NU Soroti Konsesi Tambang serta Peringatan Nasional

Senin, 22 Desember 2025 - 14:15 WIB
Gus Yahya (kiri), KH Miftahul Akhyar (tengah), Zulfa Mustofa (kanan) (ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal, Muhammad Iqbal, Fauzan)

Riaumandiri.co - Polemik yang belakangan mengemuka di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tidak dapat dipandang sekadar dinamika internal organisasi keagamaan. Sejumlah laporan media menyoroti bahwa konsesi tambang yang diberikan negara kepada NU menjadi faktor utama yang memicu dan memperuncing konflik internal, sekaligus menghidupkan kembali perdebatan lama mengenai arah, posisi, serta etika relasi NU dengan kekuasaan.


Konsesi tambang tersebut, yang secara hukum telah disahkan, dipandang oleh sebagian warga Nahdliyin sebagai simbol pergeseran orientasi organisasi. Bagi mereka, masalah itu tidak hanya bersifat administratif atau ekonomi, melainkan mencerminkan potensi konflik kepentingan, risiko kerusakan lingkungan, dan ancaman terhadap independensi NU sebagai kekuatan moral yang selama ini dijunjung tinggi.


Kegelisahan tersebut kemudian menampakkan bentuk politiknya melalui seruan islah, tuntutan pengembalian konsesi kepada negara, serta dorongan percepatan pelaksanaan muktamar. Para aktivis internal menekankan perlunya proses rehabilitasi struktural agar organisasi dapat kembali menegakkan prinsip-prinsip keagamaan tanpa terpengaruh oleh kepentingan material.


Penting untuk ditegaskan bahwa konflik di PBNU bukan sekadar urusan internal, melainkan peristiwa kebangsaan. Nahdlatul Ulama merupakan pilar utama masyarakat sipil Indonesia, sehingga guncangan yang terjadi di dalamnya berdampak pada kepercayaan publik terhadap salah satu penyangga utama kehidupan berbangsa.


NU bukan organisasi biasa; ia adalah ibu kandung Negara Kesatuan Republik Indonesia bersama ormas besar lain yang turut melahirkan kemerdekaan, menjaga republik sejak awal berdiri, dan hingga kini memikul tanggung jawab besar dalam melestarikan identitas nasional di tengah dinamika masyarakat dunia.


Ketika NU terguncang, yang turut terguncang bukan hanya struktur organisasi, melainkan kepercayaan publik terhadap institusi yang selama ini menjadi penyangga moral bangsa. Konflik PBNU hari ini memperlihatkan satu hukum klasik dalam ilmu organisasi dan politik, yakni saat otoritas moral bercampur dengan privilese material, legitimasi menjadi dipertanyakan.


Otoritas moral organisasi keagamaan hidup dari kepercayaan, konsistensi nilai, keteladanan sikap, serta keberanian menjaga jarak kritis terhadap kekuasaan. Jika otoritas tersebut berkelindan dengan privilese ekonomi yang besar dan strategis, maka yang pertama kali terkikis bukan struktur organisasi, melainkan legitimasi di mata publik, meski konsesi secara hukum tetap sah.(MG/FAI)

Editor: Nandra Piliang

Terkini

Terpopuler