Kembalilah ke Pangkal Jalan

Kembalilah ke Pangkal Jalan

Oleh: Prof Dr Alaiddin Koto, MA

RIAUMANDIRI.ID - Orang tua-tua dulu sangat bijak dalam bertutur. Apa yang keluar dari mulut mereka tidaklah meluncur begitu saja. Ucapan mereka adalah buah dari hasil perenungan yang dalam terhadap kondisi yang terjadi pada zamannya, sarat dengan makna dan relevan dengan fakta. Aroma filosofisnya sangat terasa, karena memang lahir dari kearifan dalam membaca zaman atau  kondisi yang sedang terjadi di sekitarnya. Diantara buah tutur orang tua-tua itu adalah, “bila sesat di ujung jalan, kembalilah ke pangkal jalan. Terlanjur, surut. Terdorong, kembali.”
    
Buah kearifan yang muncul menjadi pepatah itu mengandung pesan moral yang sangat tinggi bahwa siapapun, setiap manusia punya kelemahan yang dapat membuatnya sesat atau salah jalan dalam kehidupannya. Manusia yang baik, adalah yang sadar akan kelemahan-kelemahannya, sehingga ketika sadar telah tersalah dalam perjalanan, dengan mudah dan sadar pula kembali ke pangakal jalan.

Kembali ke pengkal jalan tidak harus berarti mundur dalam perjuangan. Bagi setiap orang yang sadar akan kelemahannya, kembali ke pangkalan jalan berarti melihat kembali ke belakang untuk meneliti setiap jejak yang telah dilalui dari mana berawalnya kesalahan yang membawa sesat di ujung jalan itu bermula. Hatinya yang bersih akan menilai secara jujur setiap langkah yang telah dilangkahkannya, dan kesadaran akan kelemahan diri sendiri akan membawanya bertemu dengan penyebab kesesatan itu, lalu memulai lagi langkah baru yang tidak akan salah lagi karena telah mendapat pelajaran dari pengalaman sebelumnya.


Itu pulalah kini yang seharusnya kita lakukan dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri tanah pusaka ini. Walau tidak semua bisa membuktikan dengan angka, tetapi hati nurani pasti jujur menilai bahwa ada kesalahan serius yang telah kita lakukan dalam mengurusan negeri ini. Karena tidak bisa memastikan siapa yang memulai kesalahan ini, dan tidak juga bisa memastikan di mana bermulanya kesalahan tersebut, maka tidak ada jalan terbaik untuk memperbaikinya selain kembali ke pangkal jalan, yaitu “patok” yang telah dipancang oleh pendiri bangsa sejak 75 tahun yang lalu. Tidak perlu bicara angka atau fakta untuk membuktikan kalau kita memang telah salah langkah, cukup bertanya saja kepada nurani sendiri, pasti akan didengar jawaban yang jujur bahwa kita memang telah tersesat di ujung perjalanan 75 tahun. 

Lalu, kenapa kita harus bertanya kepada hati nurani, tidak kepada presiden, kepada para menteri, kepada anggota DPR, kepada kiyai, kepada professor, kepada orang pintar atau kepada yang lainnya ?

Bertanya kepada nurani, berarti bertanya kepada yang tidak akan berbohong dalam jawabannya. Nuranilah satu-satunya organ tubuh yang tidak pernah berdusta. Sejahat apapun seseorang, hati nuraninya selalu berkata benar. Kalau ia berdusta, tidaklah nuraninya yang berdusta, tetapi lidahnya, karena sesuatu hal atau suatu kepentimgan yang perlu dilindunginya. Itulah sebabnya Nabi berpesan, istafti qalbak. Minta fatwalah ke hati nuranimu. Nabi juga mengajarkan bagimana kita harus jujur menilai diri sendiri dalam hadisnya, kullu bani Adam khaththa-un, wa kullu khaththa-in al-ta-in min zanbih. Semua anak Adam punya kesalahan. Sebaik-baik orang bersalah adalah yang mau taubat (kembali) dari kesalahannya.

Persoalannya adalah, kita mau atau tidak melakukan itu?

