Reformasi Pelayanan Publik Melalui UU No.23/2014

Reformasi Pelayanan Publik Melalui UU No.23/2014

Fenomena yang menarik dari lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sekaligus merevisi keberadaan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah adalah lebih memberikan penegasan bahwa dalam rangka melaksanakan proses desentralisasi harus dilakukan penataan daerah yang ditujukan untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat dan oleh karenanya diperlukan adanya peningkatan kualitas pelayanan publik yang maksimal dengan harapan akan tercipta peningkatan daya saing nasional secara umum dan daya saing di tingkat daerah secara khusus. Namun demikian sekelumit pertanyaan bergelayut dibenak masyarakat tentang apa yang salah dengan sistem pelayanan publik khususnya di era desentralisasi? Apakah amanat yang diberikan oleh undang-undang otonomi daerah dengan melimpahkan sebagian wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus pemerintahan secara mandiri tidak mampu menyentuh masyarakat di daerah sehingga tidak menyentuh apa yang dimanatkan oleh Undang-Undang?
Adalah suatu keharusan bahwa di era otonomi daerah sektor pelayanan publik sudah semestinya menjadi lebih responsif terhadap kepentingan publik. Hal ini didasari oleh beralihnya paradigmanya ke pelayanan yang lebih fokus pada berbagai kegiatan yang manfaatnya harus dirasakan langsung oleh masyarakat dengan mengedepankan aspek pemberdayaan masyarakat sehingga publik dapat merasakan rasa memiliki yang tinggi terhadap berbagai fasilitas-fasilitas yang telah dibangun secara bersama.
Berbicara mengenai pelayanan publik tentunya tidak dapat dipisahkan dari kebijakan publik yang merupakan dua variabel penting yang memiliki hubungan kausalitas tinggi, keduanya tidak dapat dipisahkan namun dapat dibedakan dari segi fungsinya. Pelayanan yang baik harus bertitik tolak dari adanya kebijakan publik sehingga memiliki dasar hukum yang jelas untuk mencegah terjadinya berbagai penyimpangan-penyimpangan, begitu pula sebaliknya, kebijakan publik harus senantiasa berorientasi kepada pelayanan dan tidak sekadar menjadi ketentuan formal di atas kertas. Pelayanan harus mampu memberikan makna dalam arti sesungguhnya serta memberikan manfaat terhadap kehidupan masyarakat secara keseluruhan yang pada akhirnya akan tercipta suatu pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean governance), dengan melibatkan seluruh komponen pemangku kepentingan, baik dilingkungan birokrasi maupun di lingkungan masyarakat. Penyelenggaraan yang baik adalah pemerintah yang dekat dengan masyarakat yang dalam memberikan pelayanan harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat karena esensi dari pemerintahan yang baik dicirikan dengan terselenggaranya pelayanan publik yang baik yang sejalan dengan esensi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang ditujukan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam mengatur dan mengurus masyarakat setempat dan meningkatkan pelayanan publik.
Sejatinya, di era otonomi daerah birokrasi sudah semestinya lebih dekat dan secara langsung berhadapan dengan masyarakat serta merupakan perwujudan dan perpanjangan tangan pemerintah. Pelayanan yang diberikan birokrasi di daerah sangat identik dengan pelayanan pemerintah dan oleh karena itu Undang-Undang tentang pemerintah daerah (dulu dan sekarang) tetap mengamanahkan dan mengutamakan adanya peningkatan kualitas pelayanan publik di berbagai sektor kehidupan yang harus menjadi acuan untuk dilaksanakan dan sudah semestinya mendarah daging dalam diri setiap birokrasi di daerah.
Reformasi Pelayanan Publik di Era Otonomi Daerah
