Ahli Kesehatan Sebut 'Tsunami Covid-19' India Berpotensi Terjadi di Indonesia

Selasa, 27 April 2021 - 13:38 WIB
Seorang warga Delhi, Nitish Kumar, mengaku kesulitan mencari tempat kremasi untuk ibunya yang sudah meninggal karena Covid-19. Ia terpaksa membiarkan jenazah sang ibu selama dua hari di rumah. (AP Photo/Altaf Qadri)

RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA – India tengah menjadi pusat perhatian dunia lantaran lonjakan kasus virus corona (SARS-CoV-2) yang begitu masif dalam dua pekan terakhir terjadi di negara itu. Negara berpenduduk 1,36 miliar orang itu terus mencetak rekor penambahan kasus harian Covid-19 hingga mencapai 350 ribu kasus dalam sehari.

Padahal pada awal tahun, India sempat mendapat pujian global, termasuk dari Indonesia. Negara ini berhasil melakukan jumlah tes, penelusuran kontak, juga isolasi yang masif dan signifikan. Selain itu statistik capaian vaksinasi pun cukup tinggi.

Namun pelbagai upaya itu diikuti sikap abai masyarakat India terhadap protokol kesehatan. Warga di negara itu nekad menggelar ritual keagamaan, politikus aktif lagi menghelat kampanye, kelengahan mematuhi protokol pencegahan Covid-19 mewarnai pelbagai aktivitas.

Hingga akhirnya 'Tsunami' Covid-19 pun menghantam India juga. Imbasnya, tingkat keterisian tempat tidur atau Bed Occupancy Rate (BOR) rumah sakit di India overload. Pasien terpaksa dirawat di jalan dekat RS, hingga petugas krematorium dan pemakaman ikut kewalahan.

Kondisi India yang mirip Indonesia dari segi kepadatan penduduk, prilaku masyarakat, serta kebudayaan tersebut membuat Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra khawatir.

Hermawan menilai Indonesia juga berpotensi mengalami hal serupa, dan kemungkinan bisa jadi bakal lebih parah. Mengingat, menurut dia, teknik pengendalian pandemi Covid-19 pemerintah India lebih baik dibanding Indonesia.

India, lanjut dia, sudah melalui puncak Covid-19 dan diketahui sempat berhasil mengontrol kasus secara apik. Dibuktikan dengan penambahan kasus harian yang tak sampai 10 ribu kasus, hingga positivity rate alias rasio positif harian di kisaran 7-10 persen.

Negara tersebut juga sempat menerapkan karantina wilayah atau lockdown beberapa kali, dan tercatat sebagai salah satu produsen vaksin dengan skala besar. Seperti produksi vaksin asal perusahaan farmasi Inggris, AstraZeneca. Sedangkan Indonesia, kebalikan dari itu.

"Untuk penanganan Covid-19 India lebih baik dari Indonesia. Karena kita [Indonesia] sangat lemah di testing dan tracing, kita juga tidak punya vaksin andalan, ditambah kebijakan yang tidak cukup kuat. Maka, kombinasi itu bisa jadi badai Covid-19 luar biasa di Indonesia, bisa lebih parah mungkin dari India," kata Hermawan, Senin (26/4).

Hermawan lantas menjelaskan potensi 'badai Covid-19' di Indonesia bisa terjadi dipicu pelbagai kondisi. Pertama, strategi pengendalian pandemi Covid-19 oleh pemerintah yang meliputi tes, telusur, dan tindak lanjut (3T) mengalami stagnasi bahkan kemunduran dari ambang batas Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Kedua yakni kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan Covid-19 meliputi memakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak (3M), mengalami kemerosotan.

Ketiga, jika Indonesia kedatangan mutasi virus corona yang terus berkembang dan beberapa di antaranya dilaporkan memiliki tingkat penularan tinggi hingga dinilai kebal terhadap vaksin Covid-19.

"Kita jangan sampai, varian baru masuk dan meluluhlantakkan upaya-upaya yang sudah ada. Jadi tentu kita tidak berharap seperti India," kata Hermawan mengingatkan.

Wanti-wanti juga dia sampaikan terkait gelagat euforia vaksinasi. Warga menjadi lengah mematuhi protokol kesehatan, padahal pemberian vaksin tak lantas membuat seseorang kebal virus corona. Pelajaran ini pula yang bisa diambil dari kasus India.

Hermawan Saputra melanjutkan, kondisi keempat adalah euforia vaksinasi yang membuat warga menganggap vaksin corona ini menjadikan seseorang kebal akan penularan, sehingga mengabaikan pola hidup bersih dan protokol 3M.
Kelima, kebijakan kontraproduktif pemerintah. Sinkronisasi yang cacat antar kementerian/lembaga yang memantik amarah dan kekecewaan masyarakat menurut Hermawan, dapat menjadikan warga mulai bosan dengan situasi pandemi.

"Indonesia sangat mungkin bisa seperti India. Maka oleh sebab itu, biar tidak senasib kita harus membatasi mobilitas dan pintu masuk Indonesia. Tapi kalau belajar dari India, jangan sampai seperti India," jelas dia lagi.

Lebih lanjut, Hermawan meminta kebijakan pembatasan mobilitas warga seperti larangan mudik selama libur panjang Idulfitri 1442 H dilaksanakan secara serius oleh pemerintah. Ia tidak ingin larangan mudik hanya menjadi slogan dan tong kosong belaka.

Apalagi bila melihat data Satgas Penanganan Covid-19 per 20 April yang menunjukkan warga di mayoritas provinsi melakukan mobilitas ke pusat perbelanjaan pada awal April dan spesifik pada  12 April atau sehari jelang Ramadan. Kenaikan mobilitas warga juga terjadi pada akhir pekan Ramadan.

Sebanyak 11 Provinsi menunjukkan tingkat mobilitas cukup tinggi di pusat perbelanjaan sejak Maret 2021. Mereka yakni Bengkulu, Gorontalo, Jambi, Kalimantan Utara, Lampung, Maluku Utara, NTB, Papua Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara dan Sumatera Barat.

Belum lagi data soal mobilitas warga menuju tempat wisata di 34 provinsi Indonesia. Dilaporkan, mobilitas warga ke tempat wisata pada libur Paskah meningkat di 21 provinsi. Mobilitas di Bali pun meningkat saat perayaan Gulungan pada 15 April lalu. Sementara mobilitas di 14 provinsi lainnya naik jelang Ramadan.

"Tetap akan ada kenaikan kasus covid-19. Karena akan ada orang yang mudik sebelum dan sesudah hari dilarang mudik, dan orang memanfaatkan itu. Hemat saya bisa 20-30 persen kenaikan tetap terjadi pada libur panjang lebaran esok," Hermawan memperkirakan.

Editor: Nandra F Piliang

Tags

Terkini

Terpopuler