Matinya Identitas Politik

Matinya Identitas Politik

Oleh: Delpi Susanti, SIP, MIP
Ketua Kohati Cabang Pekanbaru

RIAUMANDIRI.CO - Matinya identitas politik. Itulah kira-kira pernyataan tepat untuk kondisi yang terjadi saat ini. Ruang politik virtual yang setiap aktor di dalamnya sangat menggantungkan dirinya pada wujud ontology citra sebagai jalan pencairan eksistensi adalah ruang politik yang inautentik, yang di dalamnya seseorang membangun identitas dirinya sebagai diri umum. Model diri yang mengikuti logika publisitas yang dicirikan oleh keseragaman, kesamaan dan kepublikan.

Konsep autentisitas dalam politik sangat berkaitan dengan konsep identitas politik yang menjadi bagian mekanisme dan logita artifisialitas yang membentuk masyarakat informasi, dapat diganti dan diubah secara tanpa batas dalam ruang virtual sehingga menggiring pada semacam paradoks identitas.


Ruang politik virtual menciptakan identitas politik yang bersifat jamak, sehingga mekanisme teknologisnya yang memungkinkan bagi penciptaan wujud-wujud artifisial. Kondisi ini pula yang terlihat pada beberapa bulan belakangan ini, pra dan pasca pemilu.

Berbulan-bulan mereka dilambungkan oleh berderet lembaga survei. Dengan angka selisih jauh dari apa yang didedah saat ini. Keunggulan 20 persen lebih. Menjadi hanya 6 sampai 9 persen. Selisih yang membuat dahi mengkerut.

Bahkan, angka kemenangan yang digdaya itu masih di-publish beberapa hari sebelum Pilpres. 'Tak akan ada perubahan signifikan' kata lembaga survei meyakinkan induk semangnya. Pada ujungnya, keraguan ini akan bermuara pada keraguan lain: jangan-jangan keunggulan yang dihidangkan itu pada faktanya berakhir kepada angka minus. Alias kalah. Tapi tarung belum usai. Strategi berlanjut

Kemungkinan manipulasi imagologi di dalam media-media politik virtual (televisi, internet) telah menimbulkan problem anomanimitas di dalam ruang politik. Sadar nian kemenangan Pilpres adalah dominasi angka, maka segala potensi bentuk angka-angka yang memenangkan harus masif dijejal ke khalayak. Ilmiah atau persepsi, itu belakangan. 

Maka penting menghujani media dengan angka QC. Yang penting masyarakat tahunya paslon ini menang. Hanya itu misinya. TKN putar otak. Harus ada data angka-angka lain yang tetap harus tayang tanpa henti di media televisi seperti QC. Maka, real count (RQ) Situng KPU yang masih banyak yang salah input itu akhirnya dipilih untuk dijejal di media mainstream. Mengganti QC. 

Tak cukup dengan mantra angka-angka. Kubu yang juga penguasa saat ini memberdayakan segala sumberdaya negara. Ribuan pasukan brimob dari berbagai wilayah didatangkan ke ibu kota. Katanya untuk stabilitas keamanan nasional. Seakan-akan republik yang baru berpesta dalam keadaan darurat. Tapi publik juga tidak begitu mudah percaya. Ini hanya dianggap sebagai strategi untuk menyampaikan kabar 'Sudah, daripada perselisihan berakhir pada kerusuhan, lebih baik terima saja apa adanya' itulah kira-kira pesan yang ingin disampaikan.

Ketika identitas politik dapat dibangun secara terbuka melalui manipulasi imagologi, maka identitas menjadi sesuatu yang tidak stabil, turbulen dan kehilangan pusat, identitas menjadi sesuatu yang sangat cair yang dapat berpindah secara liar ke sana kemari, tergantung arus hasrat yang membawanya tanpa ada yang mengikat dan menjangkarkannya. Karena kondisi ini berkembang ke arah identitas mengapung. Identitas yang tidak pernah berpijak pada pondasi dan deteminasi yang pasti (ideology, keyakinan).

Pemilu adalah gambaran dari nilai-nilai yang dianut masyarakat. Helat lima tahunan yang tidak hanya tentang memilih. Namun juga cerminan perilaku rakyat dan yang diberi amanah kekuasaan. Suuzon memang tidak dibolehkan apalagi dalam islam namun dalam kondisi ini juga tidak menganjurkan pada husnuzon tetapi perlu ada sikap skeptis terhadap sesuatu yang belum tahu kebenarannya. 

Hujatan, cacian, bahkan makian yang terjadi itu adalah bentuk kekecewaan terhadap penyelenggara yang tak mampu memberi pemahaman dan meyakinkan pada kondisi yang sebenarnya. Jujur itu mahal sehingga tetap akan memunculkan mosi tidak percaya.

Negeri ini tidak kekurangan orang-orang baik, tetapi negeri ini hanya membutuhkan orang-orang yang peduli. Hancurnya negara bukan karena banyaknya orang jahat melainkan karena diamnya orang-orang benar.