Soal Surat Telegram Kapolri, LBH: Bisa Sewenang-wenang dan Memihak Penguasa

Soal Surat Telegram Kapolri, LBH: Bisa Sewenang-wenang dan Memihak Penguasa

RIAUMANDIRI.ID, JAKARTA – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) buka suara terkait penindakan hukum terhadap orang yang dianggap menghina Presiden Jokowi dan pejabat daerah dalam penanganan virus Corona (COVID19). Penindakan itu tertuang dalam surat Telegram (TR) Kapolri.

Menanggapi hal tersebut, pengacara publik LBH, Muhammad Rasyid Ridha Saragih menganggap peraturan tersebut bermasalah. Menurutnya, aturan itu seperti itu malah mencerminkan polisi menjadi bersikap parsial. Padahal semestinya polisi bersikap imparsial dalam menjalankan tugasnya.

“Enggak boleh dia misalnya, termasuk mencari kesalahan orang atau pro aktif melakukan pencarian tindak pidana, itu sebenarnya enggak boleh sebelum adanya kejadian atau laporan terhadap suatu kejadian. Itu baru polisi melakukan langkah-langkah proaktif dalam rangka menyelidiki perkara,” kata Rasyid saat dihubungi wartawan, Senin (6/4/2020).


Namun kalau melihat cara polisi seperti yang tertuang dalam aturan Kapolri tersebut, maka menurutnya akan ada potensi tindakan sewenang-wenang dalam proses penegakkan hukum.

Rasyid mengajak kembali untuk mengingat pasal penghinaan terhadap presiden dan penguasa yang sebelumnya sempat diajukan untuk uji materi di Mahkamah Konsitusi (MK).

Sifat kasusnya itu delik aduan, sehingga kalau ada kasus penghinaan, mesti ada aduan khusus dari presiden yang merasa dirugikan dan memprosesnya ke pihak kepolisian. Namun dengan melihat aturan saat ini, justru kesannya pihak kepolisian yang mencari-cari orang penghina presiden.

“Seperti yang tadi saya bilang, justru konteksnya kalau sampai melakukan penegakan terhadap hukum, baik itu antisipasi untuk penyelidikan dan penyidikan, polisi harusnya bersikap imparsial, jadi tidak memihak. Harusnya mengawasi saja dan sampai ada laporan dari presiden secara langsung menghadap ke kepolisian, bikin laporan itu baru polisi bisa memprosesnya,” ujarnya.

Lebih lanjut, Rasyid juga menilai aturan soal penghinaan kepada presiden tersebut akan mengacu kepada lahirnya pasal karet. Pasalnya, tidak ada batasan soal penghinaan itu sendiri. Selain itu, ia juga mencontohkan kalau peraturan serupa juga turut menyeret pihak yang mengkritik kinerja presiden.

“Jadi orang yang mengkritik dalam rangka bagian partisipasi publik justru dibungkam pakai pasal ini. Karena dianggapnya menghina. Kalau dari rumusan memang dari awal sudah pasal karet dan lebih ngerinya pasal ini bisa mudah dimainkan oleh penguasa, oleh presiden,” kata dia.

Untuk diketahui, Kapolri Jenderal Polisi Idham Aziz memerintahkan jajarannya untuk menindak tegas siapa saja yang melakukan penghinaan terhadap Presiden Joko Widodo atau Jokowi dan pejabat pemerintah dalam mengatasi pendemi virus corona baru Covid-19.

Hal itu tertuang dalam surat telegram Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis bernomor ST/1100/IV/HUK.7.1./2020.

Dalam surat telegram tertanggal 4 April 2020 dan ditandatangani oleh Kabareskrim Polri Komjen Listyo Sigit Prabowo, Kapolri memerintahkan Kabareskrim dan Kapolda untuk melakukan patroli siber khusus terkait penyebaran informasi bohong atau hoaks terkait pandemi Covid-19.

Di sisi lain, Kapolri juga memerintahkan jajarannya itu untuk melakukan pemantauan dan menindak tegas pelaku penghinaan terhadap presiden dan pejabat pemerintah dalam rangka mengatasi pendemi Covid-19.

Bagi pelaku penghinaan terhadap presiden dan pejabat pemerintah itu dapat dikenakan Pasal 207 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan.

"Melaksanakan patroli siber untuk monitoring perkembangan situasi, serta opini di ruang siber, dengan sasaran penyebaran hoax terkait COVID-19, hoax terkait kebijakan pemerintah dalam mengantisipasi penyebaran wabah COVID-19, penghinaan kepada penguasa/presiden dan pejabat pemerintah," begitu bunyi salah satu poin dalam surat telegram Kapolri Jenderal Polisi Idham Aziz, Senin (6/4/2020).



Tags Kapolri