Penulis kemukakan pertanyaan seperti itu sesuai pengalaman empat kali menjadi nara sumber dalam Focus Group Discussion (FGD) Empa Pilar Kebangsaan yang pernah diselenggarakan MPR RI di Riau. Di setiap kesempatan tersebut penulis selalu bertanya kepada yang hadir, termasuk beberapa Anggota DPR RI yang juga hadir di acara itu, “negara kita ini, mana yang lebih baik, sebelum atau sesudah amandemen UUD 1945. Pertanyaan itu selalu dijawab dengan, “sebelum.” Lalu, penulis bertanya lagi, “kalau sebelum, berarti negara kita tidak menjadi lebih baik setelah amandemen. Tetapi kenapa tetap saja yang dipakai yang sesudah, misalnya sistem pemilihan kepala pemerintahan sejak dari presiden sampai bupati/walikota yang secara kasat mata telah membawa persoalan semakin merebaknya KKN di negeri ini ?” 

Bila empat kali pertanyaan pertama dijawab semua, maka empat kali pula pertanyaan kedua tidak pernah mereka jawab. Mereka hanya dia dan  senyum-senyum saja. Lalu, kenapa mereka diam dan tidak menjawab pertanyaan yang kedua itu ? Penulis kira tidak usahlah dijawab di ruang ini. Biarlah “salung saja yang menjawabnya,” kata orang Padang.

Lalu, apakah “patok” yang telah dipancang oleh para pendiri bangsa seperti disebut di atas?

Penulis yakin kita sepakat bahwa “patok” itu adalah Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945 yang sebenarnya merupakan satu kesatuan dan tidak boleh dipisahkan antara satu dengan lainnya.  Itulah “patok” yang asli, Pancasila yang asli, dan Undang-Undang dasar 1945 yang asli. Cara itulah yang perlu ditempuh bila kita memang betul-betul menginginkan negeri ini kembali ke jalur yang benar, jalur yang diyakini para pendiri bangsa akan mengantarkan kita ke “masyarakat adil makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945.” Ini pulalah dulu yang dilakukan oleh Presiden Soekarno ketika mengeluarkan Dekritnya tanggal 5 Juli 1959. Tentu ada alasan kuat kenapa Soekarno mengeluarkan dekrit itu setelah yang berlaku sebelumya adalah Undang-Undang Dasar RIS. 

Jejak yang telah dicontohkan oleh Soekarno 61 tahun yang lalu itu perlu kita ikuti lagi kalau kita memang ingin menyelamatkan negeri ini dari kehancuran. Para pemimpin negara yang ada hari ini tentu sangat memahami persoalan ini.  
Al-Qur’an menyebut kembali ke pangkal jalan tersebut dengan sebutan tobat bagi orang yang telah berbuat kesalahan karena kejahilannya. Allah akan terima tobat orang yang seperti in. (al-Taubah, ayat 117). Dalam ayat lain Allah juga mengingatkan diantara ciri orang yang bertakwa itu adalah mereka yang bila terlanjur berbuat salah, berbuat keji dan berbuat kezaliman yang merugikan diri sendiri, mereka segera mengingat Allah dan minta ampun, bertaubat atas semua kesalahn yang telah mereka lalukan serta tidak mengulangi lagi perbuatan itu (Ali Imran, 135).

Tapi, sekali lagi, kita mau atau tidak?

Sampai sekarang masih terdapat polemik antara yang mau dan yang tidak mau. Yang mau, tentu, paling tidak, mempunyai alasan seperti disebut di atas. Tapi yang yang tidak mau, dapat di bagi kepada empat golongan: pertama, mereka adalah orang yang yakin bahwa dengan tetap berpegang kepada UUD 1945 yang sudah diamandemen, misalnya sistem pemilihan langsung dalam pemilihan presiden dan kepala-kepala daerah, akan membawa kebaikan untuk negara dan bangsa Indonesia di masa akan datang. 

