Demoralisasi Pemilu, Polemik Caleg Eks Narapidana Korupsi

Demoralisasi Pemilu, Polemik Caleg Eks Narapidana Korupsi

Oleh Ledina Tesalonika Hutasoit*

Hiruk-pikuk perjalanan pemilihan umum legislatif beberapa daerah menuai kontroversi di kalangan masyarakat. Pasalnya, beberapa calon legislatif tersebut berstatus eks narapidana yang diperburuk dengan rekam jejak  keterlibatan dalam korupsi, tentu menunjukkan perilaku tidak konsisten dengan prinsip-prinsip demokrasi dan integritas dalam pemerintahan.

Melansir dari Indonesian Corruption Watch (ICW) yang menemukan 12 nama bakal calon anggota legislatif (caleg) di Pemilu 2024, terdapat beberapa daerah yang calon legislatifnya terlibat dalam tindakan korupsi. Daerah tersebut beberapa diantaranya, Aceh, Sumatera Utara I, Jawa Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan II, Yogyakarta, dan lainnya.

Fenomena majunya mantan terpidana eks koruptor sebagai calon legislatif terjadi karena undang-undang tidak secara otomatis menghalangi mereka, dalam kontestasi pemilu. Hal ini diperjelas dengan PKPU Nomor 18/2019 Ketentuan soal eks koruptor bisa dilihat pada Pasal 4 tentang ‘Persyaratan Calon’. Pada huruf h, hanya dua mantan narapidana yang dilarang ikut Pilkada, yaitu bandar narkoba dan pelaku kejahatan seksual pada anak. Selain itu, melarang mantan narapidana eks koruptor ikut dalam pemilihan umum legislatif bertentangan prinsip dasar hukum yang menjaga hak asasi individu, termasuk hak untuk berpartisipasi dalam proses politik.

Pemberian karpet merah kepada calon legislatif mantan terpidana korupsi menuai kontroversi karena hal tersebut benar-benar merugikan masyarakat dan hanya menguntungkan mantan terpidana korupsi. Masyarakat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi berhak untuk mendapatkan calon legislatif yang bersih dan berintegritas. Calon legislatif yang telah melanggar hukum dengan terlibat dalam korupsi tentu dianggap tidak patuh terhadap hukum sehingga menciptakan keraguan bahwa setelah terpilih, calon legislatif akan kembali melakukan tindakan yang serupa, terutama jika mereka tidak menunjukkan tanda-tanda perbaikan atau penyesalan yang nyata.

Peraturan KPU (PKPU) mengenai percepatan mantan terpidana korupsi dalam mencalonkan diri sebagai anggota legislatif menimbulkan polemik di masyarakat. Hal tersebut terjadi karena berdasarkan dua aturan internal yang dikeluarkan oleh KPU tentang pencalonan anggota DPRD Kabupaten, Kota, Provinsi, DPR RI, dan DPD RI pada pertengahan April lalu. Dimana Pasal 11 ayat (6) PKPU 10/2023 dan Pasal 18 ayat (2) PKPU 11/2023 mengabaikan masa jeda waktu lima tahun bagi mantan terpidana korupsi yang ingin mencalonkan diri sebagai anggota legislatif jika dalam vonis mereka memuat pidana tambahan pencabutan hak politik. Menurut KPU, apabila seorang terpidana yang dicabut hak politiknya, misalnya 1 tahun, maka pada tahun ke-2 ia langsung bisa mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Aturan yang dikeluarkan oleh KPU berbanding terbalik dengan putusan MK Nomor 87/PUU-XX/2022 dan Nomor 12/PUU-XXI/2023 yang sudah tegas menyatakan bahwa mantan narapidana berkewajiban melewati masa jeda waktu lima tahun, tanpa syarat tambahan apapun. Berdasarkan aturan tersebut, artinya KPU memberikan ruang kepada siapa saja terlebih mantan terpidana korupsi untuk menjadi calon legislatif, tanpa adanya penilaian mendalam soal semangat pemberantasan korupsi.

Polemik aturan KPU tersebut membuat sejumlah perwakilan masyarakat mengajukan permohonan uji materi yang diajukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Saut Situmorang, dan Abraham Samad. Menindaklanjuti permohonan dari permasalahan tersebut, akhirnya Mahkamah Agung (MA) mengambil langkah tegas dengan menjatuhkan putusan uji materi Peraturan KPU (PKPU) terkait polemik percepatan mantan terpidana korupsi dalam mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Melalui keputusan MA untuk melakukan uji materi dalam pembatalan percepatan pencalegan mantan terpidana korupsi adalah bukti konkret kebobrokan KPU dalam menyusun PKPU.  Aturan yang dikeluarkan KPU tersebut merugikan masyarakat karena hak masyarakat untuk mendapatkan calon legislatif yang berintegritas dan bebas dari tindakan korupsi dirampas oleh KPU.

Aturan internal KPU tidak menunjukkan bahwa korupsi merupakan tindak kejahatan yang luar biasa, alih-alih semakin membatasi ruang gerak mantan terpidana sebaliknya KPU justru menggelar karpet merah bagi para mantan pelaku korupsi menjadi calon anggota legislatif. Seharusnya KPU, sebagai otoritas penyelenggara pemilu memiliki peran dan komitmen dalam memperkuat mekanisme pencegahan korupsi, penegakan hukum yang efektif, dan reformasi politik yang dapat mencegah calon mantan koruptor untuk mencalonkan diri sebagai calon legislatif. (*Mahasiswa Politeknik STIA LAN Jakarta)



Tags Pemilu