Tidak Percaya DPRD Hidup Menderita

Rabu, 14 September 2016 - 11:15 WIB

(RIAUMANDIRI.co)-Asosiasi Dewan Perwakilan Rakyat daerah menuntut kenaikan gaji dan tunjangan DPRD. Ketua Asosiasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Seluruh Indonesia (Adkasi) Lukman Said mengungkapkan alasan meminta kenaikan gaji dan tunjangan kepada Presiden Joko Widodo karena kesejahteraan para anggota DPRD sangat penting agar menghindari praktik korupsi.

Hal tersebut disampaikan dalam Rapat Koordinasi Nasional Adkasi di Jakarta, Selasa (30/8/2016). Acara tersebut dihadiri oleh Jokowi, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, dan Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan Wiranto.


Lukman juga menjelaskan bahwa gaji beserta tunjangan para anggota DPRD tidak pernah mengalami kenaikan selama hampir 13 tahun.Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 yang mengatur tentang kedudukan protokoler dan keuangan pimpinan dan anggota DPRD diteken pada akhir era pemerintahan Presiden kelima Megawati Soekarnoputri.

Jadi selama 10 tahun era Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono, PP itu tak pernah direvisi.Presiden Joko Widodo mengaku sudah menyetujui rancangan peraturan pemerintah (PP) yang mengatur mengenai kenaikan tunjangan anggota DPRD. Namun, PP tersebut tidak bisa diberlakukan sekarang, sebab pemerintah sedang melakukan penghematan anggaran. Jokowi meminta para anggota DPRD maklum dan bersabar.


Menohok Hati Nurani Tuntutan tersebut tentu menohok hati nurani masyarakat. Pertama, mereka sepertinya tak sadar krisis. Di tengah tuntutan kenaikan tunjangan, pemerintah sedang melakukan penghematan anggaran di mana-mana. Bahkan sebelumnya ada isu Dana Alokasi Umum (DAU) lambat dicairkan yang berkonsekuensi pada penundaan gaji PNS selama empat bulan. Ada juga pemda yang memotong uang lauk pauk PNS-nya untuk menyesuaikan kebijakan penundaan pengucuran DAU.


Muncul isu juga seperti tunjangan sertifikasi dosen maupun guru bakal dihapuskan. Belakangan dana desa juga dipotong Rp 2,8 triliun (Kompas, 27/8). Dibandingkan rencana Rp 46,7 triliun, dana tergunting 6 persen. Konsekuensinya, 4.482 desa batal mendapatkan dana senilai Rp 625 juta per desa.Mestinya para Anggota DPRD harus menangkap hal tersebut sebagai signal bahwa, negara sedang mengalami defisit anggaran.


Kedua, menjadi anggota DPRD sebenarnya adalah panggilan untuk pengabdian, bukan tempat untuk mencari penghasilan. Sebagai wakil rakyat, mestinya sudah harus selesai dengan urusan diri sendirinya. Ketika duduk di kursi DPRD, yang dipikirkan adalah bagaimana mengurus kepentingan orang banyak, bukan lagi memikirkan diri sendiri. Kami. Rakyat tidak percaya kalau DPRD hidup menderita. Ini nonsens besar. Sebab realitasnya banyak wakil rakyat yang menunjukkan gaya hidup mewah.

Gaji DPRD saja terdiri dari lima komponen yakni uang representasi (untuk ketua, 3 juta rupiah, wakil ketua 2,4 juta rupiah, anggota 2,25 juta rupiah), tunjangan komunikasi intensif (untuk ketua 9 juta rupiah, wakil ketua 9 juta rupiah, anggota 9 juta rupiah), tunjangan perumahan(untuk ketua 20 juta rupiah, wakil ketua 20 juta rupiah, anggota 15 juta rupiah), tunjangan jabatan (untuk ketua, 4,35 juta rupiah, wakil ketua 3,48 juta rupiah) dan tunjangan operasional (untuk ketua 18 juta, wakil ketua). Ini angka yang lebih dari cukup untuk seorang wakil rakyat.


