Pacu Jalur (Bagian II-habis)

Membangun Sikap Futuristik Demi Kelangsungan Budaya

Membangun Sikap Futuristik  Demi Kelangsungan Budaya



“Kebudayaan suatu bangsa yang telah dirintis berabad-abad lamanya tidak akan mati begitu saja, kecuali ia punah terkubur bersama bangsanya. Kebudayaan, entah itu dalam bentuk kesenian tradisi ataupun pola tingkah laku tidaklah hadir sebagai barang antik kehidupan modern, tetapi sebagai cermin proses sejarah dan sebagai roh tindak laku kontemporer”. Kutipan tersebut merupakan pandangan Suka Hardjana terhadap fenomena budaya.
Apa yang dapat kita ambil dari pendapat Suka Hardjana di atas adalah, kita tidak perlu takut Pacu Jalur akan ditinggalkan begitu saja oleh masyarakat Kuantan Singingi sebagai manisfestasi atas tingkah lakunya dalam berbudaya.
Pacu Jalur sebagai produk budaya masyarakat Kuansing akan tetap melekat sebagai identitas diri masyarakat Kuantan Singingi sampai kapanpun. Sisi yang justru harus lebih kita perhatikan adalah eksistensinya sebagai artefak dari perilaku berbudaya tadi.
Sikap futuristik merupakan sikap yang mendorong kita untuk berpandangan jauh ke depan. Bukan semata-mata sebagai gagasan untuk mengubah masa depan, namun sebagai rule mode untuk memprediksi masa depan agar diperoleh solusi-solusi terbaik dalam memecahkan persoalan yang mungkin “akan” muncul. Sebagai rel tempat berjalan agar nantinya tidak menyimpang dan mengakibatkan terjadinya degradasi budaya.
Tahun 2012 lalu, terdapat 119 jalur yang berkompetisi dalam event tahunan ini. Artinya, terdapat 119 pohon dalam kategori Critically Endangered (kritis) maupun Endangered (terancam punah) dipacu demi pretise dan gengsi. Jumlahnya terus mengalami peningkatan, berturut-turut pada tahun 2013 dan 2014 menjadi 128 dan 146 Jalur. Situs resmi IUCN Red List (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) mencatat bahwa beberapa jenis pohon hutan Sumatera masuk dalam daftar Critically Endangered (kritis) maupun Endangered  (terancam punah).
Tentu tidak dapat dinafikan bahwa kemenangan merupakan kebanggaan yang begitu megah sehingga sangat sayang untuk dilewatkan. Apa artinya berkompetisi tanpa nafsu untuk menang? Diskusi-diskusi penulis dengan beberapa tokoh kepengurusan jalur hampir selalu menghasilkan jawaban yang sama, “Jalur ini tidak lagi dapat bersaing, hal yang kita harus lakukan adalah membuat jalur baru agar mampu berkompetisi dengan daerah lain di gelanggang”.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa ternyata pola pikir seperti ini telah menjadi landasan berpikir yang mainstream di kalangan masyarakat Kuansing pada umumnya. Ingin menang? Anda harus punya tunggangan (Jalur) baru.
Kita seharusnya mampu keluar dari pola pikir konservatif, berani menghadirkan solusi-solusi yang bersifat solve problem, dan bercermin atas sekitar. Jalur Untung Batuah Kab. Indragiri Hulu sebagai pemuncak event Pacu Jalur 2013 hendaknya bisa dijadikan pedoman bagaimana seharusnya mencari solusi yang tidak mainstrem. Untung Batuah merupakan jalur yang dibeli dari Desa Seberang Taluk oleh daerah Indragiri Hulu, yang kemudian diperbaiki ulang. Bagi masyarakat Seb. Taluk, jalur tersebut yang sebelumnya bernama Sosopan Olang Putiah dianggap tidak lagi mampu memberikan harapan atas ekspektasi tinggi menggapai posisi puncak, atau katakanlah untuk sekadar masuk hari keempat putaran final.
Kita begitu asyik mengucurkan jutaan rupiah untuk membuat jalur baru, kemudian merepetisi lagi laku tersebut jika jalur yang dibuat tidak dapat memenuhi hasrat menggapai puncak tertinggi bernama kemenangan. Tanpa diselingi renungan melihat ke depan dan bertanya apakah 30 atau 40 tahun yang akan datang anak cucu kita dapat merasakan kebangggan yang sama?
Kebanggaan bahkan sekadar untuk menikmati dan melihat sendiri event ini secara langsung. Memupuk kesadaran dini akan kelangsungan budaya ini juga diperlukan sembari membangun rasa cinta sebagai usaha mempertahankan selama mungkineksistensinya. Daftar status beberapa jenis pohon yang dikeluarkan oleh IUCN Red List di atas adalah sebuah warning, bahwa kita telah sampai pada titik di mana hal ini harus segara ditanggapi secara serius.  
Berikut merupakan penggalan sajak UU. Hamidi tentang jati diri masyarakat Melayu yang semestinya memelihara hubungan dengan Tuhan, manusia, dan alam:

Adat hidup orang beriman,
tahu menjaga laut dan hutan, tahu menjaga kayu dan kayan, tahu menjaga binatang hutan, tebasnya tidak menghabiskan,tebangnya tidak memusnahkan
bakarnya tidak membinasakan, beramu tidak merusak kayu, berotan tidak merusak hutan, bergetah tidak merusak rimba, berumah tidak merusak tanah,berkebun tidak merusak dusun, berkampung tidak merusak gunung, berladang tidak merusak padang.***

(Oleh: Supriando)Penulis lepas.