Cerita Kebakaran Hutan Hanyut Terlupakan

Ahad, 13 Desember 2015 - 09:58 WIB
Kebakaran hutan di Riau selalu terjadi setiap tahun, sejak belasan tahun terakhir. Terlihat petugas bejibaku memadamkan api. Foto ini diambil wartawan Antara tahun 2011 lalu.

Jakarta (HR) - Seiring datangnya musim hujan, cerita kebakaran hutan dan lahan yang terjadi tahun 2015 seakan hanyut terlupakan.

Padahal, kebakaran yang melanda Kalimantan, Su matera, Papua, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, Jawa, serta Maluku itu setara dengan 32 kali wilayah Provinsi DKI Jakarta.
Kini, meskipun bencana asap sudah usai dan api telah padam, tidak membuat kehidupan masyarakat kembali tenteram.

Dari total hutan dan lahan yang terbakar sebesar 2.089.911 hektare, dampak ekonomi akibat kebakaran dan kabut asap tahun 2015 diperkirakan mencapai Rp200 triliun, mulai dari kerugian ekonomi, tanaman yang terbakar, air yang tercemar, emisi, korban jiwa serta pembatalan penerbangan. Di Kalimantan Tengah, sumbangan kebakaran terbesar datang dari konsesi kelapa sawit.

Kebakaran hutan yang merajalela selama tiga bulan itu sulit dipadamkan karena baik di Kalimantan maupun Sumatera, titik api berada di lahan gambut dengan kedalaman tiga sampai lima meter di bawah tanah. Sementara itu, pembakaran lahan gambut sangat signifikan melepas emisi gas rumah kaca karena menyimpan jumlah karbon terbanyak di dunia. Pengeringan lahan gambut dengan pembangunan kanal memicu mudahnya area tersebut terbakar.

Indonesia telah kehilangan 31 juta he ktar hutan hujan sejak 1990, atau hampir setara dengan luas negara Jerman. Menurut Greenpeace, Indonesia memegang kunci atas pengurangan emisi gas rumah kaca global dengan cara paling murah dan efektif, yaitu perlindungan dan pemulihan hutan-lahan gambut.

Pada pidatonya di COP 20, Paris, Presiden Joko Widodo menyampaikan komitmen untuk menghentikan kebakaran hutan dan lahan gambut yang terus berulang setiap tahun yang menjadikan Indonesia sebagai negara pelepas emisi karbon terbanyak dalam beberapa bulan terakhir ini.

"Greenpeace mendorong pemerintah untuk melindungi hutan dan lahan gambut secara menyeluruh tanpa melihat kedalaman. Seluruh wilayah gambut tidak boleh digunakan untuk budidaya perkebunan. Gambut kaya akan karbon dan riskan sekali kalau kondisinya kering karena gambut yang kering itu merupakan bahan bakar yang paling bagus untuk api," kata Manajer Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Kiki Taufik.

"Kalau pembangunan di wilayah gambut tidak dihentikan, maka masalah kebakaran tidak akan selesai sampai kapan pun. Karena tanpa ada yang membakar, gambut bisa terbakar," tambahnya.
Kepala Greenpeace Indonesia Longgena Ginting menambahkan meskipun Presiden Joko Widodo telah menginstruksikan pelarangan izin baru di atas lahan gambut, hal tersebut harus didukung dengan tinjauan ulang secara terbuka atas izin lama yang telah dikeluarkan.

Aturan perlindungan lahan gambut, lanjutnya, harus dikukuhkan dalam bentuk peraturan yang lebih kuat seperti undang-undang. Namun, karena pembentukan undang-undang membutuhkan waktu yang lama, Greenpeace menilai peraturan pemerintah cukup realistis.

"Nanti tidak ada izin baru tetapi izin lama masih berjalan akan tumpang tindih. Perlu ada review terbuka dan penentuan kebijakan mana izin yang boleh dilakukan dengan persyaratan ketat dan mana izin yang harus dicabut demi lingkungan, demi gambut," ujar Longgena.
Sementara itu, Staf Monitoring Lapangan Save Our Borneo Habibi mengatakan aturan perlindungan gambut harus ditindaklanjuti dengan peraturan daerah.

"Kalau aturan tidak ditindalanjuti dengan perda akan sulit, harus ada turunannya karena pemerintah daerah sering kurang memahami atau merespon," kata Habibi.

Peringatan untuk Pemerintah
Pada tanggal 3 Desember lalu, Greenpeace Indonesia dan sejumlah media melakukan pemantauan kondisi hutan dan lahan di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah dari udara. Berdasarkan pantauan tersebut, tampak jelas sisa-sisa kebakaran hutan dan lahan yang sebagian besar terjadi di atas lahan gambut.

Pohon yang hangus atau tumbang menjadi pemandangan miris. Bentangan kanal membelah lahan gambut seperti terpotong menjadi beberapa bagian. Kanal-kanal tersebut lah yang membuat lahan gambut menjadi kering sehingga lebih mudah lagi terbakar.

Dari udara juga terlihat terdapat aktivitas eskavator di atas sisa lahan terbakar yang letaknya berdampingan dengan konsesi perkebunan misalnya di kawasan Kebun Raya dan Ketapang.
Menanggapi hal tersebut, Manajer Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Kiki Taufik menekankan pemerintah tidak boleh bergerak lamban.

"Tadi terlihat lahan yang terbakar kebanyakan berdekatan persis dengan perkebunan. Tanpa menuduh kita bisa lihat ada indikasi perkebunan itu mau perluas wilayahnya," tutur Kiki.
"Ini menjadi peringatan karena pemerintah telah mengatakan lahan yang terbakar tidak boleh dibudidayakan dan harus direstorasi," tambah Kiki.

Adanya aktivitas ekskavator tersebut, lanjut Kiki, merupakan tindakan pengabaian dari instruksi pemerintah.

"Maka pemerintah harus cepat memetakan mana wilayah terbakar dan harus segera melakukan rehabilitasi. Kami tunggu komitmen pemerintah dan dari pantauan ini nanti bisa kami evaluasi lagi, apakah direhabilitasi menjadi hutan atau kebun," ujar Kiki.

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Rusmadya Maharuddin menambahkan saat musim hujan merupakan waktu yang tepat untuk bergerak cepat mengantisipasi terjadinya kebakaran hutan pada masa mendatang sehingga kebakaran hutan yang telah melepas emisi karbon sebesar 1,1 Gigatton Co2 eq itu tidak akan terulang lagi.

"Sekarang ini tantangan Indonesia adalah melawan lupa. Jangan sampai karena musim hujan, persoalan terlupakan. Kawasan yang telah terbakar akan berpotensi terbakar lagi karena tingkat kekeringan gambutnya. Seharusnya di musim hujan ini, sudah harus waspada daerah yang berpotensi kebakaran," jelas Rusmadya. (ant/rin)

Editor:

Terkini

Terpopuler