Fraksi PPP Setuju MPR Dijadikan Rumah Kebangsaan

Fraksi PPP Setuju MPR Dijadikan Rumah Kebangsaan

RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA - Ketua Fraksi PPP di MPR RI, Arwani Thomafi menyatakan setuju jika MPR dijadikan sebagai rumah kebangsaan, sebagai lembaga yang diharapkan bisa jauh dari persoalan-persoalan politik.  Akan tetapi keinginan itu bertolak belakangan dengan yang terjadi sejak beberapa waktu belakangan ini, yaitu politik rebutan kursi pimpinan.

"Ada keinginan kita untuk menjadikan MPR sebagai rumah kebangsaan, tetapi yang terjadi satu bulan terakhir ini justru isinya lebih ke politik. Politiknya adalah politik rebutan kursi pimpinan, tidak beda jauh dengan tahun yang lalu. Sebagai lembaga yang diharapkan bisa jauh dari persoalan-persoalan politik yang sudah seharian itu di DPR justru menjadi tempat untuk bagi-bagi kekuasaan dengan menambah kursi pimpinan MPR," tegasnya.

Ketika berbicara dalam diskusi bertema "MPR Rumah Kebangsaan", Arwani menilai tidak ada substansi yang diharapkan dari penamabahan kursi Pimpinan MPR setahun lalu itu. "Itu mengakomodasi kekuatan politik tertentu untuk bisa eksis. Sehingga satu tahun belakangan ini memang MPR lebih didominasi isu-isu  politik yang biasanya menjadi santapan dari DPR," ujarnya.


Dia sangat setuju jika MPR dijadikan rumah kebangsaan jika melihat gonjang ganjing politik sejak 5 tahun terakhir, sejak Pilpres 2014 sampai sekarang. Terjadi pembelahan secara politik luar biasa. Kemudian ditambahkan lagi dengan Pilkada dan terakhir Pilpres 2019.

"Sehingga ada semacam kegalauan, ada semacam harap dan pada akhirnya berujung pada harapan. Siapa yang bisa menyelesaikan, siapa yang bisa menjadi tumpuan untuk menjadi semacam tempat bersatu,  tempat berkumpul dari segala kekuatan politik ini?  Lalu ketemu lah harapan itu di MPR," ujarnya.

Kalau MPR dijadikan rumah kebangsaan, menurut Arwani, harus ada pijakan konstitusionalnya. Harus ada pijakan itu,  misalnya adalah bagaimana memperkuat kelembagaan MPR itu. Mau nggak MPR diperkuat. Ada ruang bagaimana MPR bisa menjadi pemutus.

"Kalau hanya sekedar mendiskusikan semata memang nggak ada efeknya. Harus ada upaya untuk menjadi pemutus sengketa atau apa kan gitu. Kalau kita lihat lebih banyak soal hukum di MK. Kalau dilihat secara detail, ada ketegangan antara DPR dengan DPD, antara presiden dengan DPR, antara lembaga-lembaga yang lain antara MA dengan MK. Saya kira banyak hal yang harus diselesaikan diluar persoalan-persoalan politik oleh MPR," ujarnya.

Karena itu, dia berharap pada MPR periode mendatang, harus mengurangi isu-isu yang tidak substantif. Misalnya soal rebutan pimpinan MPR. Pemilihan Pimpinan MPR itu cukup dimusyawarahkan di satu meja oleh pemimpin-pemimpin bangsa dan pimpinan partai politik yang memiliki kursni di DPR.

"Kita mulai dari hal yang paling mendasar ini, kita selesaikan melalui cara musyawarah. Bisa nggak pimpinan-pimpinan bangsa ini, pimpinan partai bisa bisa berkumpul di Satu meja untuk menyelesaikan secara musyawarah politik. Bagi PPP sangat welcom. Tidak harus mengajukan calon-calon apalagi dengan pemilihan sistem paket, meski diatur dalam UU MD3.

Arwani juga tidak setuju jika pimpiman MPR digemukan, yaitu setiap partai duduk dipimpinan. Karena hal itu menurut tidak bisa menyelesaikan masalah karena DPD juga bisa protes dan meminta tambahan kursi pimpinan MPR untuk mewakili wilayah barat dan timur.

Yang paling krusial menurut Arwani, jika jumlah pimpinan MPR sampai 10 orang sudah pasti membebani keuangan negara. Jika satu pimpinan MPR itu anggaran per tahunnya mungkin ada Rp4-5 miliar. Belum anggaran operasional protokoler, anggaran muhibah, anggaran kunjungan dalam negeri, belum lagi kunjung ke luar negeri dan anggaran jamuan tamu. Karena itu dia setuju jumlah pimpinan MPR 5 orang dan wajib ganjil.

Direktur Eksekutif CSIS, Philips J Vermonte juga menyatakan setuju jika MPR dijadikan rumah kebangsaan. "Menurut saya MPR itu harus menjadi Mercusuar kebangsaan. Jadi dia menjadi payung dari DPR dan DPD. Dia memang harus menjadi mercusuar terhadap persoalan-persoalan yang sifatnya kebangsaan," kata Philips.

Reporter: Syafril Amir



Tags Politik