Perseteruan Celeng Vs Banteng, Siapa yang Diuntungkan?

Perseteruan Celeng Vs Banteng, Siapa yang Diuntungkan?

Oleh M. Jamiluddin Ritonga*

Ada yang menilai perseteruan celeng vs banteng hanya rekayasa untuk meningkatkan elektabilitas PDIP dan Puan Maharani.

Penilaian itu tampaknya tidak mendasar, karena tindakan demikian sangat beresiko bagi PDIP. Merekayasa celeng vs banteng sama saja tindakan bunuh diri bagi PDIP dan Puan Maharani.

Kasus celeng vs banteng sangat tidak menguntungkan bagi Puan. Sebab, Puan diposisikan sebagai pihak yang didukung kekuatan struktural partai. Posisi ini dikesankan sangat berkuasa yang menindas celeng, termasuk tentunya kepada Ganjar Pranowo.

Celeng dan Ganjar justeru diposisikan sebagai yang lemah dan dizolimi oleh kekuatan struktural. Bahkan sosok Puan diposisikan seolah turut menzolimi Ganjar dan celeng.

Jadi, dalam perseteruan celeng dan banteng terdapat pihak penindas dan pihak yang ditindas. Banteng dan Puan digambarkan pihak penindas, sementara celeng dan Ganjar pihak yang tertindas.

Dalam budaya politik Indonesia, pihak penindas kerap dijauhi oleh pemilih. Mereka ini dianggap jahat dan karenanya akan dijauhi.

Pihak yang ditindas justeru kerap mendapat simpati dari masyarakat. Mereka ini umumnya akan dibela dan di dukung para pemilih.

Karena itu, sulit membayangkan bila celeng vs banteng sengaja diciptakan untuk meningkatkan elekrabilitas PDIP, khususnya Puan. Justeru dalam kasus ini Puan dirugikan sehingga elektabilitasnya semakin sulit di dongkrak.

Puan dalm kasus ini bisa jadi popularitasnya semakin meningkat, namun peningkatan itu dalam konotasi negatif. Karena itu, peningkatan popularitasnya tidak akan diikuti peningkatan elektabilitasnya.

Sebaliknya, Ganjar sebagai pihak yang tertindas justeru diuntungkan. Popularitasnya akan semakin tinggi, dan elektabilitasnya juga akan mengikuti.

Hal itu sudah terlihat dalam survei terbaru Litbang Kompas. Elektabilitas Ganjar bersaing ketat dengan Prabowo Subianto disinggasana, sementara Puan elektabilitasnya tetap terjerembab paling rendah. (*Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul/Dekan FIKOM IISIP Jakarta 1996 - 1999)