyat yang terhormat tersebut masih belum bisa dipercaya untuk bisa mewujudkan impian besar bangsa Indonesia. Diantara mereka bahkan seringkali saling sikut untuk memenuhi hasrat pribadi mereka.
Dari pihak asing, usaha berkali-kali Australia dan beberapa negara lain menggagalkan upaya eksekusi mati terhadap warga negaranya yang menjadi bandar narkoba di Indonesia menunjukan bahwa intervensi asing terhadap suatu kebijakan Presiden akan selalu ada.  Menjaga konsistensi dalam menjalankan kebijakan merupakan tantangan yang berat bagi seorang pemimpin, hal tersebut terjadi karena banyaknya tarik menarik kepentingan yang seringkali menjadikan seorang Presiden tersandera dan akhirnya menjadi kompromistis.

Belajar dari Lee
Mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew, merupakan contoh sosok pemimpin dengan jiwa disiplin dan independensi yang kuat. PM Lee terkenal tegas dan tanpa kompromi dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan di negaranya, bahkan tidak segan menghukum rakyatnya yang tidak mematuhi kebijakan telah ditetapkan dan menggangu stabilitas negara. Meskipun terkesan otoriter dan tidak demokratis, tetapi semua dilakukan demi mencapai kemakmuran bagi rakyatnya.

Faktanya, Lee Kuan Yew telah mengukir sejarah sebagai The Great Leader bagi rakyat Singapura, bahkan diakui dunia sebagai pemimpin yang berhasil menjadikan Singapura yang awalnya hanya sebuah negara kecil yang miskin sumber daya, menjadi negara maju dengan tingkat daya saing dan pendapatan perkapita yang tinggi.  Berdasarkan data World Eonomic Forum 2014-2015, Indeks Kompetisi Global Singapura berada pada ranking ke-2 dunia dari 144 negara, mengalahkan AS di peringkat ke-3. Dan, memiliki rata-rata pendapatan perkapita sebesar 54,776 dolar AS. Sementara Indonesia saat ini masih berada di posisi 34 dengan pendapatan per kapita 3,510 dolar AS.

Belajar dari Lee Kuan Yew, ke depan, apabila Jokowi ingin menorehkan tinta sejarah sebagai salah satu The Great Leader yang mampu membawa Indonesia menuju impian besarnya di masa depan, maka tidak bisa ditawar lagi bahwa Jokowi harus konsisten terhadap cita-cita, konsisten dalam bertindak, dan konsisten untuk terus bekerja keras. Disiplinkan kabinet untuk bekerja sesuai dengan kebijakan pimpinan, tidak perlu lagi ada perasaan takut tersandera oleh kepentingan politik dan kepentingan asing.

Lakukan tindakan-tindakan yang nyata dan berpihak pada kepentingan masyarakat. Karena, seberat apa pun tantangan yang dihadapi seorang pemimpin, selama pemimpin tersebut tegas dan disiplin terhadap kebijakan dan cita-citanya yang pro-rakyat, niscaya rakyat akan selalu mendukung dan berdiri tegak bersama-sama mewujudkan cita-cita tersebut.
***
Penulis adalah mahasiswa program doktor Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia.