Wawancara dengan Petani Ganja Sekaligus Pendiri APGI

Wawancara dengan Petani Ganja Sekaligus Pendiri APGI

RIAUMANDIRI.CO, PEKANBARU - Tulisan ini bermula ketika salah satu pengikut akun media sosial kami menyukai postingan dari sebuah akun "berbahaya" yang basis kegiatannya berada di Indonesia. Akun tersebut bernama Asosiasi Petani Ganja Indonesia (APGI).

Lantaran melihat foto-foto yang tidak biasa, kami pun penasaran untuk mengetahui pemilik akun itu. Benar saja, di akun tersebut menampilkan foto ganja yang ditanam di pot bunga pada sebuah pekarangan rumah. Kami pun kian penasaran dan mencari tahu apa dan siapa sebenarnya APGI.

Setelah mengirim pesan ke akun APGI, kami diarahkan untuk langsung mewawancarai founder organisasi bawah tanah ini, Adrian (bukan nama sebenarnya). Kami mewawancarai Adrian selama berminggu-minggu lewat pesan elektronik. Adrian merupakan pengusaha muda berusia 30-an yang sibuk, dan hanya dapat sesekali membalas surat kami. Adrian, tinggal di salah satu kota besar di Pulau Jawa.


APGI adalah asosiasi bawah tanah yang berusaha mengajak sebanyak-banyaknya orang untuk memanfaatkan ganja, baik sekadar rekreasi, maupun kesehatan, industri, tekstil, dan lain sebagainya. Adrian membuat gerakan ini bersama teman-temannya atas dasar pesimisme upaya legalisasi ganja yang selama ini ada di Indonesia. Terutama, terkait slogan-slogan klasik "pemanfaatan ganja untuk medis" yang dinilai terlalu sempit.

"APGI sebenarnya berawal dari ide beberapa teman nongkrong yang merasa muak dengan perjuangan legalisasi yang stagnan sejak awal topik ini mulai dibicarakan secara umum. Kami kebetulan ada beberapa kawan dekat yang pernah studi di Netherlands dan United States. Dan kami rasa, perjuangan di luar sana sangat bold dan apa yang sudah dilakukan di Indonesia hanya 'sekadar menyentuh permukaan air'. Kami ingin tenggelam, menyelam dalam, dan benar-benar memposisikan diri di dalam ranah ini," ujar Adiran kepada riaumandiri.co.

Di Indonesia, aktivisme ganja dimulai sejak dibentuknya Lingkar Ganja Nusantara (LGN) pada 2010 oleh Dhira Narayana, sarjana psikologi Universitas Indonesia. Setelah itu, mulai bermunculan gerakan-gerakan serupa, baik legal maupun tidak. Di media sosial, Instagram misalnya, akun-akun yang memperjuangkan ganja sangat banyak. Sebut saja akun triggerfinger_hemp, lgn_id, dan lain sebagainya.

Ganja milik Adrian yang ditanam di lokasi pribadinya. (Istimewa)

Kendati gerakannya yang ekstrem, Adrian merasa tidak bertolak belakang dengan aktivisme dan organisasi ganja lainnya di Indonesia. Namun, ia merasa bahwa ganja tidak seharusnya hanya diperjuangkan manfaat medis dan industrinya saja, tapi juga rekreasi dan bentuk-bentuk pemanfaatan lainnya.

"Sebenarnya bertolak belakang sih enggak, hanya beda visi misi aja kayaknya. LGN targetin riset legal untuk medis, kami targetin riset dengan cara apapun dan untuk semua manfaat," jelasnya.

"Goals kami lebih ke-awareness dan angka sih. Lebih banyak yang menanam, lebih banyak yang menggunakan (memanfaatkan)," tambahnya.

Di Indonesia, pemanfaatan ganja dilarang keras oleh pemerintah. Dalam Pasal 111 UU Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, ganja dikategorikan narkoba golongan I yang pemanfaatannya dalam bentuk apapun dapat dipidana kurungan hingga 15 tahun. Sedangkan pengedar, diganjar lebih lama lagi yaitu hingga 20 tahun.

Aturan ini berbanding lurus dengan asumsi kebanyakan masyarakat Indonesia yang menganggap ganja sebagai salah satu biang kerok penyebab perbuatan kriminal, menurunkan fungsi otak, dan hal-hal buruk lainnya.

"Kolot. Mungkin itu kata pilihan saya. Semua stigmatisasi yang ada di dalam kepala orang-orang kolot di negara kita sudah basi, enggak update. Ibarat sistem operasi Windows, mereka stuck, tertahan, terjebak di Windows 97, sedangkan layaknya sekarang orang pakai Windows 10," kata Adrian.

