Negara: Amar Makruf Nahi Mungkar

Negara: Amar Makruf Nahi Mungkar

Sebagaimana diketahui, tidak ada suatu defenisi yang disepakati tentang pengertian atau defenisi mendekripsikan suatu negara, namun secara umum mungkin dapat dijadikan sekadar pegangan bahwa suatu negara biasanya memiliki tiga unsur pokok. Yaitu; pertama rakyat, wilayah tertentu atau sejumlah orang, kedua batas luas wilayah tertentu, ketiga pemerintah yang bersih berwibawa dan berdaulat, sebagai unsur negara yang berdaulat dapat ditambahkan pengakuan oleh masyarakat internasional atau negara negara lain.

Ibnu Khaldun (1332-1406) diakui otoritasnya baik sebagai pemikir tentang negara maupun sebagai ahli sejarah dan peletak dasar sosiologi. Bahkan sampai sekarang para sarjana barat mengagumi dari hasil hasil pemikirannya. Ia menulis dalam kitab Muqaddimah ia merumuskan teorinya tentang negara. Ibnu Khaldun menemukan suatu tipologi negara dengan tolok ukur kekuasaan. Ikatan bermasyarakat, bernegara dan berperadaban pada umumnya sebagaai suatu yang tumbuh, manusia tersebut memerlukan kerja sama antara sesamanya untuk dapat hidup dan mempertahankan agama. Kemudian Ibnu Khaldun juga membagi negara menjadi dua kelompok yaitu: Pertama, negara dengan ciri kekuasaan alamiah (mulk tabi’i). Kedua negara dengan ciri kekuasaan politik (mulk siyasi).

Tipe negara yang pertama ditandai oleh kekuasaan yang sewenang wenang dan cenderung kepada hukum rimba, negara yang semacam ini sebagai negara yang tidak berperadaban. Tipe negara yang kedua dibagi menjadi tiga macam yaitu, pertama negara negara Islam (siyasah diniyah), kedua negara sekuler (siyasah aqliyah) dan ketiga negara hukum yang berorientasi demokrasi yang juga memperbolehkan penerapan perda syariat di beberapa provinsi seperti di Indonesia, tuah dari kebijakan otonomi daerah. Di tahun 2014 ini negara serumpun melayu yakni Brunai Darusalam juga telah menerapkan syariah Islam di semua lini per undang undang.

Menurut Ibnu Khaldun bahwa akal manusia berperan dalam memfungsikan negara, Alquran dan Sunnah. Secara terpisah juga dijelaskan bahwa istilah negara sering diterjemahkan dari kata kata asing yaitu Staat (bahasa Belanda) dusthuriyah (bahasa Arab), State (bahasa Inggris) yaitu dalam artian sesuatu negara yang tegak dan berdiri. Kemudian negara dapat diartikan: Negara adalah alat atau wewenang yang mengatur atau mengendalikan persoalan persoalan bersama atas nama masyarakat.

Dalam kaitan dengan tulisan penulis ini, penulis cenderung memahami negara sebagai suatu kehidupan berkelompok manusia, yang mendirikannya bukan saja atas dasar perjanjian kontrak sosial, tetapi juga atas dasar fungsi manusia sebagai khalifah Allah di bumi yang mengembang kekuasaan sebagai amanah-Nya, karena itu manusia dalam menjalin hidup ini harus sesuai dengan perintah-Nya dalam rangka mencapai kesejahteraa baik dunia maupun di akhirat. Dengan demikian, secara umum dapat dikatakan, bahwa manusia harus selalu memperhatikan amar makruf dan nahi mungkar, sebagaimana diajarkan dalam Islam.

Penulis harapkan dalam tulisan ini dapat dipahami bahwa berbeda dengan pemikiran barat yang sekuler, maka dalam Islam tidak dikenal dikotomi antara agama (baca: Islam) dan negara. Lebih lanjut konsep negara Islam mengatur dan mengelola amar makruf dan nahi mungkar mengandung makna perintah kepada manusia agar melakukan kebaikan dan tentunya mencegah kerusakan.

