Batin Kuang Oso 30 Terabaikan

Sang Datuk tak Meminta Lebih

Sang Datuk tak Meminta Lebih

Para pemangku adat yang disebut sebagai para Pebatinan yang berjumlah kuang oso 30 (29 Pebatinan) dalam kawasan suku Petalangan, meliputi dari Kecamatan Langgam, Bandar Seikijang, Pangkalan Kerinci, Pangkalan Kuras, Teluk Meranti, Bunut, Bandar Petalangan, Pangkalan Lesung, Ukui dan Kerumutan, adalah para sesepuh yang setia dan teguh memegang adat istiadat, meski mereka tak diganjar dengan upah. Pebatinan ini, dengan penuh loyalitas, tak pedulikan rasa lelah setiap saat menerjang, tugas dan tanggung jawab tetap ia jalankan.

Adalah sosok Batin Putih Air Hitam tinggal di Desa Air Hitam, Kecamatan Ukui. Pria lebih dari paruh baya ini mendedikasikan hidupnya untuk mengurus anak kemenakan, kendati peluh deras yang mengalir dari tubuh rentanya tak berganjar rupiah. Ia setia memberi tunjuk ajar kepada anak kemenakan, agar hidup memegang teguh adat nisscaya badan akan selamat. Ia berprinsip, berlaku arif ditengah anak kemenakan.

"Ketika banyak persoalan yang dihadapi, terkadang menemukan jalan buntu, otomatis kita mengadu ke jajaran pengurus Lembaga Adat Petalangan untuk dicarikan solusi. Namun, bukan solusi yang didapat, bahkan hanya diam membisu itulah jawaban dari pengurus teras," cerita Datuk Batin Putih Air Hitam Arifin Dahlan, Rabu (14/1).

Sang Datuk pemangku adat itu, hanya bisa berharap, agar jajaran pengurus adat beritikad baik dalam mengurusi adat. Jika ada suntikkan dana dari Pemda Pelalawan saban tahunnya, mereka tak meminta lebih. Sang Datuk pun, tahu diri, asal mengalir saja, datuk sudah bersyukur.

"Jika memang lembaga kita ini dapat anggaran saban tahunnya, besarannya pun kami jajaran para pebatinan ini tidak pernah diberi tahu. Tapi itu tak jadi soal, asal mengucur hingga ke kami koit-koit nyo jadilah (sekadarnya)," sebutnya.

 Dalam ungkapan adat Petalangan, sebutnya, 'ado samo dimakan, tak ado samo kito cai' (jika ada sama-sama dinikmati, jika tak ada bersama-sama juga memperjuangkannya) atau 'hati tungau samo dicocah, hati gajah samo dilapah, tak ponuh keateh, ponuh ke bawah'.

"Artinya, jika suntikan dana dari Pemda itu kecil, ya sama-sama dirasa, jika besar juga sama-sama dinikmati. Karena kami memaklumi, tak kan pernah lebih akar dari pucuk, tapi setidaknya mengalir dari pucuk hingga ke akar, karena lembaga ini sejujurnya adalah milik kami para pemangku adat ini. Pengurus sifatnya hanya mengatur segala kepentingan kami Batin ini," tuturnya.

Karena, sambung datuk, dia pun dituntut oleh anak kemenakan untuk dibuatkan gondang, tetawak, tepak sirih dan semacamnya, karena hal itulah yang ingin dirasakan oleh anak kemenakan sebagai lambang kebesaran dalam adat Petalangan ini. Atau jika tak ada kepedulian pengurus, tidak mengapa. Namun, sebagai lembaga yang di isi oleh orang-orang beradat, jangan melanggar adat.

Jalan penuh liku hingga onak membentang di hadapan, tatkala sang Datuk yang saban hari bergelut dengan lumpur, menandakan ia adalah petani. Hingga rasa lelah yang teramat nian menggerus tubuh rentanya, terbersit ingin meletakkan beban amanah yang ia pikul. Karena, Datuk Batin yang bertungkus lumus memberi tunjuk ajar ini, tak di sokong oleh lembaga yang seharusnya lebih dominan mengurusi segala yang berbau adat. Lembaga Adat Petalangan (LAP) yang mencoba menaungi dan memberikan solusi hingga menghargai jerih letih sang datuk, hanya bisa berlalu manis dengan angkuhnya.

"Seharusnya LAP yang berfungsi sebagai wadah yang menampung semua kreasi para pemangku adat itu, mestinya berperan memberikan solusinya. Jangan abaikan para orang tua yang telah berkarya itu, LAP mesti mendukung penuh," saran Arifin, dalam Pebatinan Kuang Oso 30, ia diberi gelar Batin Bunut. (bersambung)