Soeharto Dihukum Rp4,3 T

Kejaksaan Siap Eksekusi

Kejaksaan Siap Eksekusi

Jakarta  (HR)- Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Widyo Pramono mengatakan proses eksekusi terhadap putusan peninjauan kembali terhadap kasus penyelewengan dana beasiswa Yayasan Supersemar masih menunggu kesiapan dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Menurut Widyo, Kejaksaan Agung tak bisa langsung mengeksekusi jika Pengadilan Negeri Jakarta Selataan belum bertindak. "Untuk mengeksekusi harus ada secara resmi pemberitahuan melalui pengadilan negeri setempat," kata Widyo, saat dihubungi, Selasa  (11/8).

Widyo mengatakan, saat ini Kejaksaan Agung masih menunggu salinan putusan resmi dari Mahkamahg Agung. Musababnya, syarat mengeksekusi adalah adanya salinan putusan peninjauan kembali dari Mahkamah agar dapat dirinci pertimbangan majelis hakim. Sehingga untuk mengeksekusi lebih mudah.

Menurut Widyo, saat ini lembaganya dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, selaku pengadilan yang menyidangkan gugatan Kejaksaan Agung terhadap Yayasan Supersemar, masih terus berkoordinasi sembari menunggu salinan putusan majelis hakim peninjauan kembali.

Mahkamah Agung mengabulkan Peninjauan Kembali yang diajukan Kejaksaan Agung terhadap perkara penyimpangan dana beasiswa Yayasan Supersemar. Mahkamah meminta bekas Presiden Soeharto, yang juga pendiri Yayasan Supersemar, tanggung renteng keluarganya karena Soeharto telah meninggal, membayar ganti rugi senilai 315 juta dollar dan Rp 139,2 miliar kepada negara. Nilainya setara Rp 4,3 triliun.

Pada 2010, Mahkamah memutuskan bekas Presiden Soeharto dan Yayasan Supersemar bersalah melakukan perbuatan melawan hukum. Majelis kasasi saat itu dipimpin Harifin A Tumpa dengan hakim anggota Rehngena Purba dan Dirwoto memutuskan mereka harus membayar kembali kepada negara sebesar 315 juta dolar AS, dengan rincian berasal dari 75 persen dari 420 juta dollar AS dan Rp 139,2 miliar, berasal dari 75 persen dari Rp 185,918 miliar.

Persoalan muncul ketika terjadi kesalahan dalam pengetikan putusan. MA tidak menuliskan Rp 139,2 miliar, tetapi Rp 139,2 juta alias kurang tiga angka nol.

Kasus ini bermula ketika pemerintah yang diwakili Kejaksaan Agung menggugat Soeharto dan Yayasan Supersemar atas dugaan penyelewengan dana beasiswa. Dana yang seharusnya disalurkan kepada siswa dan mahasiswa itu justru diberikan kepada beberapa perusahaan, di antaranya PT Bank Duta 420 juta dollar AS, PT Sempati Air Rp 13,173 miliar, serta PT Kiani Lestari dan Kiani Sakti Rp 150 miliar. Negara mengajukan ganti rugi materiil 420 juta dollar AS dan Rp 185 miliar serta ganti rugi imateriil Rp 10 triliun.

Pada 27 Maret 2008, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutus Yayasan Supersemar bersalah menyelewengkan dana. Putusan itu dikuatkan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Jaksa yang belum puas kemudian mengajukan kasasi.(tpi/ivi)