Memaknai Lahirnya Bahasa Indonesia

Memaknai Lahirnya Bahasa Indonesia

Delapan puluh tujuh tahun lalu, tepatnya tanggal 28 Oktober 1928, merupakan titik tolak bagi bangsa ini dalam memformulasikan mental seluruh suku bangsa yang mendiami tidak kurang dari 17 ribu pulau dalam kerangka berpikir sebagai satu kesatuan negara bangsa dengan menggunakan bahasa sebagai fondasinya. Pola pikir terkotak-kotak dalam keterberaian atas kerajaan-kerajaan atau kesultanan dengan bahasa nasional masing-masing (sekarang disebut bahasa daerah) terikat menjadi satu kesatuan melalui konsep menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Bahasa Indonesia menjadi instrumen awal dalam merevolusi mental 659 suku bangsa (berdasarkan jumlah bahasa daerah). Pengubahan konstruksi butir ketiga Sumpah Pemuda rumusan yang diajukan M Yamin dalam Kongres Pemuda I tahun 1926, dari "..menjunjung bahasa persatuan bahasa Melayu" menjadi "..menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia" jelas-jelas merupakan pengakuan atas peran sentral bahasa Indonesia dalam merevolusi mental bangsa.
Suatu revolusi mental penyatuan dari keterberaian yang saling membedakan satu sama lain menjadi bangsa yang bersatu, toleran, solider, bergotong royong dalam mengusir penjajah untuk membangun masa depan kolektif sebagai negara bangsa yang bermartabat.

Sejarah membuktikan bahwa negara-negara yang mampu merevolusi mental bangsanya dari keterbelakangan menjadi bangsa yang berperadaban tinggi selalu dilandasi politik identitas. Kemajuan yang dicapai peradaban Islam abad 9-14 tidak lepas dari politik identitas berupa ikhtiar menerjemahkan semua pengetahuan Latin-Yunani ke dalam bahasa Arab. Sehingga, pada saat itu dunia Islam menjadi sponsor perkembangan ilmu pengetahuan.
Begitu pula kemajuan peradaban negara-negara berbahasa Latin-Eropa, yang berbahasa Inggris, Prancis, Jerman, Belanda, Amerika, saat ini juga tidak lepas dari politik identitas berupa ikhtiar menerjemahkan semua ilmu pengetahuan berbahasa Arab ke bahasa Eropa Latin.

Bahkan, negara yang sesungguhnya memiliki titik awal pertumbuhan yang relatif sama dengan Indonesia, yaitu Jepang, mampu bangkit dari keterpurukannya setelah Perang Dunia II menjadi negara maju dan disegani oleh negara-negara sekutu yang dulunya turut memorakporandakan dengan memanfaatkan politik identitas berupa penguatan bahasa nasional. Jepang merevolusi mental keterpurukannya itu dengan menumbuhkan kepercayaan diri melalui penerjemahan segala ilmu pengetahuan dari bahasa asing ke dalam bahasa Jepang.

Peristiwa di atas menggambarkan bahwa politik identitas berupa penempatan bahasa nasional sebagai basis pengembangan masyarakat suatu negara bangsa dapat menjadi instrumen dalam membangun karakter/mental masyarakat negara bangsa itu sendiri. Melalui politik identitas pemartabatan bahasa negara/nasional, masyarakat bangsa itu menjadi percaya atas kemampuan yang dimilikinya. Persoalannya, mengapa bahasa dapat menjadi instrumen pertama dan utama dalam merevolusi mental bangsa?
Paling tidak terdapat tiga fungsi bahasa yang memainkan peran sebagai instrumen utama dalam merevolusi mental pemiliknya, yaitu fungsi sebagai identitas/jati diri, fungsi sebagai sarana berpikir dan pembentuk pikiran masyarakatnya, dan sarana bekerja sama untuk menjadi sesama. Sebagai lambang identitas/jati diri, melalui bahasa persatuan/nasional dapat dibangun kerangka pikiran pada setiap warga Indonesia. Bahwa meskipun mereka berasal dari berbagai latar belakang bahasa lokal dengan keberagaman pula ekspresi budaya yang menggunakan medium bahasa itu, mereka memiliki identitas yang sama, yaitu sebagai warga NKRI.