"Pandangan saya terhadap ganja selalu positif. Terlepas dari opini orang dan riset ilmuwan-ilmuwan. Sederhananya, saya enggak begitu peduli dengan opini orang lain. Bagi saya ganja baik. Penghilang stress, peningkat nafsu makan, meningkatkan kualitas hidup, bisa mengganti pohon-pohon besar untuk bahan baku produksi kertas, bijinya bisa jadi bio-fuel, bisa diambil seratnya untuk tekstil, dan masih banyak lagi. Enggak mungkin saya bahas semuanya di sini. Untuk masalah 'onar' saya harus tertawa terbahak-bahak nih, Mas. Belum pernah saya lihat orang yang onar setelah konsumsi ganja. Seringnya orang habis pakai ganja tuh jadi santai dan bersahabat, peaceful," tambahnya.

Sebagai bentuk manifestasi keseriusannya, pada 2018 APGI membagi-bagikan bibit ganja berbentuk biji gratis ke seluruh Indonesia. Saat itu, pusat operasi mereka ada di Batu, Malang. Mereka memanfaatkan celah pada salah satu perusahaan ekspedisi untuk mengirimkan bibit tersebut.

Minggu lalu, APGI juga diketahui mengadakan gathering dengan pengurus dan pendiri selama beberapa hari. Orang-orang yang hadir dilarang membawa gawai ke tempat pertemuan. Makanya, wawancara kami dengan Adrian sempat terputus kurang lebih seminggu.

"Kita lagi ngatur buat nyebarin bibit lagi nih," kata Adrian.

Selama membangun APGI, Adrian mengaku selalu mendapat dukungan, termasuk dari istrinya. Istri Adrian juga pengguna ganja. Ia bahkan bertemu istrinya saat berada di acara 4/20 di Belanda.

"Teror, puji alhamdulillah belum ada. Sejauh ini hanya dukungan dan dukungan positif yang kami terima. Saya bertemu istri dulu di acara 4/20 di Netherlands. Jadi istri saya dukung total. Kebetulan belum ada anak jadi kita masih bisa salurin waktu untuk hobi dan passion seperti ini," ungkapnya.

Adrian menanam ganja secara serius di lokasi pribadi miliknya. Dalam sehari, Adrian mengaku bisa menghabiskan 3-8 gram ganja kering atau setara dua hingga tiga batang ganja linting siap hisap.

Adrian menceritakan pengalamannya mengkonsumsi ganja selama ia melanjutkan gelar masternya di Amerika dan Belanda. Menurutnya, di sana membeli ganja hanya perlu datang ke coffee shop dan dipersilakan memilih sendiri berbagai varian dan olahan ganja, mulai dari dibakar seperti rokok, hingga bentuk permen dan losyen.

"Di US kita kalau mau beli asyik banget. Sekalipun underground ya. Di masa saya dulu belum seterbuka sekarang. Kita kalau beli selalu harus datangin rumah bandarnya, lalu kita akan disodorkan banyak pilihan strain (jenis) yang dia punya. Ada banyak rasa dan berbagai efek," jelasnya.

"Yang jadi kiblat saya pribadi, orang sana tuh enggak stigmatized dan mindset mereka terhadap ganja ya biasa aja. Seperti alkohol. Beda dengan masyarakat kita. Di Twitter ada postingan ganja, masih sering di-bully, dicengin. Komentar-komentar halo BNN, halo Divhumaspolri, dll. Di US zaman saya kuliah, lu mau nyimeng di parkiran, di taman, di wc kampus, enggak ada yang ambil pusing. Enggak ada yang cepuin," paparnya.

Berbeda dari LGN, Adrian mengatakan gerakan APGI akan selamanya berada di bawah tanah. Ia tidak berniat menawarkan solusi kepada pemerintah sebab menurutnya, Indonesia punya politik dan birokrasi berbelit dan rumit.

"Kita agak muak sih dengan pemerintahan. Terlalu bertele-tele, birokrasinya kotor, seperti lingkaran setan. Saya pribadi lebih tertarik bicara dengan pedagang senjata daripada dengan anggota DPR, dll," katanya, Jumat (12/3/2021).

Adrian menutup wawancara dengan pesan agar seluruh pengguna ganja di Indonesia, terutama anggota APGI selalu berhati-hati. Tidak paranoid, tunjukkan keberanian, tapi tidak juga ceroboh.



Tags Narkoba