Melapor Dalam Lima Hari atau Masuk DPO Polisi bagi Veronica Koman

Melapor Dalam Lima Hari atau Masuk DPO Polisi bagi Veronica Koman

RIAUMANDIRI.CO - Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur, memberi waktu lima hari ke depan kepada Veronica Koman untuk menghadiri acara pemeriksaan terkait kasus provokasi di Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya, pertengahan bulan lalu.

Bila dalam tenggat tersebut Veronica tak jua menyambangi Markas Polda Jatim, pihak Bhayangkara akan menabalkan status Daftar Pencarian Orang (DPO) kepadanya. Hal itu diungkapkan oleh Kapolda Jatim, Irjen Luki Hermawan, Jumat (13/9/2019).

"Kami masih beri toleransi lagi waktu lima hari sampai 18 September nanti. Jika tidak hadir akan kami keluarkan DPO," ucap Luki, seperti yang dilansir Kompas.com.


Bukan hanya mengeluarkan status DPO. Luki mengatakan, pihaknya juga tak segan mengeluarkan red notice, instrumen untuk surat penangkapan dalam skala internasional, jika sampai 18 September Veronica tak datang ke Polda Surabaya.

Luki pun berharap red notice itu tidak sampai keluar. “Ini agak berat kalau sudah keluarkan red notice. Yang bersangkutan tidak akan bisa keluar, bekerja ke mana-mana lagi. Ada 190 negara yang saat ini sudah bekerja sama dengan kita,” katanya.

Semua keputusan tersebut dibuat karena Polda Jatim menganggap Veronica tidak kooperatif dalam menanggapi setiap panggilan mereka. Setidaknya, Polda Jatim sudah tiga kali mengirimkan surat pemanggilan dengan alamat orang tuanya di Jakarta.

Namun, ketiga surat pemanggilan tersebut beroleh hasil nihil. "Sama sekali tidak ada komunikasi kepada kami. Kami hanya mengikuti melalui media sosial yang selalu dia sampaikan," kata Luki dalam detikcom.

Sejauh ini, Veronica memang masih cukup aktif di media sosial. Di akun Twitter resminya, @VeronicaKoman, ia masih bercuit mengenai Sayang Mandabayang, seorang wanita Papua, tengah menetein anaknya di dalam penjara. Waktu cuitan itu sekira pukul 16.00 WIB, Jumat (13/9).

Status Veronica sendiri kini merupakan tersangka. Kepolisian mengenakan pasal berlapis kepadanya. Dia dianggap telah melanggar UU ITE, KUHP pasal 160, UU No 1 tahun 1946, dan UU No 40 tahun 2008.

Wanita yang menyebut dirinya sebagai pengacara HAM, tersebut dianggap telah menyebarkan seruan provokasi dan kebencian dalam insiden pengepungan Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya--pemantik dari kerusuhan di sejumlah wilayah di Papua.

Atas semua dugaan kepolisian tersebut, Veronica membantah. Menurutnya, ia tak menyebarkan seruan kebencian. Misalnya, pada 19 Agustus lalu, dalam artikel yang dilansir Kementerian Komunikasi dan Informatika (artikel sudah tidak ada), disebut Veronica men-cuit bahwa terjadi penculikan warga Papua di Surabaya.

Veronica membantah itu. Menurutnya, dalam cuitan tersebut dia mengatakan bahwa dua orang ditangkap kepolisian saat memberi makan kepada para mahasiswa saat asrama mereka dikepung.

 

SPDP sudah keluar

Di sisi lain, pihak Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, mengaku sudah menerima Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) bagi Veronica. SPDP tersebut telah diterima Kejati Jatim dari Polda Jatim sejak pekan lalu.

"Kita kan baru nambah empat, semuanya belum berkas dan belum masuk. Jadi baru SPDP semua, baru empat berkas," ujar Kepala Kejati Jatim, Sunarta, dalam Tribunnews Jumat (13/9).

Angka empat yang dimaksud Sunarta adalah para tersangka dalam kasus ujaran provokatif dan kebencian dalam pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya. Selain Veronica, tiga lainnya adalah Tri Susanti, Samsul Airifin, dan Youtuber asal Kebumen, Jawa Tengah, bernama Andria Adiansah.

Kini, menurut Sunarta, pihaknya baru menerbitkan P16, atau Surat Perintah Penunjukkan Jaksa Penuntut Umum untuk Mengikuti Perkembangan Penyidikan Perkara Tindak Pidana.

Sebenarnya, penabalan status tersangka kepada Veronica ini ditentang sejumlah pihak. Di antaranya, Amnesty International Indonesia. Menurut Direktur Eksekutifnya, Usman Hamid, penetapan tersangka tersebut menunjukkan bahwa pemerintah dan aparat tidak paham dalam menyelesaikan akar permasalahan Papua.

"Kriminalisasi Veronica Koman akan membuat orang lain takut untuk berbicara atau memakai media sosial untuk mengungkap segala bentuk pelanggaran HAM terkait Papua," ucap Usman.**