UU Baru Resmi Berlaku, Apa Dampak Buruknya Bagi KPK?

UU Baru Resmi Berlaku, Apa Dampak Buruknya Bagi KPK?

RIAUMANDIRI.ID, JAKARTA - UU baru Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi diberlakukan pada Kamis (17/10/2019). UU itu tetap berlaku meski Presiden Joko "Jokowi" Widodo tak meneken aturan tersebut.

Sebagian kewenangan komisi antirasuah diprediksi mulai lumpuh. Tetapi, pimpinan KPK mengakalinya dengan mengeluarkan Peraturan Komisi (Perkom) untuk mengurangi dampak buruk dari diberlakukannya UU tersebut. 

Sebelumnya pada (25/9/2019) lalu, komisi antirasuah sudah mengumumkan ada 26 poin yang bisa melemahkan lembaga itu. 26 poin itu merupakan hasil analisa sementara dari tim transisi yang telah dibentuk oleh KPK begitu UU tersebut disahkan oleh parlemen hampir satu bulan lalu. Dari analisa sementara, UU yang prosesnya dikebut hanya kurang dari satu pekan itu, memuat 26 poin yang berisiko melemahkan komisi antirasuah. 


"Dua puluh enam poin itu, kami pandang sangat berisiko melemahkan atau bahkan riskan bisa melumpuhkan kerja KPK, karena beberapa kewenangan yang dikurangi adalah kewenangan pokok dalam melaksanakan tugas selama ini," kata juru bicara KPK, Febri Diansyah melalui keterangan tertulis ketika itu. 

Sehingga, ia menepis apabila selama ini banyak pihak yang menyebut revisi UU KPK dilakukan untuk menguatkan lembaga itu. 

"Apabila dilihat dari 26 poin itu maka kebenaran itu tidak dapat diyakini," ujarnya lagi. 

Kalian penasaran apa saja 26 poin yang dinilai bisa melemahkan KPK itu? Berikut pemaparannya. 

1. KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi tak lagi independen

Dikutip dari IDN Times, 26 poin pelemahan itu dibagi ke dalam lima bagian besar. Di poin pertama, yakni KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi tak lagi independen. Hal itu karena di dalam UU baru tersebut wajib dibentuk Dewan Pengawas yang memiliki kewenangan pro justicia yakni memberikan izin atau tidak akvitivitas penyadapan, penggeledahan dan penyitaan. 

"Pertama, Dewan pengawas lebih berkuasa daripada pimpinan KPK, namun syarat menjadi pimpinan KPK jauh lebih berat dibanding Dewan Pengawas yakni berijazah sarjana hukum atau sarjana dengan keahlian lain dan memiliki pengalaman paling sedikit 15 tahun di bidang ekonomi, hukum, keuangan atau perbankan," kata Febri. 

Kedua, KPK diletakkan sebagai lembaga negara di rumpun eksekutif. Padahal, tak jarang pihak yang harus mereka periksa adalah para pejabat di tingkat eksekutif. 

Ketiga, pegawai KPK merupakan ASN. Akibatnya ada risiko tak lagi bisa bersikap independen karena khawatir akan dimutasi atau digeser posisinya.

Keempat, bagian yan mengatur bahwa pimpinan adalah penanggung jawab tertinggi dihapus.

Kelima, kewenangan Dewan Pengawas masuk pada teknis penanganan perkara yaitu memberikan atau tidak izin penyadapan, penggeledahan dan penyitaan. 

"Bagaimana jika Dewan Pengawas tidak memberikan izin? Siapa yang mengawasi dewan pengawas?," tutur Febri. 

Keenam, standar larangan etik dan antikonflik kepentingan untuk Dewan Pengawas lebih rendah dibanding pimpinan dan pegawai KPK.

Ketujuh, anggota Dewan Pengawas untuk pertama kali dapat dipilih dari aparat penegak hukum yang sedang menjabat dan telah berpengalaman minimal 15 tahun. 


2. Operasi Tangkap Tangan nyaris hilang

Poin penting yang dijabarkan di bagian kedua tergolong penting. Sebab, upaya pelemahannya bisa menghilangkan senjata jitu bagi komisi antirasuah dalam membuktikan praktik suap dan korupsi lainnya. 

Kedelapan, OTT menjadi sulit dilakukan karena lebih rumitnya pengajuan penyadapan dan aturan lain yang ada di UU KPK.

