Jangan untuk Pencitraan

Jangan untuk Pencitraan

Pemerintah dianggap amburadul menangani kasus Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) sehingga memberikan ketidakpastian hukum bagi pelaku usaha dan masyarakat.

“Pemerintah terkesan terburu-buru dalam mencari pihak yang salah dalam kasus kebakaran lahan. Terkesan pemerintah, hanya ingin membuat publik senang sesaat,” ketus Sekretaris Jenderal Himpunan Masyarakat Untuk Kemanusiaan dan Keadilan (Humanika), Sya’roni di Jakarta
Anggota Komisi IV DPR Fraksi Golkar Firman Soebagyo meminta pemerintah harus mengedepankan praduga tak bersalah dalam setiap keputusan agar tidak menimbulkan persoalan baru dikemudian hari.
Menurut Firman, penegakan hukum bagi korporasi nakal harus dilakukan, namun tetap harus mempunyai kekuatan hukum yang pasti. Sebab jika itu dipaksakan, investor asing akan melihat bahwa pemerintah tidak menjamin kepastian hukum bagi investasi di Indonesia.

Firman juga menyayangkan, sikap pemerintah yang tidak tegas dan terprovokasi dalam permainan kelompok tertentu untuk menjadikan sejumlah korporasi sebagai target pesakitan.
Diungkapkannya, berdasarkan penelusuran intelejen kebakaran hutan dan lahan tidak terjadi begitu saja dan penyebarannya merata di hampir semua provinsi yang memiliki sumber daya alam unggulan seperti kelapa sawit dan pulp.
Diduganya, dibalik bencana itu ada grand design yang dimainkan pihak tertentu untuk melemahkan industri khususnya sawit dan pulp di Indonesia.
Mereka memanfaatkan ketidaktahuan dan keluguan masyarakat dengan memanfaatkan celah pada pasal 69 ayat 2 UU Nomor 32 Tahun 2009 yang memperbolehkan masyarakat membakar lahan dengan luasan maksimal dua hektare per kepala keluarga.
Ketua Bidang Agraria dan Tata Ruang Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono meminta pemerintah bijak dan transparan dalam melakukan penegakkan hukum dalam mencari dalang pembakar hutan Indonesia.

“Harus dibedakan antara yang sengaja membakar, dengan yang terbakar tidak disengaja,” katanya.
Diharapkannya, pemerintah obyektif, transparan dan mempertimbangkan efek lain pembekuan dan pencabutan izin usaha. Salah satunya, di dalam perusahaan ada lima juta tenaga kerja yang bekerja di sektor sawit. “Kalau nanti sanksi mencabut semua, artinya masalah baru muncul, pengangguran bertambah dan membuat masalah baru,” tegasnya.
Dukungan terhadap perusahaan sawit juga datang dari Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto yang meminta pemerintah mempertimbangkan pencabutan izin perkebunan sawit.”Harus sadar bahwa Sawit ini merupakan salah satu faktor penguat ekonomi,” katanya.

Setya menganggap pencabutan izin industri kepala sawit tidak bisa disamaratakan. Menurut dia, banyak pengusaha kelapa sawit yang sudah melakukan tindakan pencegahan.
Setya meminta pemerintah hanya mengevaluasi pengusaha kelapa sawit yang tak melakukan pencegahan kebakaran hutan yang menyebabkan kabut asap. “Ini yang harus ditindak setegas-tegasnya,” katanya.***