Ketika Perbedaan Menjadi Ancaman

Ketika Perbedaan Menjadi Ancaman

Oleh: Syaiful Anuar*

RIAUMANDIRI.CO - Disadari atau tidak, negeri ini kembali hanyut dalam arus yang sarat kepentingan. Keadaan ini bukan sesuatu yang keliru jika masih dalam tujuan bersama. Sayangnya, masyarakat saat ini masih awam sehingga kepentingan-kepentingan yang menyimpang itu sangat leluasa menyusup ke tengah kebodohan itu, lalu merusak tatanan budaya —beragam agama, suku, kelompok perkumpulan— bangsa yang sesungguhnya dipandang dunia sebagai sesuatu yang khas.

Kebudayaan yang ikonis itu telah mulai lucut dari identitas bangsa sejak beberapa tahun belakangan ini. Saat ini, kita dijenuhkan persoalan antara agama, suku, dan kelopok yang saling menyerang. Ketidak patuhan, keculasan, kedengkian emosional, dan lain sebagainya, terasa begitu laju perkembangannya. Satu kelompok menyudutkan kontranya, sehingga retak yang menantikan pecah itu semakin jelas menganga di negeri ini.


Dalam sejarah pilu bangsa yang pernah jatuh dalam kekuasaan penjajah (divide et impera) melalui politik sabung (adu domba). Untungnya, bangsa ini mampu memnyatukan perpecahan yang diciptakan penjajah kala itu. Berawal dari kelompok-kelompok kecil terdidik —beragam latar agama, budaya, daerah, bahasa, dan suku— yang ditindas kezaliman, kemudian menyatu dan menjadi sangat besar. 
Masa itu, semangat agama, suku, daerah, dan budaya, tidak ditanggalkan dan tetap melekat di dada mereka. Kesadaran bahwa bukan perbedaan yang harus tanggal untuk menyatukan mereka. Tetapi, mewujudkan keadilan bagi setiap manusia yang merekatkan hubungan antara mereka.

Dalam pengalaman yang berbeda, pada masa 1998, kita kembali diuji, tetapi dengan kasus yang berbeda. Ketika itu, perlawanan serupa juga muncul melalui kelompok kecil dari kampus-kampus yang menyatu dan menjadi sangat kuat. Lagi-lagi orang-orang terdidik melihat agama, idiologi, suku, daerah, dan budaya tidak harus tanggal dari pundak mereka. Perjuangan yang dilakukan tetap untuk kemajuan bersama. Rezim Orba berhasil ditumbangkan untuk mencetuskan semangat baru yang bernama reformasi.

Dalam kehidupan berbangsa dewasa ini, kita kembali mendengungkan perbedaan sebagai penghalang kemajuan suatu bangsa. Maka isu agama, suku, dan daerah yang rentan pertikaian menyebar melalui pemberitaan hoax, kita kembali digiring untuk menanggalkan identitas yang berbeda. 

Mengkultuskan Pilihan Demokrasi

Permasalahan serius yang dihadapi bangsa ini adalah doktrin untuk mengkultuskan pilihan dalam demokrasi. Doktrin ini sengaja dilakukan untuk mendukung langkah kebijakan pemerintah. Cara demikian sangat keliru dan berakibat buruk bagi iklim demokrasi itu sendiri. Kebijakan pemerintah yang tidak adil bagi setiap lapisan bangsa akan kehilangan kritik. Bagi mereka yang kontra dan melakukan kritik akan diserang sehingga keberpihakan pemerintah terlihat hanya untuk suatu golongan saja. 

Doktrin mengkultuskan pilihan demokrasi ini adalah wujud perbadaan yang nyata. Tindakan ini yang berkembang menjadi isu pemusnahan suatu agama, suku, daerah, dan kelompok organisasi berlainan semakin santer menggema di tengah masyarakat. Tanpa disadari, hal demikian itu adalah proses melapuknya keutuhan negeri ini.

Pertentangan agama memang terlalu sensitif dan rentan perpecahan bila pemerintah tidak tanggap dalam bersikap. Dalam kondisi ini, peran pemerintah sangat penting untuk menengahi persoalan yang ada. Dari beberapa kasus yang terjadi, pemerintah tidak hadir sebagai penengah atas persoalan yang terjadi. 

Pembiaran isu adalah bentuk kezaliman pemerintah. Kesadaran pemerintah tentang hakikat kezaliman yang akan berakhir di tangan perlawanan, teramat sangat kurang. Mestinya, penyelenggara negara membaca sejarah peradaban dunia yang dimulai dari kezaliman selalu menghadapi kehancuran. Jika pembiaran ini terus terjadi, maka sangkaan terhadap pemerintah yang zalim itu pun akan meruyak semakin parah. 

Ruang Maya sebagai Medan Demokrasi

Labensraum maya yang tak bertuan menjadi persoalan baru. Pemanfaatan ruang maya dapat dilakukan siapa saja tanpa identitas yang jelas. Warisan Pilpres 2014 lalu misalnya, pertikaian masih terus berlanjut. Dalam ruang ini, politik sabung dapat lebih mudah dijalankan. Dalang pertikaian bisa saja menyusup dalam kedua kubu yang terlalu mengkultuskan pilihan demokrasinya. Lalu, menyebarkan informasi hoax yang semakin mengoyak perpecahan.

UU ITE memang telah dibuat dan dilaksanakan. Tetapi, persoalannya ada pada media sosial yang mempermudah pengguna membuat akun palsu. Pemerintah harus menyiapkan filter untuk pengguna akun media sosial dengan pencantuman identitas yang jelas. Jika tidak, ruang maya menjadi persoalan baru yang sulit diselesaikan. 

Pengguna media sosial dapat berujar melampaui batas kepatutan yang selama ini amat penting dalam budaya kita. Ujaran yang tak beradab tentu akan menambah maraknya isu pertikaian. Kita dapat melihat pemberitaan media massa tentang pemerintah, kriminalisasi pemuka agama tertentu, tentang suku, dan lain sebagainya sangat marak komentar caci-maki. Begitu pula pejabat publik yang tanpa adab, berujar kepada masyarakat. Peristiwa itu diblowup oleh media massa, lalu menjadi tontonan umum dan akhirnya semakin memperburuk keadaan. Dari ruang maya ini, tanpa disadari, pemerintah secara lansung terlibat sebagai pendidik masyarakat dalam meruntuhkan budaya kepatutan.

 

*Penulis lahir di Pantaicermin, Riau pada 6 April 1985 dari pasangan Mhd. Nur dengan Nurdiah. Anak kedua dari dua bersaudara. Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Riau dan Pascasarjana Universitas Negeri Padang. Tunak menulis sejak tahun 2008. Selain menulis kajian kebudayaan, juga menulis puisi dan esai. Puisinya terhimpun dalam beberapa antologi. Esainya pernah dimuat di Riau Pos, Tabloid Kampus, dan beberapa media daring.