Sekolah Kena PPN, Pengamat: Segera Kritik Sebelum Berlaku

Sekolah Kena PPN, Pengamat: Segera Kritik Sebelum Berlaku

RIAUMANDIRI.CO, PEKANBARU - Pengamat Pendidikan dari Universitas Riau, Afrianto Daud mengomentari revisi Undang-Undang Ketentuan Umun dan Tata Cara Perpajakan (KUPP) yang rencananya akan menghapus jasa pendidikan dari kategori tidak dikenakan PPN. 

"Kita memang perlu mengingatkan pemerintah mumpung wacana dan kemudian dokumennya bocor ke publik. Inilah saatnya masyarakat memberikan masukan. Nanti jika sudah keputusan dan sudah berlaku, artinya kita tidak bisa ngapa-ngapain, tidak bisa kritik. Inilah kesempatan masyarakat memberikan masukan dan saya pikir kita harus ingatkan pemerintah untuk hati-hati terkait sektor pendidikan ini. Karena ini hajat dasar hidup kita setelah makan dan minum," ucap Afrianto Daud saat dihubungi Haluan Riau, Jumat (11/6/2021). 

"Akan tetapi, ini kan masih rencana rancangan revisi undang-undang, jadi artinya belum ada keputusan resmi dari pemerintah atau DPR. Cuma kalau kita ikuti wacana yang berkembang itu, memang kita harus mengingatkan pemerintah hati-hati, karena menghapus pendidikan itu dari objek yang bebas pajak sebelumnya," tambahnya. 
 
Afrianto menjelaskan, rencana ini bukan langkah bijak, sebab akan berdampak buruk terhadap masyarakat yang sedang dalam kehidupan serba sulit di tengah pandemi Covid-19. Jika pendidikan sekolah dikenai pajak, maka ujung-ujungnya akan berimbas pada biaya sekolah yang memberatkan orang tua.


"Kalau bicara masa depan kita bicara sektor pendidikan. Nah, untuk maju kita harus memberi kesempatan terhadap semua orang dan memang hak setiap orang untuk mendapat pendidikan yang berkualitas. Sebenarnya kewajiban negara adalah menyelenggarakan pendidikan secara gratis. Jangan sampai orang mau pintar, jadi makin sulit. Karena pajak biayanya dibebankan kepada murid atau orang tua," tegasnya.

Afrianto menambahkan, objek pajak pada sektor pendidikan harusnya hanya pada yang ada unsur bisnisnya saja, bukan lembaga sekolah. Misal, seperti bimbel atau tempat-tempat kursus. Karena, bimbel bukan hal utama alias pilihan individu, kesadaran sendiri, biaya yang akan dikeluarkan pun juga urusan pribadi. 

"Pemerintah harusnya kalau bisa lebih kreatif mencari pemasukan-pemasukan yang lain. Kalau dari sisi pajak, ada semacam kontradiksi. Jadi orang-orang biasa malah dipajaki, bahkan seperti sembako saja mau dipajaki. Padahal semuanya kebutuhan sehari-hari. Sementara barang mewah seperti mobil malah ada keringan. Rasanya tidak adil," ucapnya.

Afrianto juga mengatakan, pemerintah harus mengkaji rencanan ini. Menurutnya, bukan keputusan bijak jika menjadikan pendidikan sebagai objek pajak. Apalagi, penyelenggaraan pendidikan merupakan kewajiban negara.