Mencari Calon Kepala Daerah

Mencari Calon Kepala Daerah


Salah satu bagian penting yang perlu dilihat dalam penyelenggaraan Pilkada 2015 adalah bagaimana mencari dan munculnya calon terbaik untuk memimpin daerah. Calon kepala daerah terbaik tentu saja hanya akan muncul jika dilakukan proses penjaringan yang sungguh dan profesional, terutama oleh partai politik sebagai mesin produksi pemimpin politik.
Mengingat tahapan pen
calonan akan segera menjelang, tentu penting untuk dilihat, bagaimana partai politik memilih dan menjaring bakal calon kepala daerah yang akan diusung pada pemilihan Desember mendatang. Publik sangat ber harap bahwa rezim baru dalam penyelenggaraan pilkada mampu menyajikan proses pemilihan yang lebih demokratis. Pemilih berharap, proses demokratis yang jauh lebih utuh. Proses yang dimulai dengan penjaringan bakal calon kepala daerah dengan mekanisme yang terbuka, jujur, dan adil.
Dalam penentuan pasangan calon kepala daerah yang akan diusung selama ini, partai politik belum punya mekanisme yang terbuka dan demokratis. Tidak ada proses seleksi terbuka bagi kader ataupun nonkader untuk "bersaing" agar diusung oleh partai politik dalam suatu pemilihan kepala daerah.
Kalaupun tidak proses seleksi, argumentasi yang jelas mengapa seseorang diusung menjadi calon kepala daerah oleh partai politik pun nihil selama ini. Kesan yang muncul dan berhasil ditangkap oleh publik, orang yang diusung partai politik menjadi calon kepala daerah adalah mereka yang punya modal berlimpah serta dekat dengan elite dan petinggi partai.
Modal berlimpah tentu saja konsekuensi dari biaya masif yang pastinya akan dibutuhkan untuk peme nangan pilkada. Persoalan keuangan partai yang tidak stabil dan sebagian besar hanya bergantung pada sumbangan kader yang menjabat di dewan, memaksa partai mencari calon yang punya sumber daya ekonomi kuat dan berlimpah.
Sedangkan, kedekatan dengan petinggi dan elite partai sudah menjadi suatu hal yang mesti guna mendapatkan restu pencalonan dalam kontestasi pilkada. Tabiat lama ini sebaiknya segera di tinggalkan oleh partai politik. Setidaknya, pembaharuan regulasi pilkada terkini, sedang berusaha "menyadarkan" partai, bahwa pemilihan bakal calon kepala daerah tak mesti lagi orang yang memiliki banyak uang.
Ini disebabkan oleh adanya ketentuan bahwa beberapa aktivitas kampanye pasangan calon kepala daerah telah dib- iayai negara. Ada empat itemkampanye yang akan dibiayai oleh negara melalui APBD dengan bantuan APBN. Pertama, debat publik atau debat terbuka antarcalon. Kedua, penyebaran bahan kampanye kepada umum. Ketiga, pemasangan alat peraga. Dan keempat, iklan di media massa cetak dan elektronik.
Keempat aktivitas kampanye ini adalah itempengeluaran yang paling besar dari setiap pasangan calon kepala daerah. Oleh sebab itu, maksud dari negara untuk membiayai empat item kampanye berbiaya mahal ini tentu dapat diartikan sebagai usaha untuk mengurangi beban dari calon kepala daerah dalam kontestasi pilkada.
Dengan ketentuan seperti sekarang ini, seharusnya partai politik sudah kehilangan alasan untuk memilih bakal calon kepala daerah dengan pertimbangan modal ekonomi semata. Momentum ini bisa menjadi jalan untuk segera meninggalkan cara lama dalam penentuan kepala daerah.
Partai politik mesti berbenah, khusus dalam hal pengajuan bakal calon kepala daerah. Jangan lagi, publik dipaksa "membeli kucing dalam karung" dengan mengusung bakal calon kepala daerah yang tidak jelas alasan dan indikator pengusungannya. Partai harus membangun dan melaksanakan mekanisme penjaringan bakal calon yang terbuka dan demokratis.
Konsep uji publik yang pernah ada di dalam UU 1/2015 sebelum direvisi, setidaknya bisa diadopsi semangatnya oleh partai politik. Persoalan nama atau nomenklatur penjaringan diserahkan sepenuhnya kepada partai politik, berikut juga dengan mekanismenya. Tetapi, yang mesti ada dalam proses penjaringan bakal calon tersebut adalah adanya kesempatan yang sama bagi setiap kader partai untuk maju menjadi bakal calon kepala daerah. Kedua, mesti ada proses seleksi terbuka bagi setiap bakal calon yang mendaftar kepada partai tersebut.
Proses seleksi yang terbuka ini tentu saja memberikan kesempatan kepada publik untuk berinteraksi atau bertanya jawab dengan bakal calon tentang konsep dan misi yang dibawa oleh bakal calon untuk memimpin daerah tersebut. Menghadirkan panelis, seperti akademisi dan tokoh masyarakat dalam proses seleksi tentu akan membuat kedalaman proses seleksi dan penjaringan lebih bernilai.
Barulah, kemudian sampai pada penentuan bakal calon yang akan diusung oleh partai politik. Indikator penilaian tentu harus dijelaskan secara terbuka kepada bakal calon dan masyarakat.
Apakah persoalan elektabilitas, kedalaman visi dan misi, atau indikator penilaian lain yang bisa dijelaskan oleh partai politik.
Dengan mekanisme yang terbuka ini, tidak hanya pemilih yang akan diselamatkan dari praktik membeli kucing dalam karung. Tetapi, kredibilitas partai politik pengusung calon kepala daerah akan jauh lebih terjaga dengan adanya seleksi yang terbuka dan demokratis.(rol)
(Oleh: Fadli Ramadhanil) Peneliti Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)