Tidak bisa dipungkiri bahwa kehadiran Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 semakin memberikan bukti sekaligus mempertegas pelaksanaan konsep desentralisasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan menghimbau kepada pemerintah, utamanya pemerintah daerah untuk lebih fokus dalam melaksanakan pelayanan diberbagai aspek penyelenggaraan pemerintah. Penegasan lebih lanjut disebutkan bahwa “Penyelengaraan pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan dan kekhasan suatu daerah dan antar daerah, potensi dan keanekaragaman daerah serta peluang dan tantangan dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara”. Bertitik tolak dari penegasan yang terkandung dalam undang-undang tersebut adalah bahwa tujuan penyelenggaraan pemerintahan daerah melalui pemberian otonomi yang seluas-luasnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dimana salah satu yang menjadi indikatornya adalah penyelenggaraan pelayanan publik.
Harus diakui bahwa dalam praktiknya selama ini terkait dengan pelayanan publik maka akan terlihat arah dan kebijakan yang tidak pasti, masyarakat yang pada dasarnya memiliki hak-hak dasar yang pemenuhannya menjadi tanggung jawab dari pemerintah acapkali dalam realitasnya ditemukan banyak arah dan kebijakan layanan publik yang tidak ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan publik, namun yang terjadi justru sebaliknya, layanan publik justru mendorong masyarakat untuk “melayani” elit penguasa. Berbagai bentuk kebijakan yang dilahirkan oleh pemerintah baik dalam bentuk hukum, peraturan perundang-undangan dan peraturan-peraturan lainnya yang bertalian dengan layanan publik yang pada dasarnya bertujuan untuk melindingi hak-hak setiap warga negara namun dalam prakteknya banyak ditemukan kenyataan-kenyataan yang melanggar kepentingan-kepentingan warga negara. Satuhal yang tidak kalah pentingnya dan masih marak terjadi adalah fenomena maladministrasi dalam bentuk tindakan atau perilaku birokrasi negara dalam melaksanakan tugasnya dalam memberikan pelayanan publik yang jelas-jelas bertentangan dengan kaidah serta norma hukum yang berlaku atau menyalahgunakan wewenang (detournement de pouvoir) yang memunculkan prinsip “ kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah” menjadi salah satu perilaku kalangan aparatur birokrasi yang bertugas dalam memberikan layanan publik. Kondisi ini membuat masyarakat turut terjebak dan mau tidak mau andil dalam perilaku tercela seperti memberikan tips yang pada akhirnya menimbulkan berbagai kerugian dan ketidakadilan.  
Terlepas dari berbagai fenomena tersebut diatas, melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ini sudah saatnya setiap pemerintahan daerah melalui aparat-aparat birokrasinya untuk segera bangkit dalam menata pemerintahannya dengan segera meninggalkan pola-pola dan sistem-sistem lama yang telah terbukti tidak mampu menghasilkan kinerja yang optimal dalam melayani masyarakat yang senantiasa berobah secara cepat. Alasan-alasan adanya keterbatasan sarana dan prasarana tidak lagi relevan untuk dijadikan pembenaran tentang rendahnya mutu dan kualitas pelayanan, hal terpenting yang harus dimiliki adalah faktor kemandirian dan kemampuan yang handal dari pemerintah dalam memenuhi segala kebutuhan pelayanan pada umumnya.
Dalam menghadapi kondisi ini, sudah seharusnya pemerintah dan pemerintah daerah untuk kembali fokus melakukan penataan dibidang administrasi negara dan birokrasi pemerintahan sembari melaksanakan transformasi paradigmatik dengan mendisain ulang sistem organisasi layanan publik, dengan kata lain menjadikan semboyan Excelent Service harus menjadi acuan dalam mendisain struktur organisasi di pemerintahan daerah sehingga akan mampu menciptakan kinerja pemerintahan yang efektif, efisien dan profesional yang setidaknya mampu menghapus “stempel” buruk birokrasi yang selama ini diberikan oleh masyarakat terhadap birokrasi pemerintah. Bila semua daerah otonom mampu menyelenggarakan pemerintahan secara bersih dan demokratis maka secara nasional pemerintah kita pada suatu saat nanti akan dapat melahirkan birokrasi-birokrasi yang bersih dan profesional yang membawa Indonesia menjadi negara besar yang diakui dunia. Semoga.***

Oleh:  Alifa Raysha Br Pasaribu - Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Islam Riau, Pekanbaru.