Kedua; kelompok yang trauma dengan masa sebelum reformasi bahwa dengan pemilihan kepala pemerintahan di parlemen, misalnya, akan membuat hilang kebebesan rakyat dalam menentukan siapa pemimpinnya, dan dapat berakibat terpilihnya pemimpin yang sama secara terus menerus, lu lagi, lu lagi, rentan akan rekayasa, karena dipilih hanya oleh beberapa orang yang mewakili suara rakyat; ketiga, mereka adalah orang yang tidak paham apa hakikat demokrasi. Bagi mereka, sistem pemilihan langsung adalah satu-satunya dan inilah yang paling benar. Mereka tidak paham bahwa demokrasi juga menganut sistem perwakilan atau representatif democratie; 

Keempat, mereka adalah orang jahat yang menginginkan Indonesia menjadi negara yang dapat mereka kuasai, karena sistem pemilihan langsung memerlukan kost politik yang sangat besar, memerlukan uang yang banyak, sementara yang punya uang banyak itu adalah mereka atau kelompok mereka. Mereka yakin, atau menggoda calon yang akan maju dalam pemilihan pasti akan meminta bantuan mereka. Saat inilah si calon kepala pemerintahan dapat dijerat, atau nanti setelah terpilih menjadi orang nomor satu di pemerintahan. Mereka dengan mudah mengendalikan jalannya pemerintahan untuk menguntungkan mereka sendiri dan merugikan rakyat banyak yang sejatinya pemilik negeri ini sendiri. Merekalah yanga kan berkuasa sepenuhnya di negeri ini, sementara kepala pemerintahan, sadar atau tidak sadar menjadi boneka yang penurut.

Lalu, mana yang baik dari beberapa kemungkinan di atas untuk dilaksanakan atau dipertahankan ?

Dari empat kelompok dalam kategori kedua dia atas, semuanya punya kelemahan. Bahkan kelompok keempat adalah kelompok yang sangat berbahaya.  Mereka akan wujud menjadi penjajah yang sesungguhnya di negeri yang dimerdekakan dengan darah dan air para pejuang sejak 75 tahun yang lalu ini.

Lalu, bagaimana dengan kelompok pertama, apakah optimisme mereka tidak perlu diperhatikan bahwa negeri ini akan lebih baik di masa depan dengan tetap memberlakukan sistem pemilihan langsung seperti hasil amandemen tersebut?

Pasti ada yang berkata negara-negara Barat telah membuktikan sistem pemilihan langsung itu baik dan membawa kebaikan untuk masyarakat mereka. Agaknya, untuk pemikiran semacam ini kita perlu belajar lagi kepada alam. Anjing terlihat gagah dan berwibawa bila duduk. Leher dan kepalanya berdiri tegak. Sorot matanya lurus ke depan  membuat semua orang merasa was-was lewat di depannya. Sebaliknya, kuda akan kelihatan jelek bila melakukan hal yang sama dengan apa yang diakuklan oleh anjing. Tidak semua yang baik dilakukan oleh orang lain, baik pula kita lakukan. Budaya dan suasana kejiwaan kita berbeda dari mereka. Orang tua-tua membuat perumpamaan bijak dalam ungkapan “tuah anjing celaka kuda.”  

Memang, hidup harus optimis. Tapi optimispun tidak boleh optimis buta. Perlu dilihat secara jujur dan kritis. Kebaikan apakah yang telah didapatkan oleh rakyat sejak pemilihan langsung ini dipraktekkan selama hampir dua dasawarsa. Bukankah yang terjadi kemunduran demi kemunduran? Sumber daya alam dikuras setiap hari, tapi hutang semakin menggunung, dan kehidupan rakyat terasa semakin susah. 

Tidak hanya itu, citra bangsa dan negara di mata dunia semakin merosot dari waktu ke waktu. Bisa dibayangkan, apa yang akan terjadi bila sistem seperti itu tetap dipertahankan. Memang semuanya berada di tangan Allah. Tapi kenyataan yang ada di depan mata sekarang harus dimaknai sebagai isyarat dari Allah bahwa kita akan semakin terpuruk bila sistem yang ada sekarang, seperti yang ada di UUD hasil amandemen itu, terus dipertahankan. 

Apa yang dikatakan oleh peserta FGD yang juga dihadiri oleh beberapa anggota DPR RI seperti disebut di atas adalah benar adanya. Bila hal itu memang benar dan memang begitu yang kita rasakan, maka “kembali ke pangkal jalan adalah keniscayaan.”

Allahu A’lam bi al-Shawab


*Penulis adalah Ketua ICMI Riau dan Ketua Perti Riau