Reformasi dan Hasrat Kekuasaan

Jumat, 24 April 2015 - 10:05 WIB

Tepat pada tanggal 21 Mei, rakyat Indonesia akan bernostalgia terhadap kemenangan rakyat melawan otoritarianisme Soeharto. Kemenangan ini ditandai dengan tumbangnya Orde Baru dengan simbolnya Soeharto sebagai tokoh one man show dan dimulainya Orde Reformasi dengan banyaknya elite politik yang bermunculan ke permukaan, di mana selama ini hasratnya untuk berkuasa atau bahkan hanya sekedar untuk menyelamatkan rakyat Indonesia dari kesengsaraan menuju kesejahteraan sebagaimana tujuan adanya negara Indonesia.
Reformasi dengan seabrek tokohnya menjadi angin segar bagi rakyat Indonesia untuk bangkit kembali. Seolah-olah otoritarianisme adalah penghalang dari derajat kesejahteraan tersebut. Dan, sekarang semua itu mungkin dapat disangkal kembali.
Untuk itu, perlu diulas kembali bagaimana agenda reformasi dijalankan yang ditinjau dari perpsepktif kekuasaan. Mengingat hasrat kekuasaan yang begitu besar dari elite politik tidak dapat dipungkiri lagi telah terjadi dan disaksikan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Ignas Kleden (2003) telah melakukan analisis terhadap capaian-capaian agenda reformasi 1998 di bidang politik. Menurutnya, ada lima proposisi yang muncul sebagai proses bahkan hasil reformasi 1998.
Pertama, orientasi elite politik terhadap kekuasaan. Setelah keran untuk mendapatkan kekuasaan dibuka pada saat reformasi, maka seluruh elite politik hanya berorientasi pada memperebutkan kekuasaan belaka dan bukan pada usaha efektivitas penggunaan kekuasaan. Ada banyak indikator untuk menilai pendapat Kleden tersebut, di antaranya munculnya banyak partai politik setelah tumbangnya Orde Baru. Elite politik kurang mau kompromi dan konsolidasi untuk membangun satu partai saja. Semuanya ingin menjadi pucuk pimpinan dan berhasrat untuk berkuasa.
Hal ini dapat disaksikan di tubuh Partai Golkar yang memunculkan tunas baru seperti Partai Gerindra, Partai Hanura, Partai Nasdem PKPI, dan partai kecil lainnya yang muncul pada awal reformasi hingga bertahan hidup sampai sekarang ini. Saat ini, dualisme terjadi di tubuh Partai Golkar dan PPP. Tentulah dapat dipahami penyebab utamanya adalah hasrat ingin berkuasa tersebut. Hasrat berkuasa ini dapat ditinjau dari dua hal, yakni ingin tetap menguasai partai politik dan ingin tetap dapat menikmati jabatan di kursi pemerintahan (pilihan berada di dalam atau di luar pemerintahan). Perpecahan ini juga terjadi sebagai akibat tidak terakomodasinya kepentingan kelompok dalam partai politik dan ketidakpuasan politik terhadap keputusan partai.
Kedua,  politik mikro versus politik makro. Politik dapat dipahami sebagai hubungan antar-aktor atau elite politik, patronase politik, politik uang. Atau, politik mikro ini hanya berhubungan tentang transaksional politik antarelite. Sementara, politik makro adalah berperannya elemen negara dalam bentuk institusional (simbol), yakni suprastruktur politik, infrastruktur politik, masyarakat, pasar, militer, dan sistem hukum. Hal dominan yang terjadi pasca reformasi adalah politik mikro daripada politik makro. Indikatornya dapat dilihat pada isu-isu politik nasional lebih menjurus kepada perseteruan individual.
Baru saja kita saksikan kasus individu Budi Gunawan (Polri) dan Bambang Wijayanto (KPK). Konon sejarah perseteruan kedua lembaga ini yang hanya diwakili oleh seorang sudah pernah terjadi sebelumnya. Perseteruan antara Megawati Soekarno Putri dengan Susilo Bambang Yudowono yang tak kunjung usai mulai dari awal pencalonan presiden hingga habis dua periode masa SBY tersebut. Bisa juga dilihat pada perseteruan individual dalam tubuh partai politik seperti Soetrisno Bachir dan Amien Rais atau Hari Tanoe dengan Surya Paloh. Dan masih banyak contoh lainnya yang meramaikan informasi di media massa, sehingga masalah besar yang dikelola oleh lembaga pemerintahan kurang begitu diperhatikan.
Ketiga, orientasi paternalistik. Pasca reformasi, pemimpin selalu diandalkan menjadi panutan atau figur. Seharusnya, orientasi negara modern tidak mencari figur dari pemimpin atau pemimpin tidak menjadi figur dalam kehidupan masyarakat, melainkan pemimpin hanya diharapkan untuk mensejahterakan rakyatnya. Hampir setiap pemilu, rujukan memilih pemimpin adalah melihat track record nilainya yang telah lalu, bukan kinerjanya sebagai pemimpin.
Keempat, desentralisasi politik yang semu untuk kesejahteraan rakyat. Harapan untuk mengubah pola otoritarisme menjadi demokratis yang tercermin dari adanya otonomi daerah tidaklah membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan. Desentralisasi lebih kepada desentralisasi politik dan kekuasaan ketimbang kesejahteraan rakyat. Masa Orde Baru menciptakan raja tunggal di pusat dan konsentrasi korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) lebih dominan di tingkat pusat. Namun reformasi mengantarkan proses penjamuran korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dari tingkat pusat hingga daerah.
Reformasi memberikan kompensasi terciptanya raja-raja kecil di daerah. Rakyat harusnya dapat menilai dan memilih, mau KKN tersebar di daerah atau hanya di pusat? Inilah desentralisasi politik, hiruk pikuk di daerah hanya beberapa persen tentang pembangunan, sisanya disibukkan dengan proses demokrasi atau regenerasi kepemimpinan dan penanganan kasus korupsi serta dinasti di daerah.
Dari paparan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa reformasi masih belum dapat mengantarkan budaya politik bangsa Indonesia kepada budaya politik yang modern.
Warna paternalisme, parokialisme, dan orientasi terhadap kekuasaan masih begitu kuat dalam elite politik bangsa ini. Adopsi sistem politik kita masih pada level institusionalisme dan konfigurasi sistem politik, bukan pada nilai, perilaku, dan tatanan kehidupan bernegaranya.***

Oleh : M Zainuddin, S.IP, MA - Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Abdurrab Pekanbaru.

Editor:

Terkini

Terpopuler