Rumah sakit dan pelayanan adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Kendati demikian, terkadang tak selamanya seperti itu. Begitulah yang saya rasakan perihal pelayanan medis beberapa oknum perawat ketika ibu saya dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Bangkinang beberapa waktu lalu. Dan itu patut disoalkan. Karena hal ini masih saja dan masih sering terjadi. Perihal apa?
Pertama, attitude (sikap). Pasal 37 Huruf (b) Undang-Undang (UU) 38/2014 Tentang Keperawatan menyebutkan bahwa: “Perawat dalam melaksanakan Praktik Keperawatan berkewajiban memberikan Pelayanan Keperawatan sesuai dengan kode etik, standar Pelayanan Keperawatan, standar profesi, standar prosedur operasional, dan ketentuan Peraturan Perundang-undangan”.
Di dalam kajian ilmu hukum, attitude ini berkaitan dengan etika, moral, kesantunan, kepantasan, dan kepatutan. Sebagai sebuah profesi, Perawat hendaknya juga memperhatikan etika (kode etik profesinya).
Selama beberapa hari di RSUD Bangkinang tersebut, ada beberapa oknum perawat yang tidak melaksanakan pesan dari Pasal 37 Huruf (b) di atas, terutama tutur kata. Misalkan, ketika saya minta pelayanan pada malam hari perihal infus, ada perawat yang mengatakan: “dari tadi saya belum tidur, besok pagi sajalah”. Juga dikatakan: “susah mata saya melihat (mungkin masudnya ngantuk)”. Kemudian saya katakan bahwa: “perawat yang satu lagi kan ada kak?”. Yang bersangkutan mengatakan: “dia capek itu, baru saja pulang dari Pekanbaru”.
Di samping itu, juga ada perawat yang bertutur kata yang seharusnya tidak dilontarkan. Apa itu? Seorang perawat yang mengatakan: “barusan tadi saya ke sana (ruangan ibu saya dirawat)”. Bahkan juga ketika masuk di ruang dimana ibu saya dirawat, yang bersangkutan menampilkan bahasa tubuh yng tak mengenakkan. Hal ini bisa dilihat dari cara memberikan pelayanan. orang agama mengatakan “tidak ikhlas”. Padahal mereka “makan gaji” dari pelayanan itu.
Harus dingat, bukan berarti semua perawat di RSUD Bangkinang seperti itu. Banyak juga dari mereka yang sadar akan tanggung jawabnya sebagai perawat. Mereka begitu maksimal dalam memberikan pelayanan dan begitu menghormati profesinya. Untuk mereka saya ucapkan terimakasih. Sebab perawat di sana juga ganti jam kerja. Siang perawatnya beda, malam nanti beda lagi.
Apa yang saya sampaikan itu bukanlah mengada-ngada. Karena pasien punya kewajiban untuk membayar. Pasien pun berhak mendapatkan pelayanan yang memadai. Bukankah Pasal 38 Huruf (c) UU 38/2014 menyebutkan bahwa: “Dalam Praktik Keperawatan, Klien berhak mendapatkan Pelayanan Keperawatan sesuai dengan kode etik, standar Pelayanan Keperawatan, standar profesi, standar prosedur operasional, dan ketentuan Peraturan Perundang-undangan”
Kedua, skill (keahlian). Skill di dalam dunia medis adalah hal yang tidak bisa diremehkan. Kendati pun seorang perawat yang notabene merupakan lulusan strata satu, bukan berarti tidak dipantau kinerjanya oleh atasan yang bersangkutan.
Beberapa waktu yang lalu, hal itu patut dipertanyakan skill dua orang perawat di RSUD tersebut. Saya tak tahu apakah yang bersangkutan baru atau sudah lama bekerja sebagi perawat di RSUD Bangkinang. Memasang jarum infus saja tak punya skill. Sebab empat kali memasukkan jarum ke pembuluh darah, namun juga tak berhasil. Bahkan ketika itu jarum yang digunakan sampai patah. Padahal pada hari sebelumnya perawat yang lain dengan mudahnya memasukkan jarum ke pembuluh darah.
Untuk itu, setiap perawat yang masih belum ahli, seharusnya didampingi perawat yang lebih ahli. Artinya ketika satu atau dua kali dalam memasukkan jarum ke pembuluh darah juga tidak berhasil, perawat yang lebih seniorlah yang kemudian melanjutkannya. Ini tidak, empat kali, juga tidak berhasil. Memangnya seorang pasien tak merasa kesakitan. Sebab ketika itu, ada beberapa orang perawat, sekali saja memasukkan jarum ke pembuluh darah, langsung berhasil.
Mencermati uraian di atas, dapat disarankan sebagai berikut. Pertama, kepada ketua organisasi perawat, perawat kepala, terlebih lagi oleh Direktur RSUD Bangkinang harus meninjau kinerja bawahannya dan membina perawat yang bermasalah, terutama dari sisi tutur kata dan perawat yang bertugas di malam hari. Sepertinya tak ada perawat yang jaga. Sebab kalau tidak, hal ini tak hanya merusak citra dunia keperawatan itu sendiri, namun juga RSUD Bangkinang. Bahkan lebih jauh lagi adalah RSUD lainnya. Sebab selama ini, bukan rahasia umum lagi bahwa pelayanan di RS sakit swasta lebih baik dari RSUD. Terlebih lagi ibu saya di rawat di ruang VIP. Apalagi pasien yang bukan di ruang VIP.
Kedua, kepada perawat, muliakan profesi anda sebagai perawat. Harus tau dengan tanggung jawab. Sekali dalam satu jam atau dua jam misalkan, masuk ke ruang pasien sembari memantau kondisinya. Jangan hanya ketika diminta datau berbarengan dengan dokter ketika hendak menanyakan keluhan pasien. Artinya jangan hanya duduk-duduk di ruang jaga.
Ingat, sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Tak semua pasien atau keluarga pasien adalah orang-orang biasa saja. Mana tahu suatu ketika anda dipersoalkan secara kode etik. Bisa saja anda dilaporkan terutama pada organisasi di mana anda bernaung. Perawat bisa saja disidangetikkan. Ingat, sanksi dari komite etik bisa saja memberhentikan seorang perawat. Hal ini tak ubahnya seperti organisasi advokad, polri, jaksa, hakim, dan profesi lainnya. Kepada perawat yang telah atau menunaikan tanggung jawabnya, semoga Allah mencukupkan dan memuliakan kehidupan anda. ***
Dosen Ilmu Hukum UIR