Obat Ivermcetin Tidak Sesuai Ketentuan Mutu, Pengguna dan Pengedar Bakal Disanksi

Obat Ivermcetin Tidak Sesuai Ketentuan Mutu, Pengguna dan Pengedar Bakal Disanksi

RIAUMANDIRI.CO, PEKANBARU - Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Pekanbaru mengingatkan masyarakat agar berhati-hati mengkonsumsi obat Ivermcetin yang beberapa waktu terakhir diklaim menjadi obat Covid-19.

Untuk menjaga agar mutu obat terjamin sepanjang product life cycle, BPOM memastikan mutu, sebelum dan sesudah beredar, melalui pemenuhan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) oleh industri farmasi dan Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) oleh distributor, termasuk di sarana pelayanan kefarmasian. 

Sedangkan, pengawalan BPOM terhadap jaminan mutu obat dilakukan melalui pengawasan ke fasilitas produksi dan distribusi, untuk memastikan kepatuhan terhadap CPOB dan CDOB. 


Selanjutnya, apabila ditemukan ketidaksesuaian terhadap ketentuan CPOB dan CDOB pada mutu produk dan dapat membahayakan masyarakat, maka dapat dikenakan sanksi-sanksi kepada pelaku usaha sesuai peraturan perundang-undangan.

''Dari hasil pengawasan Badan POM terhadap kegiatan pembuatan Ivermectine produksi PT Harsen dengan nama dagang Ivermax 12, ditemukan obat tersebut diproduksi dan didistribusikan, dengan tidak memperhatikan aspek CPOB dan CDOB,'' jelas Yosef. 

Dari hasil temuan dari pengujian, beberapa aspek yang tidak memenuhi ketentuan, antara lain: penggunaan bahan baku Ivermectin, dengan pemasukan yang tidak melalui jalur resmi.

Selanjutnya, cara pendistribusian obat Ivermax 12 tidak dalam kemasan siap edar. Kemudian, pendistribusikan obat Ivermax 12 tidak melalui jalur distribusi resmi, mencantumkan masa kedaluarsa Ivermax 12, tidak sesuai dengan yang telah disetujui oleh BPOM.

''Temuan BPOM obat ini dibuat kadaluarsa 12 bulan setelah tanggal produksi. Namun, pihak perusahaan mencantumkan 2 tahun setelah tanggal produksi,'' terang Yosef. 

Temuan lainnya, pihak perusahaan mengedarkan obat yang belum dilakukan pemastian mutu dari produk. Lalu, perusahaan melakukan kegiatan promosi yang tidak sesuai ketentuan yaitu tidak obJektif, tidak lengkap, dan menyesatkan.

Sebagai contoh, kata Yosef, iklan obat Ivermectin yang mencantumkan indikasi untuk pengobatan Covid-19, dalam hal ini dapat menyesatkan masyarakat.

''Artinya BPOM tidak merekomendasikan penggunaan obat itu, karena belum ada uji klinis dan persetujuan dari BPOM untuk indikasi tersebut,'' tegas Yosef.

Karena itu, mengingat pelanggaran yang dilakukan berpotensi untuk membahayakan masyarakat, dalam hal ini, PT Harsen maupun industri farmasi yang melanggar ketentuan dalam proses produksi, maupun distribusinya, dapat dikenakan sanksi berupa sanksi administratif sampai dengan sanksi pidana. 

''PT Harsen saat ini disanksi berupa penghentian sementara kegiatan produksi dan penarikan produk Ivermax 12 dari peredaran,'' ungkap Yosef.

Sedangkan, di Riau, BPOM Pekanbaru, sebut Yosef akan turut terus memantau pelaksanaan dan menindaklanjuti hasil uji klinik, serta melakukan update informasi, terkait penggunaan obat Ivermectine untuk pengobatan Covid-19, melalui komunikasi dengan WHO dan Badan Otoritas Obat negara lain. 

''Demi keselamatan masyarakat kami mengimbau masyarakat bijak, pintar, dan hati-hati dalam mengonsumsi obat-obatan yang akan digunakan dalam pengobatan Covid-19,'' tutur Yosef.

Imbauan ini kata Yosef, karena masyarakat juga harus memahami bahwa obat keras harus diperoleh dengan resep dokter, yang didapatkan melalui konsultasi kepada dokter baik secara langsung maupun melalui telemedicine. 

''Pembelian obat keras harus dilakukan disarana pelayanan kefarmasian yang memenuhi kaidah CDOB dan diserahkan oleh apoteker sesuai dengan ketentuan. Kalau tidak sesuai anjuran dokter penggunaannya tentunya dapat berisiko pada kesehatan,'' sebut Yosef.

''Karena obat ini masuk dalam kategori obat keras yang harus berdasarkan resep dokter untuk memperolehnya, termasuk jika melihat ada penjualan obat Ivermectine secara online di wilayah Riau untuk dapat disampaikan kepada kami agar kami tindak lanjuti,'' tutupnya.



Tags Corona