Akhmad Mujahidin Bakal Jadi Rektor UIN Suska Lagi, Dewan: Gonjang-ganjing Berkepanjangan

Akhmad Mujahidin Bakal Jadi Rektor UIN Suska Lagi, Dewan: Gonjang-ganjing Berkepanjangan

RIAUMANDIRI.CO, PEKANBARU - Anggota Komisi V DPRD Riau, Ade Hartati mengomentari putusan PTUN Jakarta yang mengabulkan gugatan mantan Rektor UIN Suska Riau, Akhmad Mujahidin yang diberhentikan dari jabatannya. PTUN menilai pemberhentian jabatan tersebut oleh Menteri Agama tidak sah.

Saat ini UIN Suska masih menunggu keputusan Kementerian Agama, apakah bakal mengajukan banding ke PTUN atau langsung memindahkan kekuasaan rektor resmi sekarang, Khairunnas Rajab ke Mujahidin. Ade berharap Kemenag mempertimbangkan keputusannya, sebab menurutnya, mengembalikan Akhmad Mujahidin ke kursi rektor sama artinya membiarkan gonjang-ganjing berkepanjangan di kampus berbasis Islam tersebut.

"Kita menghormati keputusan PTUN, namun kita berharap Kemenag menempatkan orang-orang yang benar-benar mampu, baik secara individu maupun keorganisasian, mengelola universitas yang demikian besar. Apalagi UIN ini satu-satunya kampus negeri yang berdasarkan keislaman di Riau. Sehingga jadi episentrum pergerakan, dan tolok ukur pergerakan Islam di Riau. Kita berharap Kemenag bijak menentukan sikap," ujarnya kepada Riaumandiri.co, Rabu (23/6/2021).


"Kampus juga harus jauh dari keputusan-keputusan politis. Sehingga mahasiswa mampu berproses dengan baik dengan benar. Kita enggak mau nanti terjadi gonjang-ganjing lama, berlarut-larut hingga tahunan. Sehingga mempengaruhi karakter mahasiswa. Mereka jadi tidak konsentrasi menuntut ilmu, tapi malah konsen kepada masalah yang ada," tambahnya.

Sementara, Ketua Ikatan Keluarga Alumni (IKA) UIN Suska Riau, Abdul Wahib menganggap putusan PTUN menjadi salah satu bukti bahwa tuduhan-tuduhan terhadap Mujahidin selama ini salah. Ia juga menganggap selama kepemimpinan Mujahidin, masalah yang terjadi di internal kampus masih dalam batas wajar.

"Apa yang diupayakan Akhmad Mujahidin (menggugat Kemenag ke PTUN) saya pikir baik untuk membuktikan bahwa apa yang dituduhkan ke beliau tidak benar, karena sudah ada proses peradilan. Namun, kalau soal kisruh selama kepemimpinan beliau, saya rasa itu memang bagian dinamika seorang pemimpin. Memang idealnya tidak ada dinamika yang terlalu berarti dan terkontrol. Dan beliau masih dalam batas kewajaranlah. Artinya tidak ada yang menyimpang dari akademisi dan statuta UIN," ujarnya.

Salah satu mahasiswa UIN Suska, Adrian Eka menyayangkan apabila nantinya Mujahidin kembali memegang tampuk kekuasaan. Pasalnya, menurut Eka, dari awal Mujahidin menjadi rektor selalu bermunculan masalah-masalah. Bahkan, ia menyebut banyak mahasiswa yang 'terzalimi' selama kepemimpinan Mujahidin.

"Aku lebih bertanya, sih. Ada apa sebenarnya ini? Apa yang terjadi di rektorat itu? Dari awal Mujahidin masuk UIN, pasti ada aja masalah. Terus apa lagi yang dikejarnya di UIN itu? Kalau dia balik ke UIN karena masalah kepentingan pribadi, mending enggak usahlah. Udah banyak rasaku mahasiswa 'terzalimi' semejak masa pemerintahannya. Nanti kalau dia balik lagi, sistem pasti berubah lagikan? Mahasiswa diribetkan lagi, gitu-gitu aja terus," papar Ketua Suska TV itu.

Senada dengan itu, mantan Pemimpin Redaksi Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Gagasan, Bagus Pribadi menganggap dicopotnya Mujahidin dari jabatan rektor bukan tanpa alasan, tapi dipicu keresahan masyarakat kampus, baik mahasiswa, dosen, dan lainnya.

"Kepemimpinannya bisa dikatakan kacau kalau dilihat dari timbulnya masalah selama dia menjabat. Dalam jangka waktu yang sikat ada-ada aja mahasiswa yang demo, entah itu soal UKT, Ormawa, sampai dugaan korupsi. Jadi kalau misalnya dia balik jadi rektor lagi, tentu keadaan tidak jauh beda dengan semasa dia memimpin," jelasnya.

"Meski rektor yang sekarang juga tak menjamin keadaan jadi lebih baik, paling tidak ada pola baru kepemimpinan yang mungkin bisa sesuai dengan mahasiswa, khususnya. Karena semua mahasiswa tahu pola kepemimpinan Mujahidin cenderung otoritarian dan itu sangat tidak cocok diterapkan di perguruan tinggi, di mana tempat mahasiswa pola pikirnya terbuka bebas. Perguruan tinggi itu tempat mahasiswa berdialektika, terutama kepada dirinya sendiri, dan untuk mempraktikkan itu butuh akses yang tersedia dan bebas. Jadi pola otoritarian enggak bisa diterapkan di perguruan tinggi," tutupnya.