Kewajiban Kita Hanyalah Menyampaikan

Kewajiban Kita Hanyalah Menyampaikan


Islam adalah agama yang penuh dengan kelembutan dan kesantunan. Agama yang tidak membenarkan kekerasan dan pemaksaan kehendak. Termasuk dalam hal ini mengajak orang ke jalan kebenaran (dakwah).
Alquran berbicara kepada kita, bahwa: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik....”. (QS: An Nahl Ayat: 125).
Di kesempatan yang lain, Alquran juga berbicara kepada kita, bahwa: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu...”. (QS: Ali Imran Ayat: 159).
Jadi, maraknya hari ini orang perorangan atau sekelompok orang, apakah bernaung dalam sebuah organisasi kemasyarakatan, lembaga, atau apapun namanya dengan mengatasnamakan Islam, katanya dalam rangka menegakkan kebenaran, namun lagi-lagi caranya penuh dengan kekerasan, menjelek-jelekkan, jauh dari kata “hikmah” maupun “kelembutan”, sesungguhnya itu tidak senafas dengan pesan QS: An Nahl Ayat: 125 dan QS: Al Imran Ayat: 159. Sebab kewajiban seorang pendakwa itu hanyalah menyampaikan. Harapannya adalah semoga yang kurang baik, menjadi baik. Yang baik, menjadi lebih baik. Dan bukan merubah.
Jadi, perihal diterima atau tidak, berubah atau tidak, bukanlah hak kita, yang berdakwa. Itu adalah hak Allah. Sungguh Alquran memberikan pelajaran mengenai hal ini dalam beberapa kesempatan. Misalkan perihal anak Nabi Nuh Alai
hissalam. Nabi Nuh punya empat orang anak yaitu Sam, Ham, Yafith, dan Qan’an. Dari empat orang anak Nabi Nuh tersebut, satu di antaranya adalah kafir, yaitu Qan’an yang merupakan anak tertua.
Ketika Nabi Nuh meminta kepada Qan’an untuk naik kedalam kapal sebab akan terjadi banjir besar, dan tidak akan ada yang menyelamatkan kecuali perlindungan Allah. Qan’an tidak mengikuti nasehat ayahnya itu. Qa’an tetap saja mencari perlindungan ke gunung agar terhindar dari bahaya banjir itu. Akhirnya Qan’an pun ditelan oleh banjir tebesar di dalam sejarah umat manusia.
Tentu saja Nabi Nuh sangat bersedih hati, mana pula tidak, Qan’an anak kandungnya, darah dagingnya, tak menerima  risalah yang di bawahnya.
Untuk itu kemudian Nabi Nuh berkata sambil memohon kepada Allah: “Wahai Tuhanku, sesungguhnya anakku adalah termasuk keluarga ku....”. (QS: Hud Ayat: 45).
Perkataan yang mengandung permohanan itu disambut oleh Allah, bahwa: “Wahai Nuh! Sesungguhnya dia (Qan’an) bukanlah termasuk keluargamu, karena perbuatannya itu sungguh tidaklah baik, sebab itu engkau jangan memohon kepadaku, sesuatu yang engkau tidak ketahui (hakikatnya). Aku menasehatimu agar  (engkau)  tidak menjadi orang yang bodoh”. (QS: Hud Ayat: 46).
Berbeda dengan Qan’an, anak Nabi Nuh yang lain, Sam, Ham, Yafith, mereka  selamat. Karena taat dan beriman dengan ajaran agama yang dibawa oleh ayahnya itu.
Begitu juga Alquran dan hadis mengkisahkan kepada kita perihal paman Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, Abu Thalib. Di penghujung hidup sang paman, nabi menuntun beberapa kali untuk mengucapkan dua kalimat syahadat, namun sang paman juga tidak mengucapkan sampailah pada tiupan nafas terakhir.
Alangkah sedihnya nabi ketika itu. Nabi menangis. Orang yang begitu dicintainya, namun nabi tidak bisa berbuat apa-apa ketika itu.
Dalam suasana kegundahan itu, kondisi yang begitu mencekam bagi nabi ketika itu, kemudian Allah ingatkan, bahwa: “Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk’. (QS. Al-Qashash Ayat:56).
Dari dua kisah di atas, jelaslah bahwa nabi saja tidak bisa memberi orang petunjuk (hidayah) orang-orang yang dicintainya. Nabi tidak bisa mengubah keimanan anaknya. Nabi tidak bisa mengubah keimanan pamannya. Nabi tidak bisa memaksakan kehendaknya. Lalu kemudian, mengapa kita memaksa kehendak agar orang lain berubah? Bukankah hidayah itu milik Allah? Jadi lagi-lagi kewajiban kita hanyalah menyampaikan.***

Oleh: Wirat Atma Hajri, SH, MH(Dosen Ilmu Hukum UIR. Alumnus Pondok Pesantren Daarun Nahdhah Thawalib Bangkinang).