Pembubaran PT Petral Hal Biasa

Menteri ESDM: Untuk Berantas Mafia Migas

Menteri ESDM: Untuk Berantas Mafia Migas

JAKARTA (HR)-Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Sudirman Said, menilai, kebijakan pemerintah membubarkan anak perusahaan PT Pertamina, Pertamina Trading Energy Limited yang berkantor di Singapura, merupakan sesuatu hal biasa.

Menurutnya, pembubaran tersebut memang harus dilakukan sebagai antisipasi menjamurnya sarang mafia di sektor migas. Selain itu, kebijakan itu ditempuh untuk memperbaiki pasokan migas di Tanah Air.

Seperti diketahui Pertamina sudah membubarkan Petral pada Rabu, 13 Mei kemarin. Banyak kalangan memuji keputusan pemerintah yang dinilai berani tersebut. Sebab, langkah itu diyakini akan mematikan praktik mafia migas yang disinyalir banyak bermain di tubuh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut.


"Ini bukan sesuatu yang luar biasa, kalau mafia itu kan ter-organize, di mana tidak hanya regulasi, tapi politisi bayar keamanan, ini soal keberanian memberantas yang menyogok, menurut saya bukan hal luar biasa,  ini sesuatu yang sederhana," ujarnya, dalam acara diskusi Energi Kita di Restoran Bumbu Desa, Cikini, Jakarta, Minggu (17/5).

Menurutnya, soal Petral merupakan hal yang sudah lama didiskusikan. Malah, sebelum dirinya diangkat menjadi menteri, pertanyaan awal yang dilontarkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah soal Petral.

Dikatakan, sejak dipegang menteri zaman pemerintahan Presiden SBY, masalah Petral ini selalu mentah di istana. "Itulah sebabnya saat saya dipanggil presiden sebelum jadi menteri, pertanyaan pertama, gimana soal Petral, saya jawab, dulu soal Petral, selesainya di sini (di kantor presiden), tapi presiden tidak setuju, jadi selesai di sini. Ini transaksi besar dan dikaitkan dengan politik," ucap dia.

Transaksi besar ini terbukti. Sudirman menyebut, sejak dibubarkannya Petral, Pertamina bisa menghemat US$ 22 juta. "Transaksi yang beredar tiap hari US$150 juta atau Rp1,7 triliun per hari, kebutuhan impor minyak Pertamina, sejak dibubarkan efisien US$ 22 juta atau Rp250 miliar, padahal baru tiga bulan," tambahnya.

Uring-uringan
Di tempat yang sama, ekonom Faisal Basri menilai, buntut dari kebijakan pemerintah, banyak pihak yang uring-uringan dan akhirnya membuat gerakan yang bertujuan mengacaukan situasi.

Faisal lebih spesifik menilai kebijakan PT Pertamina (Persero) yang secara mendadak membatalkan kenaikan harga pertamax, pertamax plus, dan pertamina dex pada Rabu (13/5) lalu. Padahal, sebelumnya BUMN itu sudah gembar-gembor akan menaikkan harga pada hari yang sama.

Ia menilai, pembatalan tiba-tiba itu hanya untuk mengacaukan masyarakat saja. Karena itu ia menyarankan, Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina Ahmad Bambang sebaiknya segera diganti.

"Saya curiga cuma mau bikin rusuh saja. Nggak mungkin ini kebijakannya sekacau ini kalau nggak ada motif nggak benernya. Ini nggak hanya sekali. Saya minta satu saja, Ahmad Bambang itu diganti karena sudah berkali-kali melakukan banyak kesalahan yang fatal. Karena Itu sudah keterlaluan," tegasnya.

Faisal melihat, kacaunya kebijakan tersebut merupakan buntut dari pembubaran Petral. Banyak pihak yang merasa dirugikan atas pembubaran anak usaha Pertamina tersebut.

"Menariknya gara-gara Petral dibubarkan, ini ibarat sarang tawon, kita bakar itu tawonnya rusuh. Ada yang kabur, marah dan lainnya. Saya pernah bilang ke teman-teman istana, di sana ada. Mereka bergerak untuk melakukan itu," katanya.

Dalam kaitannya dengan premium, Faisal menyebutkan, modusnya ini adalah ingin menunjukkan seolah Menteri ESDM Sudirman Said tidak mampu mengurus energi di dalam negeri dan malah menciptakan kekacauan.

"Ini target reshuffle kelihatan banget. Masa coba bisa bayangkan kalau surat edaran itu diberlakukan betul-betul, kalau harga pertamax itu Rp 9.600 bukankah itu Pertamina bunuh diri? Anda lihat di Jalan Gondangdia, Shell Rp 8.950, pindah semua ke Shell karena bedanya Rp 2.200. Itu kan bodoh. Saya rasa orang bodoh pun nggak akan sampai sebodoh itu. Orang jahat bisa begitu. Jadi kelihatan banget motifnya apa," terang dia. (bbs, viv, kom, dtc, ral, sis)