Menggugat Dikotomi PTN-PTS

Menggugat Dikotomi PTN-PTS

Dalam pertemuan Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta se-Indonesia (Aptisi) dengan Menristek Dikti Muhammad Nasir, di Semarang, beberapa waktu lalu, kalangan PTS menyampaikan banyak keluhan (curhat) kepada Pak Menteri, soal kebijakan dan perlakukan pemerintah yang selama ini dinilai kurang adil, bahkan diskriminatif.

Keluhan ini dinilai wajar karena pihak swasta dianggap memiliki peran penting mencerdaskan kehidupan bangsa. Tanpa peran swasta (PTS) maka APK (angka partisipasi kasar) dalam pendidikan akan sangat rendah. Lantas, mengapa pemerintah bersifat diskriminatif, memberikan dukungan dan layanan secara berbeda alias dikotomik antara PTN dan PTS? Perbedaan itu bisa dilihat dalam banyak kasus. Pertama, soal bantuan atau hibah. Sekadar contoh, untuk PTN hibah penelitian dalam bentuk block grant. Sedangkan untuk PTS diberikan secara kompetitif melalui usulan projek proposal. Bantuan atau hibah kepada PTN diberikan dalam jumlah sangat besar. Untuk satu PTN bisa mencapai miliaran rupiah, bahkan triliunan. Sedangkan untuk PTS tidak lebih dari 200-an juta rupiah.

Kedua, soal bantuan beasiswa. Beasiswa Bidik Misi (beasiswa pendidikan untuk mahasiswa miskin berprestasi) hanya diberikan dan dinikmati PTN. Beasiswa jenis ini tidak diberikan kepada PTS. Jumlah dana Bidik Misi terus dinaikkan dari tahun ke tahun. Untuk 2013, dana Bidik Misi mencapai Rp1,67 triliun untuk sekitar 156 ribu mahasiswa. Bayangkan, seandainya jumlah dana yang sama juga diberikan kepada PTS, akses dan kesempatan anak negeri mengenyam pendidik tinggi akan semakin besar.

Ketiga, soal layanan. Untuk PTN, layanan diakomodasi langsung melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti), sedangkan untuk PTS oleh Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) yang tersebar dari Kopertis I di Medan hingga Kopertis XII di Ambon. Pelayanan dua atap ini, selain kurang efisien, juga ikut andil melestarikan dikotomi PTN-PTS.

Dalam berbagai kesempatan, Menristek Dikti berjanji akan menghilangkan dikotomi PTN-PTS dan meningkatkan kesetaraan. Salah satu langkah kebijakan yang diambil adalah membubarkan Kopertis dan menggantinya dengan Lembaga Layanan Perguruan Tinggi (L2PT). L2PT merupakan lembaga (satu atap) yang memberikan layanan bersama untuk PTN maupun PTS. Langkah ini dinilai tepat dan diapresiasi kalangan PTS.

Namun, untuk benar-benar menghilangkan dikotomi PTN-PTS, langkah ini belumlah cukup. Perlu ada kebijakan dan langkah lain yang lebih strategis. Menurut penulis,  paling tidak ada empat langkah.

Pertama, melihat kembali peraturan dan perundang-undangan yang ada mengenai dikti mulai dari UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi, PP Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi, termasuk ketentuan dan aturan di bawahnya dalam bentuk Kepmen dan Permen, serta Keputusan dan Edaran Dirjen Dikti Kemendikbud.

Menurut Marzuki Alie, mantan ketua DPR dan juga praktisi pendidikan, UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi telah membangun kesetaraan PTN-PTS. Namun, peraturan di bawahnya, PP, Permen Dikbud, dan seterusnya, boleh jadi masih mengandung bibit-bibit dikotomi, secara eksplisit maupun implisit. Untuk itu, Kemenristek Dikti disarankan agar me-review dan melakukan audit semua kebijkan sebelumnya.