Kesembilan, pemangkasan kewenangan penyadapan karena penyadapan tidak lagi bisa dilakukan di tahap penyelidikan. Penyapan juga menjadi lebih sulit karena ada lapis birokrasi

Kesepuluh, terdapat pasal yang berisiko disalahartikan seolah-olah KPK tidak boleh melakukan OTT seperti saat ini lagi, salah satunya tertulis di pasal 6 huruf a, yakni KPK bertugas melakukan tindakan-tindakan pencegahan sehingga tidak terjadi pidana korupsi

Kesebelas, pemangkasan kewenangan penyelidikan. Penyelidik tidak lagi dapat mengajukan pelarangan terhadap seseorang ke luar negeri. Hal itu tentu berisiko bagi tindak kejahatan korupsi lintas negara dan akan membuat para pelaku mudah kabur ke luar negeri saat penyelidikan berjalan

Kedua belas, pimpinan KPK bukan lagi penyidik dan penuntut umum, sehingga akan berisiko pada tindakan-tindakan pro justicia dalam pelaksanaan tugas penindakan

Ketiga belas, salah satu pimpinan KPK terancam tidak bisa diangkat pasca UU ini disahkan, karena tidak cukup umur (kurang dari 50 tahun). Apabila pengangkatan dipaksakan untuk dilakukan, maka terdapat risiko keputusan dan kebijakan yang diambil tidak sah.

Keempat belas, ada risiko penyidik PNS di KPK berada dalam koordinasi dan pengawasan penyidik Polri karena pasal 38 ayat (2) UU KPK dihapus. 

3. Tidak ada mekanisme peralihan yang jelas bagi pegawai KPK untuk menjadi ASN

Poin lain yang juga merusak yakni pegawai KPK yang selama ini statusnya independen, kemudian dipaksa menjadi ASN. Hal ini tidak saja membahayakan independensi para pegawainya, tetapi juga seolah-olah mengusir agar tidak lagi bekerja di KPK. Berikut poin-poinnya: 

Kelima belas, pegawai KPK rentan dikontrol dan tidak independen dalam menjalankan tugasnya sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). 

Keenam belas, terdapat ketidak pastian status pegawai KPK apakah menjadi pegawai negeri sipil (PNS) atau PPPK (pegawai kontrak). Tidak ada pula mekanisme yang pasti bagi penyelidik dan penyidik KPK yang selama ini menjadi pegawai tetap kemudian menjadi ASN

Ketujuh belas, dalam pelaksanaan penuntutan, KPK harus berkoordinasi dengan pihak terkait. Namun, tidak jelas siapa pihak terkait yang dimaksud.

Kedelapan belas, kewenangan KPK untuk penuntutan berkurang. Pada pasal 12 (2) tidak disebut kewenangan penuntutan. 

4. KPK tidak lagi bisa menangani kasus korupsi lintas negara dan kompleks, karena kalau tidak rampung dalam dua tahun harus dikeluarkan SP3

Poin penting lainnya di dalam UU baru ini yaitu, KPK pada akhirnya diberi kewenangan untuk mengeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). Dokumen itu harus dikeluarkan apabila sebuah kasus dimulai dari waktu penyidikan hingga dua tahun kemudian tidak rampung. Ujung-ujungnya banyak kasus besar yang tidak tuntas. Berikut poin-poinnya: 

Kesembilan belas, jangka waktu SP3 selama dua tahun akan menyulitkan dalam penanganan perkara korupsi yang kompleks dan bersifat lintas negara. Maka, KPK akan sulit menangani perkara korupsi besar seperti BLBI, KTP Elektronik, korupsi pertambangan dan perkebunan, kasus mafia migas, korupsi kehutanan dan kasus lain dengan kerugian keuangan negara yang besar. 

Dua puluh, pasal 46 UU KPK yang baru terkesan menghilangkan sifat kekhususan (lex specialis) UU KPK, padahal korupsi adalah kejahatan luar biasa yang harusnya dihadapi dengan cara-cara dan kewenangan yang luar biasa.

Dua puluh satu, terdapat pertentangan sejumlah norma, seperti: Pasal 69D yang mengatakan sebelum Dewan Pengawas dibentuk, pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebelum UU ini diubah. Sementara di Pasal II diatur UU ini berlaku pada tanggal diundangkan.

Dua puluh dua, hilangnya posisi penasihat KPK tanpa kejelasan dan aturan peralihan, apakah penasihat menjadi Dewan Pengawas atau Penasihat langsung berhenti saat UU ini diundangkan.

Dua puluh tiga, hilangnya kewenangan penanganan kasus yang meresahkan publik. Kewenangan ini adalah wujud peran KPK sebagai trigger mechanism bagi aparat penegak hukum lain untuk dalam keadaan tertentu komisi antirasuah dapat mengambil alih tugas dan wewenang serta melakukan tindakan yang diperlukan dalam penanganan perkara korupsi oleh kepolisian atau kejaksaan yang proses pemeriksaannya tak kunjung selesai

5. KPK tidak akan bisa membuka kantor perwakilan di daerah

Dua puluh empat, KPK hanya berkedudukan di ibu kota negara. KPK tidak lagi memiliki harapan untuk diperkuat dan memiliki perwakilan daerah. 

Dua puluh lima, tidak ada penguatan dari aspek pencegahan. Tidak ada sanksi tegas bagi penyelenggara negara yang tidak melaporkan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara).

Dua puluh enam, kewenangan KPK melakukan supervisi dikurangi.**