Perlukah Istighasah Hadapi Ujian Nasional

Perlukah Istighasah Hadapi Ujian Nasional

Sebentar lagi, para siswa SMA dan SMP di negeri ini akan memiliki hajat besar, yakni pelaksanaan Ujian Nasional yang telah di depan mata.

Berdasarkan ketetapan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), UN untuk jenjang SMA sederajatya akan dilaksanakan mulai hari, Senin (13/4) hingga Rabu (15/4) mendatang. Sedangkan untuk jenjang SMP pada 4 hingga 7 Mei mendatang. Artinya, pelaksanaan UN mulai digelar dalam beberapa hari ini. Oleh karenanya, mau tak mau para siswa SMA maupun SMP harus sudah siap menghadapi.

Dalam rangka persiapan menghadapi UN, tak sedikit sekolah yang membekali para siswanya tak hanya memfokuskan pada aspek penguasaan materi pelajaran yang diujikan seperti Matematika, IPA, bahasa Inggris, dan lainnya. Tapi, mereka juga membekali para siswa dengan melaksanakan ‘ritual’ istighasah sebelum menghadapi UN. Bahkan, sebagian sekolah di tanah air menganggap bahwa ‘ritual' tersebut merupakan keniscayaan bagi mereka agar para siswa lancar dan sukses dalam mengerjakan soal-soal UN.

Sehingga dalam paradigma mereka, tak akan sempurna atau dengan kata lain persiapan mereka dirasa kurang, jika mereka belum mengadakan’ritual’ istighasah sebelum menghadapi hajat UN.

Paradigma demikian itu sesungguhnya tak dapat disalahkan, bahkan dianggap sesat. Sebab, orientasi mereka melaksanakan ritual tersebut dalam rangka meningkatkan keyakinan kepada para siswa sehingga mereka dapat tegar dalam ‘perang’ menghadapi UN. Selain itu, pelaksanaan ritual tersebut bertujuan untuk mendidik para siswa secara langsung tentang betapa pentingnya ketika sedang menghadapi berbagai macam cobaan, masalah, atau ujian (termasuk UN), mereka tetap harus selalu mengingat kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan harapan nantinya mereka dapat memperoleh kemudahan dalam mengerjakan soal-soal UN.

Secara umum, dasar argumentasi paradigma tersebut, yakni Surat Ali Imron: 112, yang secara substansial menjelaskan bahwa jika kita ingin sukses, maka kita harus selalu teguh menjaga hubungan antara dengan sang Khaliq (hablum minallah) dan sesama manusia pula (hablum minannas). Selain itu pula, juga Surat AlBaqarah: 86 yang intinya berisi tentang janji Tuhan (Allah) akan memenuhi permintaan atau doa hamba-Nya.

Atas dasar ayat-ayat tersebut, maka wajar jika banyak sekolah yang melaksanakan istighasah dalam rangka menghadapi UN. Meskipun UN kali ini telah direvisi, yakni tak menjadi penentu kelulusan siswa, tapi sebagai pengukur evaluasi wawasan pendidikan siswa, namun sebagian sekolah tetap menganggap bahwa melakukan istighasah merupakan hal yang harus dilakukan.

Sebenarnya, itu sah-sah saja. Namun, satu hal yang harus diingat, dikontemplasikan serta direalisasikan oleh para siswa melalui guru di sekolah ialah bahwa kunci utama sukses ‘perang’ menghadapi UN tidak lain adalah belajar dengan giat, konsisten, dan serius. Adapun pengadaan ‘ritual’ istighasah merupakan aspek pelengkap untuk menjadi penyemangat para siswa, agar mereka tak minder ketika menghadapi UN. Dengan begitu, harapannya para siswa dapat fokus dalam mengerjakan UN.

Artinya, substansi pelaksanaan istighasah bukan menjadi dan jangan sekali-kali dijadikan oleh siapapun sebagai kunci sukses menghadapi UN. Sebab, kita sebagai manusia biasa yang masih penuh dengan keterbatasan yang hidup di dunia nyata, dalam konteks berusaha meraih suatu target atau cita-cita (termasuk UN), kita harus memprioritaskan usaha yang bersifat nyata (real), bukan yang bersifat  ghaib bagaikan hidup di dunia maya.

Maksudnya, dalam berusaha kita harus lebih banyak mengandalkan jalur yang konkrit, seperti untuk menghadapi UN, maka para siswa harus lebih giat dan rajin belajar agar sukses dalam mengerjakan soal-soal UN. Setelah itu dilakukan, baru mereka melakukan tahap selanjutnya, yakni berdoa kepada Tuhan sebagai bentuk langkah tawakkal (pasrah) seorang hamba kepada Tuhannya, baik yang dimanifestasikan dalam istighasah, berdoa setiap setelah salat lima waktu, salat hajat, maupun dalam bentuk lain.

Dalam hal ini, Dr Mohammad Nasih al-Hafidz, Dosen Pascasarjana FISIP UI, menegaskan (dikaitkan dengan dunia tasawwuf) bahwa kita sebagai manusia yang penuh dosa jangan sekali-kali kita menempatkan atau berharap menjadi seperti wali (kekasih) Allah yang menempati maqom tajrid, yakni maqom bagi orang yang telah dekat (karena bersih dari dosa) dengan Tuhannya, sehingga pada saat itu untuk dapat memenuhi segala kebutuhannya, dia hanya perlu berdoa tanpa melalui usaha konkrit sebagaimana manusia biasa melakukannya. Dan segala kebutuhannya pun dapat segera terpenuhi.

Dalam konteks menghadapi UN, jangan sekali-kali siswa hanya lebih mementingkan doa baik dalam bentuk istighasah maupun lainnya. Yang terpenting bagi mereka agar mereka dapat sukses menghadapi UN ialah belajar dengan giat, tekun, rajin, serius, dan konsisten. Dengan menjadikan itu semua sebagai ‘jurus jitu’, tidak mustahil para siswa dalam menghadapi UN mendatang akan dapat melewatinya dengan lancar dan sukses, sehingga mereka dapat memperoleh hasil atau nilai yang memuaskan. Maka, langkah yang salah, yaitu jika mereka ‘menuhankan’ istighasah dan mengesampingkan belajar.

Padahal, pada dasarnya istighasah merupakan lunci penyemangat dan kelancaran setelah mereka mau melakukan proses usaha yang nyata dulu, yakni belajar. Begitu pun sebaliknya, apabila mereka lebih menganggap pelaksanaan ‘ritual’ istighasah merupakan hal urgen, sehingga mereka merasa sudah cukup tanpa diimbangi dengan melakukan proses belajar yang serius, maka jangan harap mereka dapat memperoleh hasil yang baik. Jangankan hasil yang baik, dapat melaksanakan soal-soal UN dengan mudah dan lancar pun hanya akan sebatas mimpi, dikarenakan usahanya hanya sebatas ‘mimpi’ pula.

Hal itu selaras dengan teori hukum kausalitas, bahwa jika ingin memperoleh hasil maksimal, maka kita harus melakukan usaha konkrit yang maksimal pula, ada sebab ada akibat. Wallahu a’lam bi al-showab. ***

Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo, Semarang.