Kedua, membangun sistem penganggaran baru yang lebih setara untuk PTN-PTS. APBN kita terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. APBN Perubahan 2013 mencapai Rp1.726,2 triliun. APBN 2014 naik 5 persen menjadi Rp1.816,7 triliun. APBN 2015, pada tahun pertama masa kepemimpinan Joko Widodo-Jusuf Kalla, naik lagi menjadi Rp2.039,5 triliun. Jika dihitung kasar, 20 persen dari total APBN, maka anggaran pendidikan mencapai Rp400 triliun lebih. Jika alokasi dan penggunaan tidak merata, selain dinilai kurang adil, hal ini akan terus menjadi sumber kekisruhan seperti yang selama ini terjadi.

Ketiga, memperbesar bantuan dosen untuk PTS. Selama ini bantuan dosen PNS untuk PTS (dikenal dengan sebutan dosen dipekerjakan/DPK) sudah dilakukan, tetapi jumlahnya sangat kecil, dan itu pun umumnya terdiri atas PNS yang sudah hampir pensiun. Padahal, disadari, soal SDM merupakan masalah paling krusial di lingkungan PTS.

Ada pemikiran, jika pemerintah serius menghilangkan dikotomi, kebutuhan dosen tetap PTS bisa disediakan atau dipasok pemerintah, paling tidak untuk enam dosen yang dipersyaratkan pemerintah untuk setiap program studi (PS). Selebihnya, kebutuhan dosen, tenaga kependidikan, pustakawan, laboran, dan lain-lain harus disediakan sendiri oleh badan penyelenggara (yayasan) masing-masing PTS.

Keempat, memecahkan problem besar pendidikaan kita, yaitu akses dan kualitas. Problem akses terkait kesempatan semua anak negeri untuk mengenyam pendidikan tinggi, dengan bertanya, "Who get higher education"? John Brennan melihat soal akses ini sebagai masalah sangat fundamental, khususnya bagi masyarakat yang masih memandang ijazah dan sertifikat sebagai kunci legitimasi bagi peran orang dewasa, status sosial, kepakaran dalam satu disiplin ilmu, kemajuan, bahkan dalam demokrasi. (The Role of Universities, 2004, p. 14).

Selain akses, problem yang lain adalah kualitas. Ini masalah yang lebih mendasar lagi. Problem ini tidak hanya berkaitan dengan sedikitnya perguruan tinggi kita yang masuk ke dalam daftar 500 World Rank University, tetapi juga terkait makin menjauhnya pendidikan dari tujuan [pendidikan] yang diamanatkan oleh UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, yaitu "mewujudkan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."

Gagasan Menristek untuk menghilangkan dikotomi PTN-PTS dapat memberikan harapan dan membuka jalan baru untuk bisa memecahkan kedua problem besar di atas. Hal ini penting mengingat perguruan tinggi saat ini menghadapi tantangan berat. Selain harus menunaikan tugas pokoknya, yaitu menciptakan ilmu pengetahuan, setiap perguruan tinggi, negeri maupun swasta, diminta ikut menjaga dan mengawal moral bangsa sebagai bagian integral dari moral akademik, yaitu menemukan, menyampaikan, dan mempertankan kebenaran.

Perguruan tinggi juga diminta membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan ekonomi berbasis ilmu pengetahuan. Bahkan, John Brennan dan Roger King memasukkan satu peran lain lagi yang harus ditunaikan perguruan tinggi, yaitu mengisi apa yang dinamakan protected space (berupa sumbangan pemikiran, waktu, tenaga, dan high politic) yang memungkinkan orang lain bisa berbuat to think unthinkable, to push the limits of possible, to reflect and re-assess sehingga lahir transformasi sosial dan kultural seperti diharapkan.

Secara internal, menurut penulis, sebagai sesama pengelola, pemimpin, atau akademisi di perguruan tinggi, PTN-PTS, PTU, atau PTA, kita harus membangun sinergi dan kebersamaan. Musyarakah la mughalabah. Bersanding bukan bertanding. Secara eksternal, dengan kekuatan bersama yang dimiliki, kita harus berani berkompetisi dengan pihak manapun secara regional maupun global dengan mengamalkan prinsip "Engage locally compete globally." Wallahu a`lam. (rol)
Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Dekan FAI-UIA.