Revolusi mental melalui penguatan fungsi bahasa sebagai identitas keindonesiaan dapat memperkuat pemahaman tentang bahasa Indonesia tidak hanya sekadar sebagai sarana komunikasi, tetapi lebih dari itu identitas dan jati diri yang menandai keberadaan Indonesia sebagai negara bangsa yang bersatu, berdaulat, dan berkepribadian. Dengan demikian, pemartabatan bahasa Indonesia identik dengan pemartabatan bangsa.
Penguatan peran suatu negara bangsa melalui pemartabatan bahasa persatuan tidak hanya dilakukan secara internal melalui penguatan pemakaian bahasa itu di dalam negeri, tetapi juga perlu dilakukan melalui penguatan peran bahasa itu di luar negeri. Sejarah mempertontonkan bahwa negara/bangsa yang mencapai puncak kejayaannya, baik secara ekonomi, politik, sosial, dan budaya melalui politik identitas selalu diikuti penguatan peran negara itu pada negara lain melalui penyebaran bahasa nasionalnya di luar negara.
Pembelajaran bahasa asing yang terdapat di Indonesia, baik di lembaga formal maupun nonformal merupakan bukti peran negara yang memiliki bahasa itu dalam mendorong bahasa negaranya untuk diajarkan di Indonesia. Contoh yang sangat menarik, bahasa Inggris sebagai bahasa yang tidak diragukan keunggulannya sebagai bahasa pergaulan antarbangsa, masih saja penyebarannya dilakukan dengan upaya mengubah cara berpikir penutur bahasa lain melalui ungkapan silogistik: baik bahasa Inggris sama dengan baik pendapatannya karena baik bahasa Inggris berakibat pada baik pendapatannya maka kualitas hidupnya pun menjadi baik. Konklusinya, bahasa Inggris adalah bahasa masa depan yang baik (better English = better income, better English = better quality of life, dan English = better future).
Bahasa daerah
Sapir-Whorff dengan teori relativitas bahasanya menyatakan, bahasa selain mencerminkan cara pandang penuturnya terhadap dunia, juga turut membentuk cara pandang manusia terhadap dunia yang mengitarinya, baik dunia fisik maupun nonfisik. Seorang anak yang berbahasa Sumbawa atau Sasak yang mendengar orang tuanya mengucapkan kata tabek yang berarti permisi, maka dalam proses belajar bahasa si anak tidak hanya belajar bagaimana mengucapkan bunyi yang membentuk kata tabek itu, tetapi dia akan belajar kapan kata itu digunakan. Misalnya, dia akan memperoleh pemahaman bahwa kata itu digunakan saat melintasi orang yang lebih tua atau dihormati dan disertai posisi badan yang agak membungkuk.

Si anak, dalam konteks ini belajar bahasa bersamaan dengan belajar nilai-nilai etika dalam tata pergaulan antarsesama. Bahasa lokal sangat kaya akan ungkapan/kata yang memiliki nilai-nilai luhur bangsa, seperti kata basiru 'gotong royong saat memanen padi' pada masyarakat Sumbawa, pela gandong 'pola hidup solider' pada masyarakat Ambon.

Itu sebabnya, pengayaan kosakata bahasa Indonesia melalui penyerapan kosakata bahasa lokal yang dapat membentuk mental menghargai kesantunan, solider, tolong- menolong dalam tatanan kehidupan masyarakat Indonesia perlu diteruskan. Dalam konteks revolusi mental, sudah selayaknya pembelajaran tentang nilai-nilai kearifan Indonesia melalui pemberian mata pelajaran "Bahasa dan Cara Pandang Orang Indonesia" sudah selayaknya dirintis dan diberikan mulai tingkat sekolah menengah pertama.
Bahasa daerah sangat kaya akan terminologi kearifan yang tercermin dalam sistem bahasa, kata, dan ungkapan serta cerita lokal. Di Amerika Serikat, pelajaran semacam itu disajikan pada tingkat sekolah menegah dengan nama American Thought and Language.

Sebagai sarana bekerja sama untuk menjadi sesama, melalui bahasa persatuan dapat dibangun kerangka pikiran pada setiap warga Indonesia bahwa meskipun mereka berasal dari berbagai latar belakang bahasa lokal dengan beragam pula ekspresi budaya yang menggunakan medium bahasa itu, mereka tetap satu, yaitu satu kesatuan wilayah tanah air dan bangsa, yaitu bangsa Indonesia dengan bahasa Indonesia sebagai penghubung antarmereka.
Melalui revolusi mental inilah akan melahirkan perilaku yang menghargai keberagaman, solider, tenggang rasa. Revolusi mental dalam konteks ini dapat ditumbuhkan melalui pemahaman peran historis bahasa Indonesia mulai dari pergerakan Budi Utomo, Kongres Pemuda I 1936, Kongres Pemuda II 28 Oktober 1928: penggantian nama bahasa persatuan bahasa Melayu pada Kongres Pemuda I menjadi bahasa Indonesia dalam Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928.

Redaksi teks Proklamasi yang menggunakan bahasa Indonesia menggambarkan bahwa bahasa Indonesia merupakan identitas negara yang akan dibentuk: sampai pada menjelaskan bagaimana peran bahasa Indonesia dalam teks Proklamasi dan UUD 1945. Dengan demikian, keberadaan bahasa Indonesia menjadi lebih bermakna tidak hanya sebagai sarana komunikasi, tetapi juga di dalamnya melekat identitas dan jati diri keindonesian. (rol)
Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.