Dewas TVRI Soal Pemecatan Helmy: Nonton Buaya di Afrika, Padahal Buaya Indonesia Lebih Baik

Dewas TVRI Soal Pemecatan Helmy: Nonton Buaya di Afrika, Padahal Buaya Indonesia Lebih Baik

RIAUMANDIRI.ID, JAKARTA – Ketua Dewan Pengawas Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI Arief Hidayat Thamrin menilai, produk tayangan asing tidak cocok  disiarkan pada media pemersatu bangsa seperti TVRI.

Arief menyebutkan, salah satu yang tak cocok adalah penayangan Liga Inggris yang diketahui menjadi biang keladi pemecatan Helmy Yahya dari kursi Direktur Utama TVRI.

Selain Liga Inggris, tayangan asing yang juga disoroti olehnya karena disiarkan di TVRI, yakni Discovery Channel. Alasannya adalah, TVRI memprioritaskan program-program pendidikan.


"Tupoksi TVRI sesuai visi misi adalah televisi publik. Kami bukan swasta, jadi yang paling utama adalah edukasi, jati diri, media pemersatu bangsa, prioritas programnya juga seperti itu. Realisasinya sekarang kita nonton Liga Inggris. Mungkin banyak yang suka," ujar Arief dalam rapat dengan Komisi I DPR RI, Selasa (21/1/2020).

Arief mengatakan, Dewas TVRI juga mengkritik kerja sama dengan Discovery Channel. Sama seperti Liga Inggris, tayangan dari saluran media asing itu tak cocok dengan visi misi TVRI.

"Kita menonton buaya di Afrika, padahal buaya di Indonesia barang kali akan lebih baik."

Ketidakselarasan TVRI dengan produk asing tersebut juga tak sebatas konten yang tidak nasionalis.

Arief juga menyinggung soal larinya uang negara ke luar negeri lantaran harus membayar hak penayangan kepada pihak terkait.

"Kemudian siaran film asing cukup banyak, ada yang bayar, ada gratis. Seolah-olah direksi mengejar rating dan share seperti TV swasta. Kami kan pakai APBN, membayar keluar negeri seperti ke BWF, Discovery Channel, Liga Inggris. Artinya APBN dibelanjakan keluar.”

Liga Inggris jadi beban

Dewan Pengawas Lembaga Penyiaran Publik TVRI mengungkapkan poin utama yang menjadi pertimbangan memecat Helmy Yahya sebagai direktur utama, yakni persoalan pembelian hak siar Liga Inggris.

Hak siar Liga Inggris terbilang mahal. Namun, Dewas TVRI mengakui Helmy tidak mengajukan permintaan tertulis mengenai analisis untung rugi maupun negosiasi soal pembelian hak siar tersebut.

"Liga Inggris selama tiga sesi total pembeliannya USD 9 juta atau setara Rp 126 miliar, itu di luar pajak dan biaya lain. Untuk hal ini tidak ada permintaan tertulis kepada dewas tahun 2019 – 2020,” kata anggota Dewas TVRI Pamungkas Trishadiatmoko.

Bahkan, saking mahalnya hak siar tersebut, Pamungkas menyebut satu sesi penayangan Liga Inggris dapat membiayai satu program TVRI selama dua bulan.

"Satu sesi itu sekitar 9  bulan sampai 10 bulan. Setiap sesi biayanya USD 3 juta dengan kontrak 76 pertandingan. Jadi sekali penayangan biayanya Rp 552 juta. Program rata-rata TVRI Rp 15 juta per episode. Jadi, biaya Liga Inggris itu bisa membiayai 37 episode program TVRI atau selama 2 bulan program,” kata dia.

Dari besaran biaya hak siar tersebut, TVRI diketahui hanya mendapatkan jatah menyiarkan 2 laga Liga Inggris setiap pekan. Terbatasnya pertandingan yang disiarkan harus ditambah lagi dengan persoalan kendala jam tayang yang harus disesuaikan.

"Pihak Liga Inggris yang menentukan semua itu, kami tak ada hak. Jadi, inilah yang dipertanyakan Dewas,” kata dia.

Akibat dari pembelian hak siar Liga Inggris itu terbilang masif. Misalnya, gagal bayar gaji karyawan dan sejumlah pihak ketiga. Ada pula program-program TVRI yang tak bisa tayang secara maksimal.

"Sebab, dana Liga Inggris itu diambil dari program dan pemberitaan. Alhasil, sampai Juli dananya sudah habis. TVRI ini penyiaran publik, ada hak publik, dan tentunya pembelian hak siar Liga Inggris itu mengurangi hak publik,” kata dia.

Ketua Dewan Pengawas TVRI Arief Hidayat Thamrin mengamini pernyataan rekannya tersebut. Ia mengatakan, siaran Liga Inggris berkali-kali diklaim gratis.

"Pak Dirut mengatakan berkali-kali ini gratis. Kami minta dokumen kontraknya, baru diberikan tanggal 5 Desember 2019. Soal iklan dan lainnya tidak dapat laporan.”