Kemudian negara juga diartikan sebagai dustur (bahasa Arab), walaupun asal katanya dusturi berasal dari Parsia yang diartikan kumpulan kaidah yang mengatur dasar dan hubungan kerja sama antara sesama anggota masyarakat dalam sebuah negara. Baik yang tertulis dan lainnya kemudian prinsip prinsip yang diletakkan dalam negara Islam dalam perumusan undang undang dasar tersebut menjamin hak hak asasi manusia setiap anggota masyarakat dan persamaan kedudukan semua orang di mata hukum. Tanpa membeda-bedakan strafikasi sosial, kekayaan, pendidikan dan agama, dan pembahasan dusturiyah (konstitusi).

Konsep negara amar makruf nahi mungkar merupakan suatu pengertian umum yang dapat dikaitkan dengan berbagai konotasi, dalam tulisan ini yang dimaksud dengan negara amar makruf nahi mungkar sebagaimana yang dipahami adalah sistem pemerintahan, baik itu seperti sistem parlementer, demokrasi. Sebagai contohkan negara Indonesia, Indonesia yang berpenduduk mayoritas penduduknya Islam, dan dasar hukum adalah UUD 1945 dan Pancasila.

Sampai saat ini hubungan penerapan syariat Islam melalui perundang-undang nasional baik menyangkut jinayah, politik, dengan negara masih menjadi kontroversi pemikiran, bahkan mungkin lebih tepat dikatakan sebagai kesulitan besar bagi para ahli untuk memberikan jawaban akurat, ada penilaian terdahulu yang mengatakan bahwa keduanya mesti dipisah.

Dengan perlahan-lahan namun pasti sesuai dengan berubahnya rezim kekuasaan pemerintahan. Negara yang disebut dengan negara amar makruf adalah negara yang mengakomodir kepetingan kebaikan (mashlahat), untuk kepentingan rakyat banyak, dan negara amar makruf juga melibatkan peran postifikasi hukum Islam menjadi hukum nasional. Baik di masa kesultanan di Nusantara seperti di Kalimantan ada kerapatan Qadhi. Masa Kolonial Belanda, Jepang, era Orde Lama, Orde Baru bahkan sampai era Reformasi.

Pada masa Kesultanan seperti di Kalimantan waktu itu lembaga peradilan yang menangani perkara antaragama muslim, namaya kerapatan qadhi yang dipimpin oleh seorang ulama Syaikh Arsyad al Banjari, beliau waktu itu menjadi memimpin lembaga hukum Islam yang dilembagakan menjadi kerapatan qadhi yang mana beliau menjadi qadhi di wilayah tersebut, dengan kitab undang undangya kitab fiqih sabilul muhtadin.

Masa kolonialisme Belanda ada tiga transisi tarik ulur positifikasi hukum Islam. Pertama hukum Islam pada masa statute Batavia, pada masa Verenigde Oost Inlandse Compagnie (VOC) yang artinya Pemerintah Pedagang Hindia Belanda. Di awal sekali pemerintah Belanda dalam statute Batavia 1642 mengenai peradilan seperti nikah, warisan, orang pribumi harus menggunakan hukum Islam atau yang dikenal dengan teori Receptio in Complexu inilah gagasan para sultan-sultan di nusantara yang gagasan tersebut masih ditelorir oleh penjajah Belanda Lodewijk Willem Cristian Van den Berg (1845-1927).

Kedua gagasan yang pertama tidak ditolerir lagi oleh penjajah yang bernama Snouck Hurgronje ( 1927-1936) kemudian teori ini dikenal dengan nama teori Receptie. Menurut hukum ini berlakunya hukum di masyarakat adalah hukum adat, hukum Islam baru berlaku apabila menyesuaikan diri kepada hukum adat yang berlaku di masyarakat.

Ketiga landasan hukum adat yang berlaku bagi umat islam ini dipertegas kembali oleh muridnya Snouck Hurgronje yaitu Van Vollenhoven yang memprakarsai politik belah bambu yang terus menafikan keberadaan hukum Islam dengan memakai terus hukum adat.

Masa kedudukan Jepang mulai diizinkan peradilan seperti masa kesultanan, namun lebih modern lagi dengan memasukkan peradilan agama di lembaga ruang peradilannya, istilah nama peradilan agama tersebut Sooryoo Hooin dalam bahasa Jepang. (bersambung)
Peminat Kajian Agama Sosial.