Dalam teori manajemen publik, salah satu indikator memperbaiki penghasilan disumbang oleh sejauhmana kinerja seseorang itu positif. Artinya jika anggota DPRD ingin ditingkatkan penghasilannya, mestinya ia harus menunjukkan kinerjanya, bukan lalu menggunakan logika terbalik: menaikan gaji, tunjangan, supaya bisa meningkatkan kinerja.


Kenyataannya, kinerja DPRD saat ini tak baik-baik amat.Contohnya, bisa dilihat dari banyaknya korupsi di daerah karena terjadinya mal administrasi pemerintahan secara masif, banyak kebijakan publik yang seharus bisa melindungi rakyat, malah diperjualbelikan untuk menguntungkan para cukong, kaum pemilik modal. Semua ini terjadi antara lain karena tidak efektifnya mesin kontrol wakil rakyat terhadap pemerintah daerah. Bahkan alih-alih kritis terhadap eksekutif, yang terjadi malah persekongkolan untuk menggoalkan kepentingan tertentu yang terkait dengan keuangan daerah. Selain itu, kalau memang anggota DPRD hidupnya menderita, mana mungkin peminat untuk menjadi anggota DPRD setiap pemilu semakin membeludak. Bukankah juga kebanyakan anggota DPRD di berbagai daerah banyak yang berlatar belakang pengusaha.

Artinya, mereka secara ekonomi, bukan masyarakat menengah ke bawah, tapi masyarakat yang sudah mapan.
Apalagi dengan melihat betapa makin kuatnya sensasi hedonisme yang ditunjukkan mereka lewat barang-barang (jam tangan, pakaian, mobil) bermerk yang dipakai di tengah rakyat yang masih dilanda kemiskinan, yang dalam politik perwakilan, hal demikian telah menodai posisi mereka sebagai representator rakyat.


Ironisnya dalam mahzab hedonisme yang memandang kenikmatan, kegembiraan, kesenangan, pestapora sebagai kebaikan sekalipun, selalu terdapat golongan lain dalam mahzab sama yang mengkritik bahwa kenikmatan adalah ekses menuju amoralitas atau kelainan fisik materialisme sehingga perlu dibungkus keprihatinan. Aristippus, penganut mahzab hedonisme, kala itu mungkin tak sampai membayangkan kalau pemikirannya dicaplok membabibuta oleh politisi kita, yang  -ironisnya - menurut Aristoteles, gurunya sendiri, politisi mestinya sosok terhormat, humanis dan altruistik, tidak bermewah-mewah.


Wakil Borjuis Nampaknya DPRD kita bukan lagi berupaya mengindentifikasi diri sebagai wakil rakyat tetapi tak lebih sebagai wakil borjuis yang mengimani pandangan Jean Paul Sartre (lahir 21 Juni 1905) tentang eksistensialisme: manusia tak lain adalah rencananya sendiri, ia berbuat hanya sejauh mana ia memenuhi dirinya sendiri, di mana paham ini juga sangat menolak determinisme religius dan moralitas karena dianggap sekadar mistis. Itulah yang tampak dari pendirian jamak politisi kita yang menabukan makna pengunduran diri dari jabatan karena telah menyelewengkan mandat rakyat. Termasuk membangun apologi dengan melabuhkan jangkar koersif ke segala penjuru melalui senjata gugatan.
Bahayanya, politik sartreisme secara tak langsung memaksa rakyat menjadi kelompok terbuang dari demokrasi, yang hanya taat dan pasrah pada apa yang dilakukan penguasa, tak peduli itu merugikannya.


Karenanya, politik ketidaksempurnaan ini harus dilawan oleh rakyat dengan memassifkan wacana politik keadilan, kejujuran, kesahajaan sebagai nilai tertinggi politi(k)si. Karenanya kita menuntut penundaan penaikan gaji dan tunjangan DPRD sampai ekonomi bangsa memungkinkan. Biar rakyat tidak terus sakit hati.***
Penulis adalah Peniliti.

Editor:

Terkini

Terpopuler